15 tahun lalu.
“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.
Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.
Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.
Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar dari hujan maupun pandangan para pria yang mengejarnya.
Namun, saat Bian hendak memosisikan diri di dalam perlindungan itu, ia melihat seorang gadis kecil berusia 7 tahun berpakaian cheongsam putih—pakaian khas perempuan Tiongkok. Gadis dengan rambut hitam sepunggung yang dikepang rapi membuat Bian menganga sejenak.
Pakaian sang gadis tampak lusuh dengan beberapa noda tanah basah di beberapa bagian. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan, matanya menatap kosong. Perasaan sama yang kini tengah Bian rasakan juga.
Namun, detik kemudian gadis itu melengkungkan bibirnya hingga membentuk bulan sabit tatkala melihat kedatangan Bian yang tak diduganya. Ia tampak mengusir gamang yang ada dalam dirinya dengan senyuman terbaik yang ia punya. Ia berbisik seraya bergeser untuk memberi Bian ruang di tempat nan sempit itu, “Apa yang membawamu ke sini?”
Mulut Bian masih bungkam tetapi matanya memindai pada gadis yang masih memasang lengkungan indah di bibirnya. Baru pertama kali Bian melihat gadis kecil yang begitu menawan hingga membuatnya menatap terus menerus karena menyimpan takjub akan gadis kecil ini.
“Apa kau mau?” tanya si gadis seraya menyodorkan nasi kepal yang ia simpan di dalam tas kecilnya. “Ini masakan terakhir Bunda.”
Mata Bian membulat sempurna mendengar itu. Ia pun menggeleng cepat, menolak makanan itu meski perutnya terasa perih sebab dari kemarin ia tidak mendapatkan nutrisi sama sekali.
Namun, meski Bian tegas menolak karena merasa tak enak hati, gadis itu terus memaksanya. “Makan saja, aku tahu kau lapar. Kita sebagai anak kecil butuh energi besar karena kita dipaksa dewasa sebelum waktunya.” Mata gadis kecil itu kosong selama beberapa saat. Bian pun mau tak mau menerima dan memakannya dengan lahap.
Netranya menangkap pada gadis aneh itu yang terus menarik kedua sudut bibirnya, membuat mata si gadis menyipit memberi sedikit kehangatan. Meski begitu, terlihat dari raut si gadis sesuatu besar yang ia simpan rapat. Bian bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah gadis kecil itu lalui sampai bahunya tampak memikul beban yang berat?
Namun, Bian tak berani mengajukan rasa penasarannya. Ia memilih untuk menutup mulut hingga waktu yang akan menjawabnya.
Mereka pun akhirnya menghabiskan hari seraya menunggu situasi aman. Hadirnya gadis itu membuat Bian bahkan melupakan rasa takut yang memenuhi dirinya. Bahkan, Bian mulai terbuka pada gadis itu, menceritakan bagaimana dirinya bisa berada di sini.
“Aku diculik dan mereka meminta uang jaminan tetapi aku kabur. Mereka terus mengejarku sambil mengutuk diriku dan menginginkanku untuk mati,” terangnya seraya menundukkan kepala begitu dalam. Bian bergetar hebat mengingat seberapa menegangkannya tadi saat ia berusaha meloloskan diri dari para penculik.
“Apa kau orang kaya?” tanya gadis itu.
Bian mengangguk lesu. Melihat Bian tak bersemangat, gadis itu memikirkan sebuah cara untuk melihat lengkungan indah di bibir Bian.
“Oh iya, aku punya sesuatu!” Mendadak saja gadis asing itu mengeluarkan sebuah permata safir di dalam tasnya. “Ini adalah safir milik ayahku.”
Binar netra Bian tampak memancarkan kekaguman akan bongkahan kecil dari permata itu. Safir, warna yang sama dengan manik matanya.
“Indah,” lirih bibir Bian.
Warna biru lambang ketenangan benar-benar ampuh kali ini. Bian merasakan kehangatan pada safir itu.
Namun, kekaguman tersebut mendadak menguar bersamaan dengan datangnya suara bariton yang berkumpul seraya menyerukan nama Bian. Terdengar juga nyaring besi senjata yang diasah dengan baik. Dentingan itu membuat bulu kuduk Bian maupun gadis itu berdiri bersamaan.
