Aya tersenyum senang mendengar jika bisnis keluarganya sudah membaik. Ia memang merasa sungkan kepada keluarga Sanjaya karena mereka telah menolong keluarganya di saat bisnis ayahnya sedikit terpuruk.
Meski kedua orang tuanya tidak pernah mendengarkan keluh kesahnya saat menjalani rumah tangga dengan Andre, tapi bagaimanapun mereka adalah orang tuanya. Tanpa mereka ia tak ada di dunia ini. Meski menyakitkan, tapi Aya menghormati mereka.
Dan ikut merasa sedih saat ibu mertuanya sempat menghina kedua orang tuanya dan mengatakan jika mereka melahirkan anak perempuan yang cacat. Karena tidak bisa memberikan keturunan. Bukan hanya itu, ibu mertuanya juga kerap menyindir dana yang mereka keluarkan untuk membantu bisnis keluarga.
Betapa sakitnya Aya mendengar semua perkataan buruk mereka.
Tapi Aya tetap mencoba bersabar, dan berharap sebuah keajaiban datang untuknya, membantunya bangkit dan menariknya dari
Raut wajah Elvan seketika berubah. Emosinya mulai terlihat di wajahnya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tidak ada alasan untuk marah pada Aya. Dan mungkin wanita yang di depannya ini lah yang menjadi teman berbincang istrinya untuk terakhir kalinya.Elvan berusaha tersenyum meski sulit, “Apa dia terlihat bahagia saat itu?” tanyanya dengan suara berat.Aya mengangguk pelan, “Dia mengatakan sudah tidak sabar menunggu bayinya lahir, agar kebahagiaan keluarga kecilnya semakin sempurna…”Elvan diam tak berkata apapun.“M-maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu, maafkan aku…” lirih Aya merasa tak enak.“Tidak, itu bukan salahmu. Kini aku tahu betapa senangnya dirinya sebelum kejadian itu menimpanya… setidaknya dia mendapatkan teman ngobrol yang menyenangkan di saat aku tidak bisa menemaninya,” liri
Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam lamanya dengan mengendarai mobinya sendiri, akhirnya Elvan sampai di Jakarta. Meski sudah 8 bulan lamanya ia meninggalkan kota ini tapi ia tidak lupa dengan jalan-jalan di sini. Dengan memacu mobilnya Elvan menuju kantor miliknya yang sudah lama tidak di injaknya.Andrew sudah mengaturkan jadwal pertemuannya dengan klien penting dari perusahaan asing tersebut.Jakarta tidak banyak berubah saat terakhir kali ia tinggalkan berbulan-bulan yang lalu."Masih tetap sama, macet dimana-mana," gumam Elvan.Mungkin karena Elvan sudah lama tinggal di pegunungan dengan udara yang bersih dan sejuk, ia merasa sedikit tidak nyaman saat ini. Perbedaannya sungguh signifikan. Jika di vilanya hanya warna hijau membentang sejauh mata memandang dengan langit yang begitu luas. Di sini hanya ada gedung-gedung tinggi pencakar langit dan mobil yang berseliweran di mana-mana. Bahkan la
“Vann…” panggil Andrew.“Hmm…” sahut Elvan hanya dengan gumaman. Karena ia sedang duduk di bangku penumpang di belakang, dan fokus pada laptop miliknya bersama berkas-berkas yang sedang ia pelajari untuk menghadapi klien pentingnya sore ini.Sedangkan Andrew mengemudikan mobil milik Elvan di depan sendirian. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat di mana mereka akan bertemu dengan klien mereka.“Kok gue jadi kayak sopir Lo aja ya!” dengus Andrew merasa tak terima karena Elvan menyuruhnya untuk mengendarai mobilnya sendiri tanpa sopir.“Emang! Gak suka?” desis Elvan.“Kan gue asisten Lo, Van. Bukan sopir Lo!”“Anggap aja ini hukuman Lo karena celap-celup di kantor!” seru Elvan tanpa menolehkan wajahnya pada Andrew yang sudah terlihat kesal.
Soraya dan suaminya--Mahanta duduk di meja makan pagi ini seperti biasanya, tapi ia sedikit kaget karena ada tiga piring yang tersedia di meja makan. Sedangkan biasanya mereka hanya berdua saja.“Dad? Ada siapa?” tanya Soraya pada suaminya dengan tatapan penasaran. Suaminya yang sudah duduk di dekatnya menatap istrinya tersebut kemudian mengangkat kedua bahunya, “Mana Daddy tahu, bukannya dari tadi aku bersamamu?”Soraya tampak semakin bingung, kemudian mengingat-ingat kejadian semalam. Apakah dirinya menerima tamu atau ada yang datang, tapi seingatnya tidak ada sama sekali.“Apa Dad terima tamu tadi malam, waktu Mami udah tidur?” tanyanya lagi.“Lah Daddy lebih dulu tidur dari pada Mami,” jawab Mahanta cuek.“Oh iya bener, jadi ini piring untuk siapa?”Lagi-lagi Mahanta mengangkat kedua bahunya.
Sebelum jam makan siang, pertemuannya dengan klien dari perusahaan asing itu sudah selesai. Sebentar lagi jam makan siang, tapi Elvan malas untuk keluar dari ruangannya. Hingga ia hanya meminta Andrew untuk memesankan makanannya dan mengirimnya ke ruangan.Lagi pula, setelah makan siang Ryan akan segera datang ke kantornya.Dan beberapa menit yang lalu makanan yang di pesan oleh Andrew sudah datang, bahkan kini Andrew sudah ada di depannya. Mengajaknya makan bersama di ruangan Elvan.“Kenapa Lu gak makan di ruangan Lu aja! Ajak tuh sekretaris gue, makan atas bawah sekalian!” sindir Elvan.“Mengganggu pemandangan aja, muka Lu!” desisnya kemudian.“Dih sirik! Bilang aja kemarin ngiri, kan!” balas Andrew.“Gak ada ngiri-ngiri!” dengus Elvan kemudian membuka bungkusan makanannya. Ia memesan cumi asam manis untuk men
“Eh gue masih penasaran deh, kenapa Lu bisa kenal sama Dayana? Ketemu di mana?” tanya Andrew pada Elvan, sedangkan Ryan hanya menantap Elvan, ia juga penasaran dengan hal ini. Apalagi Dayana merupakan menantu dari keluarga Sanjaya. Dan setahunya Elvan tidak pernah berurusan dengan mereka kecuali bisnis, itu pun dia tidak tahu dengan pasti.“Gue gak tahu harus di mulai dari mana, tapi gue nemuin dia malem-malem pingsan di kebun deket vila gue,” jelas Elvan.“Serius? Di villa Lu?” tanya Andrew.“Ya!” sahut Elvan, “Ternyata dia kabur setelah di siksa suaminya, dan itu terjadi setelah istri keduanya mengadukan hal yang tidak-tidak. Dia di seret ke kamar dan di cambuk oleh ikat pinggang. Luka paling parah di punggung, bagian lainnya gue gak tahu. Awalnya gue gak tahu siapa dia, dia mengaku namanya Kana, makanya gue minta Lu cari tahu,” ujar Elvan seraya menatap Andrew.“Gila, ngeri! Baru tahu gue kelakuan Si Andre kaya gitu. Bener-bener gak sangka gue,” seru Andrew.“Nah alasan dia disiksa
“Van, anak kesayangan Mami, yang paling Mami sayangi. Bener mau pulang sekarang? Gak akan tinggal di sini aja?” tanya Soraya pada Elvan yang sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil yang ia taruh di atas tempat tidur. Soraya duduk di sisi tempat tidur Elvan kemudian membantunya merapikan pakaian anaknya tersebut.“Elvan harus pulang sekarang Mi, Day-- maksud Elvan ada urusan di sana yang harus Elvan kerjakan,” sahut Eelvan. Hampir saja ia keceplosan mengatakan jika ada Dayana yang menunggunya di sana.Semalam Elvan merasa sedikit khawatir karena ia tahu jika Dayana tidur sendirian di vila itu. Hingga ia menghubunginya melalui aplikasi pesan chat padanya dan menanyakan kabarnya. Dia mengatakan jika ia sempat merasa takut tidur sendirian di vila, tapi ia memutuskan untuk tidur cepat. Tapi tadi malam ia sudah meminta Bi Enah untuk menemaninya.Bukan untuk Dayana ia pulang sesuai jadwal, tapi
“Kau boleh membukanya, dan memakannya terlebih dahulu. Aku akan ke atas dan mandi lebih dulu, tidak enak setelah melakukan perjalanan jauh,” ungkap Elvan setelah mereka masuk ke dalam vila dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi.Aya mengangguk, “Baiklah, aku akan menyiapkan makanan ini untukmu.”Mereke berdua berpisah di dekat tangga, di mana Elvan menuju lantai 2 sedangkan Aya menuju dapur.Aya segera mengeluarkan makanan tersebut dari dalam paper bag kresek, kemudian mulai memotong-motongnya dengan ukuran yang pas. Kemudian menatanya di atas piring.Tart buah begitu menggoda, hingga Aya tak sabar untuk menyicipinya. Tapi ia menahan dirinya, meski Elvan sudah mengijinkannya untuk makan lebih dulu, tapi rasanya tidak sopan.Aya menaruh semua potongan kue tersebut di atas meja. Kemudian duduk dan menunggu Elvan kembali.“Ini terl
Saat makan malam berlangsungpun Metta masih sedikit berbicara, dan semua itu karena keberadaan Andrew. Tapi Andrew terlihat biasa saja. Ia berbincang santai dengan Elvan dan Mahanta. Demikian juga Soraya dan Aya yang menyimak pembicaraan mereka sambil sesekali menimpalinya.“Ta, kenapa kamu diem aja?” tanya Aya yang merasa ada sedikit perbedaan dalam diri Metta yang sejak tadi siang menemani dirinya.“Hehe, gak ada apa-apa, Kak!” sahut Metta.“Metta lagi gak enak perut, lagi dateng bulan katanya…” imbuh Andrew tiba-tiba.Seketika Metta menoleh pada Andrew.“Ohh… pantes aja tadi sore kamu biasa aja, sekarang malah diem mulu,” ujar Aya."Barusan dapet?" bisik Aya pada Metta.Metta yang sudah menatap kakaknya hanya bisa mengangguk dan tersenyum kaku, padahal kan itu hanyalah kebohongan. Dan ia tidak menyangka Andrew akan menyahutinya seperti itu."Udah pakai pembalut?" bisik Aya lagi."Udah. Bawa di tas, Kak," jawab Metta dengan bisikan.“Kalau kamu gak enak badan, kamu nginep aja di sin
Sejak kejadian di kampus Metta dua minggu yang lalu, Andrew merasa sedikit aneh. ‘Sudah lama Si Bocil itu gak gangguin gue lagi, tapi baguslah telingaku udah gak sakit karena kebisingan suara dia!’ ujar Andrew dalam hatinya.Memang sejak kejadian setelah mereka bertemu dengan Bagas dan Tasya, Metta sama sekali tidak menghubunginya lagi. Bahkan seperti hilang ditelan bumi. Bukan hanya itu, sudah dua kali hari Sabtu, Metta juga tidak mengajak dan memaksanya untuk ikut latihan di sasana seperti sebelum-sebelumnya.“Aneh sih emang, apa dia marah gara-gara gue cium itu? Kan gak jadi buat benerin yang romantis juga, ngapain juga dia marah dan ngilang kaya gini? Cewek lain malah suka gue cium, malah pada nagih,” dengus Andrew.“Ck! Dia gak rasain permainan gue sih, orang cuma nempel aja, kalau udah serius dan rasain pasti dia minta, ck ck dasar bocil bocil…” decak Andrew seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka, dan Andrew melihat Elvan yang sudah berdiri di
Sebagai seorang laki-laki, Bagas masih berusaha untuk menjaga harga dirinya. “Ya, mungkin gosip itu terlalu berlebihan, dan gue emang gak pernah lihat Metta dengan wanita. Tapi, alasan dia terus menolakku dan tak pernah dekat dengan laki-laki lah yang menimbulkan kecurigaanku!” ujar Bagas.“Dengan kata lain itu cukup untuk menjadi dasar jika dia memiliki kelainan,” tambahnya.Andrew menyeringai kembali. “Jadi Lu anggap gue apa, hah? Kan gue udah bilang kalau gue kekasihnya Metta.”Bagas kini dengan berani menatap wajah Andrew, “Dari gesture tubuh kalian, sepertinya tidak terlihat jika kalian itu adalah pasangan. Gue yakin kalian hanya pura-pura saja, bantu dia.”‘Dasar, Bocah! Kayanya dia pro player nihh, sialan! Ck! Gue buaya masa bisa kalah sama kadal kecil kaya nih bocah!’ dengus Andrew.“Lu mau bukti apa? Sampe Lu percaya kalau kita emang pacaran, hemm?” tantang Andrew seraya menarik lengan Metta agar ia kini berada tepat di sampingnya dan menempel pada dirinya. Andrew-pun langsun
Andrew dan Metta menyembunyikan diri mereka terlebih dahulu, hal ini agar Bagas tidak melihat mereka dari kejauhan kemudian kabur dan tidak jadi menghampiri Tasya.“Kak…”“Hmmm?”“Kakak yakin gak Bagas bakal datang atau gak?” tanya Metta.“Aku sih yakin dia dateng,” sahut Andrew kemudian.Metta kemudian mengangguk pelan. "Iya sih, tadi denger omongannya Tasya di telepon sangat meyakinkan. Harusnya dia datang," gumamnya.“Hhmm.... Aku gak nyangka ternyata bocil kaya kamu punya fans garis keras juga,” ledek Andrew kemudian.“Dihh.. mana ada? Kakak kira aku bangga gitu ditaksir sama Bagas? Aku ngeri liat dia kali Kak," sahut Metta.Satu alis Andrew terangkat, "Kenapa? Fans kamu itu jelek ya?!" "Gak sih, cuma gak tau kenapa sejak awal, aku udah gak suka aja di deketin sama dia. Masak baru ketemu dua kali di luar kampus, dia udah nembak aku. Dan matanya itu kalo liatin aku kaya gimana gitu... Aku gak suka dan risih. Apalagi setelah kejadian itu, aku bener-bener takut dan lebih milih ngehi
Andrew menyusul Metta setelah Metta sudah pergi beberapa menit, karena ia merasa sedikit khawatir. Andrew bisa melihat Metta yang sedang duduk bersama wanita bernama Tasya itu, dan mereka tampak begitu serius.Andrew sengaja tak menghampiri mereka karena ingin membiarkan Metta mengatasinya sendiri antar sesama wanita terlebih dahulu. Dan jika tidak terlalu krusial ia hanya akan mengamatinya saja dari jauh. Metta sudah beranjak dewasa dan cukup matang untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tujuan Andrew datang menemani Metta adalah untuk menguatkan mental dan rasa percaya diri Metta menuntaskan masalahnya setelah setahun ini dikucilkan dan dibully oleh teman-teman seangkatannya. Terlebih setelah menemukan sedikit bukti tentang pangkal masalahnya ada pada seorang pria yang pernah akan melecehkannya. Dengan kehadirannya, Andrew ingin Metta merasa lebih kuat karena kini ia tidak sendirian, ada Andrew yang mengerti akan masalah yang dipendamnya selama 1,5 tahun ini dan Andrew akan b
Andrew yang sedang memejamkan matanya untuk beristirahat, mendengar suara ketukan di jendela mobilnya dan segera membuka matanya. Ia bisa melihat Metta yang sudah datang, hingga ia dengan cepat ia membuka kunci mobilnya sambil mematikan musik yang masih mengalun di dalam mobilnya. Untung saja ia menyetel suara musik di dalam mobilnya tidak terlalu kencang hingga suara ketukan itu dapat didengarnya karena mobilnya dilengkapi dengan peredam suara.“Kak, tidur?” tanya Metta saat ia membuka pintu mobil Andrew, tapi ia tidak masuk ke dalamnya.“Gak, cuma istirahat aja,” sahut Andrew.“Masih sakit?” tanya Metta lagi.Andrew menggeleng. Tak lama kemudian ia segera turun dari dalam mobil. Lalu berjalan menghampiri Metta.“Ada di mana dia? Apa kita mau temui dia sekarang juga?” tanya Andrew kemudian.“Kayanya dia udah di kantin deh, Kak.”“Mau sekarang?” tanya Andrew lagi.Metta mengangguk, “Tapi kita coba liat dia di kantin dulu ya… terus cari kesempatan buat aku ngajak dia ngobrol.”“Boleh,
Metta : Aku udah di kampus, Kak.Andrew yang sudah berada di ruangannya membaca pesan yang dikirimkan oleh Metta padanya. 2 hari yang lalu saat Metta menceritakan apa yang terjadi padanya, Andrew berjanji akan menemani Metta untuk menemui Tasya.Mungkin sebenarnya Metta berani menghadapinya sendiri, hanya saja Andrew sedikit khawatir ketika Metta akan menemui pria bernama Bagas itu juga.Jadi Andrew sedikit memaksa untuk ikut menemani Metta.Andrew : Aku akan menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, dan mencari alasan pada Kakak Iparmu untuk keluar.Metta : Siap, Kak. Aku ada dua sks sekarang, nanti siang ada kelas lagi.Andrew : Aku mengerti.Metta hanya menatap layar ponselnya, ia tak mengirim pesan lagi pada Andrew karena takut mengganggunya. “Lagi apa, Ta?” tanya Alina yang baru saja menghampirinya dan sedikit mengagetkan Metta.“Hei, gue baru bales chat,” sahut Metta.“Pacar Lu?” tanya Alina yang kini sudah duduk di samping Metta.Metta mengangguk, “Nanti setelah kelas ini sel
Sementara Andrew mandi, Metta mencuci mangkuk yang tadi sudah di gunakan Andrew untuk makan. Lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi sambil menunggu Andrew selesai.Metta hanya bisa mengajak Andrew untuk bertukar pikiran dengan hasil temuannya kemarin di dekat tempat parkir. Karena hanya Andrew saja yang tahu masalah ini. Tidak mungkin ia menceritakan masalah ini pada orang tua atau kakaknya, ini hanya akan membuat mereka khawatir saja.Metta memindahkan channel televisi untuk mencari program yang menarik, tapi sayangnya tak ada satupun acara yang membuatnya tertarik untuk menonton, hingga ia hanya menyalakan televisinya begitu saja, sementara ia berkutat dengan ponselnya dan berselancar di internet.Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara langkah mendekatinya, Metta langsung menoleh pada Andrew yang sudah selesai mandi dan berpakaian. Bisa di lihat rambutnya masih setengah basah. Andrew kemudian menghampiri Metta dan duduk di sebelah seraya mengambil remote televisi dan menco
Tanpa patah semangat Metta terus menekan bell pintu apartement Andrew. Ia sudah bisa menebaknya dari jawaban Andrew semalam. Mengajaknya latihan hari ini akan menjadi tantangan yang berat untuknya. Metta yakin jika Andrew sengaja, menulikan telinganya saat ia menekan bell apartement.“Ohh lihat saja! Aku bukan orang yang pantang menyerah jika hanya seperti ini!” seru Metta dengan penuh semangat, bukan hanya itu Metta juga melakukan panggilan suara pada ponsel Andrew, agar di dalam semakin tambah bising.Perpaduan bunyi ponsel dan bell begitu sangat sempurna. Itu pun jika ponsel Andrew tidak dalam keadaan mode silent.Sementara itu di dalam kamar di atas tempat tidur, Andrew menutupi kedua telinganya dengan bantal. Agar suara-suara ini tidak mengganggu waktunya untuk tidur.Ia berpikir, jika sebentar lagi juga Metta akan menyerah dan meninggalkan apartementnnya. Tapi dugaannya salah, 10 menit berlalu dan suara bell di dalam apartementnya serta ponselnya yang sudah ia ubah menjadi mode