Tubuh Bian bergetar, tetapi dengan sigap gadis yang masih belum Bian ketahui namanya itu mencoba menenangkannya. Ia menyodorkan barang berharga miliknya kepada Bian tanpa ragu. Sementara Bian hanya terdiam. Ia malah melirik kepada beberapa bekas luka di bagian tubuh mungil gadis di depannya itu. Rasa nyeri pun bergelayut di dada Bian.
“Kita memang tidak bisa memilih dari mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih mau menjadi apa.” Gadis itu memungut batu seukuran batu kerikil. Lalu dengan sekuat tenaga ia memukul safir itu hingga terbelah menjadi dua bagian sekecil kacang almon. “Ini untukmu dan untukku.” Gadis tersebut membagi dua permata safir milik peninggalan ayahnya.
“Tapi, ini bukannya barang berharga milik ayahmu?” Bian ragu, lagi pula ini bukan saatnya untuk bertukar permata, tetapi nyawa yang sedang jadi incaran.
“Bawa ini dan ingat aku, ya.” Gadis itu lagi-lagi tersenyum dengan penuh keyakinan. “Oh iya, aku pinjam hoodie-mu dulu,” pinta gadis itu.
“Untuk apa?”
“Menjadi apa yang aku mau.” Tatapan gadis itu menyorot tajam membawa asa baru bagi Bian yang merasa tak berdaya dan buntu.
Tanpa negosiasi lagi, konversasi itu pun berakhir dengan Bian yang menyerahkan pakaian tebal miliknya dan langsung dipakai oleh gadis tersebut. Ia memakainya dengan gugup, tetapi dirinya begitu yakin akan berhasil.
“Ah satu lagi, nasi kepal itu bukan buatan bundaku. Aku sudah tak punya orang tua sejak kecil. Nasi kepal itu kucuri tadi.” Gadis itu menyengir kuda dengan memasang wajah lugunya.
“Ha?” Bian segera memuntahkan nasi yang sudah bercampur aduk dengan isi perutnya yang lain karena ia tahu bahwa makanan itu tidak pantas dimakan.
Kemudian, gadis tersebut bangkit dengan semangat yang membara di dalam dirinya. Bian pun segera menahan tangan mungil si gadis sebab di luar ada puluhan orang tengah mengejarnya. “Mau ke mana?”
“Nanti kita akan bertemu lagi, aku janji.” Lagi, ia tersenyum lembut pada Bian. Kemudian, ia segera berlari keluar dari persembunyian. Ia menembus derasnya hujan untuk mengecoh para penculik tersebut.
Benar saja, salah satu di antara mereka melihat gadis tersebut yang dikira Bian. Mereka pun mengejar dan mengepung. Sementara Bian mengintip dari lubang kecil yang sengaja dilubangi orang. Ia berusaha menahan suara seraya melihat seberapa berani gadis asing itu.
Hingga pada akhirnya, gadis itu meloloskan diri dari cengkeraman salah satu pria kekar. Namun nahas, saat ia hendak melintasi jalan, sebuah truk datang dengan kecepatan penuh menabrak dirinya.
Bruk!
Suara itu membuat Bian mematung seketika dengan mata yang melotot kuat. Ia melihat darah gadis itu tercecer terbawa hujan.
“Tidak!”
****
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus
Kenzo memandangi permata safir yang mengalung indah di leher jenjang milik Mei. Tatapannya tajam menukik, matanya memanas melihat benda itu masih saja berada di sisi Mei. Sejenak ia menghela napas berat, sedetik kemudian lengkungan bulan sabit terhias di bibirnya. Ia menatap sendu kedua anak yang sudah dijaganya beberapa tahun ini. Ya, ia membesarkan Mei dan Zhao selama ini setelah ibu kandung mereka memberi amanat kepada Kenzo. Mau tak mau, pria itu mengurus dua bocah yang kini memanggilnya dengan sebutan "Paman" dan Kenzo tidak keberatan akan hal itu, bahkan Emma saja menganggap Kenzo sebagai pamannya juga. Seperti sekarang, tak lama setelah penyambutan Kenzo, Emma datang dengan membawa sekantong plastik makanan berat. Ia datang dengan wajah semringah membawa kebahagiaan. "Selamat pagi Paman Ken, Zhao, dan sahabatku Mei." Emma segera memeluk Mei saat dirinya baru tiba. Kemudian, ia meletakkan plastik tersebut di atas meja. "Wah, sepertinya kita akan pesta besar." Kenzo mengelus
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar