Elvan membuka mata perlahan-lahan, lalu menatap langit-langit yang di sinari oleh cahaya matahari yang menembus tirai. Bahkan angin meniupkan tirai itu cukup kuat. Semalam Elvan lupa untuk menutup rapat pintu kamarnya yang menuju beranda.
Tapi memang sering ia melupakan untuk menutup jendelanya, agar suara binatang malam dapat ia dengar dengan cukup jelas, menemaninya hingga Elvan terlelap.
Begitu membuka matanya tadi, tiba-tiba saja Elvan merasa sedikit tidak enak. Membuatnya enggan untuk beranjak dari atas tempat tidurnya saat ini. Ia membalik tubuhnya ke arah Kanan seraya menarik kembali selimutnya hingga menutupi pinggang. Meski matahari sudah bersinar tapi udara masih terasa sangat dingin.
Elvan sedikit memijat keningnya, larut malam sekali ia tertidur. Karena setelah makan malam, Elvan menerima email yang berisi ratusan data wanita bernama Kana Zanitha yang dikirimkan oleh Andrew padanya.
Semal
2 Hari berlalu, bahkan Bi Enah sudah kembali datang ke rumah untuk melakukan pekerjaannya, ia sedikit kaget karena melihat Kana yang masih berada di rumah tuannya.“Non, Bibi gak nyangka Non masih ada di sini,” ucapnya seraya mencuci piring di dapur. Sedangkan Kana merapikan isi kulkas.Kana tersenyum, “Iya Bi, Elvan baik. Dia mengijikan aku tinggal di sini sementara, saat Bibi gak bisa datang.”Bi Enah tersenyum, “Bibi udah khawatir, gak ada yang ngurus kebutuhan Den Elvan,” sahutnya.“Tapi Bibi udah sembuh, kan?”“Udah Non,” sahutnya.***Sejak beberapa menit yang lalu Elvan sudah berada di dalam ruang kerjanya. Dan ia masih tak percaya dengan matanya yang masih terbuka lebar melihat apa yang kini ada di hadapannya.2 hari yang lalu, ia sudah berhasil menga
Bukan hanya mulutnya, tapi seluruh tubuhnya bergetar. “S-siapa Dayana? Bukankah namaku Kana!” seru Kana yang berusaha menetralkan dirinya dari rasa terkejutnya yang luar biasa mendengar Elvan menyebut nama lengkapnya. Tapi sayangnya itu sudah sangat terlambat.Alis mata Elvan bertaut, “Apa jika aku memperlihatkan bukti ini kau masih bisa mengelak?” tanya Elvan setelah memperlihatkan foto seorang wanita di ponselnya yang jelas saja ia kenali. Karena itu merupakan foto dirinya saat bersama keluarga Sanjaya.“Kau kabur dari mereka, apa kau membawa barang berharga milik mereka, hah?” tanya Elvan sinis, “Untuk kau habiskan dan berfoya-foya.”Dengan spontan Dayana menggeleng. “Tidak! Itu tidak benar!” Matanya sudah mulai terasa panas. Rupanya kebohongannya sudah di ketahui oleh Elvan.Dayana atau nama panggilannya Aya, merasa malu karena ia sudah
Dayana masih terisak meski isakannya mulai melemah, dan Elvan tak berani untuk meninggalkannya sendirian. Ia mengerti apa yang di rasakan oleh wanita ini, meski apa yang menimpa mereka sangat berbeda. Tapi rasa sedih dan sakit itu tetap sama. Dulu ia bisa lebih tegar di hadapan orang lain meski tidak di dalam hati, terbukti ia yang sampai saat ini berada di pengasingan. Begitulah ia menyebutnya.Wanita ini terlihat kuat meskipun Elvan yakin begitu rapuh di dalamnya. Hingga ia tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.Kini Aya sudah meringkukkan tubuhnya dengan terus terisak.Elvan masih mengingat jelas luka-luka yang ia lihat di punggung wanita ini. Kemudian ia beranjak berdiri dari sisi tempat tidur.“Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan sesuatu untukmu…” ujarnya. Namun tak mendapatkan respon dari wanita itu yang masih terisak.Elvan berjalan menyusuri kor
Mungkin karena semalam Aya tidak bisa tidur dengan nyenyak dan juga luka di punggungnya terasa begitu sakit meski sudah di olesi salep oleh Elvan, pagi ini ia kesulitan untuk bangun pagi. Tapi untungnya ia ingat jika Bi Enah sudah kembali bekerja.Aya merasa lemas dan sedikit demam, matanya terasa sangat bengkak karena tangisnya semalam. Menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya membuat Aya kembali begitu bersedih. Sekeluar Elvan dari kamarnya, ia masih terus menangis hingga ia lelah dan tertidur.Selain bengkak matanya juga terasa sangat perih.Pintu kamarnya di ketuk, dan dengan spontan Aya mendudukkan tubuhnya.“Masuk…” serunya memberikan ijin pada pengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya.Aya mencoba merapikan rambutnya, ia takut jika Elvan yang masuk dan merasa tak enak jika ia dalam keadaan yang berantakan. Juga dengan kaos milik Elvan yang terl
Terdengar suara mesin mobil dari arah bagian depan villa, Aya hanya dapat mendengar suara mesin mobil tersebut tanpa bisa melihatnya dari jendela kamarnya untuk memastikan siapa yang datang.Elvan sudah meninggalkan kamar yang ditempatinya sekitar 1 jam yang lalu setelah Elvan mengubungi seseorang melalui ponselnya. Yang Aya yakini adalah dokter yang akan memeriksanya.Jantungnya masih saja berdebar tak karuan, masih ada rasa was-was dalam dirinya. Mengingat ia mengenal Elvan belum cukup lama, hingga ia masih sedikit tak mempercayainya. Aya ingin mengintip keluar berharap jika yang datang bukanlah mobil polisi.Aya menghembuskan napasnya kasar, “Kenapa aku terus-terusan merasa ketakutan seperti ini? Bukankah jika Elvan sudah memiliki niat buruk padaku dan melaporkanku, sudah sejak awal dia menghubungi polisi dan menyerahkanku?”“Bahkan semalam ia membantuku mengobati luka-luka di pu
“Berapa yang harus ku bayar untuk pemeriksaan dokter tadi?”“Tidak, kau tidak perlu untuk mengganti biaya dokter tadi,” jawab Elvan.Aya berjalan mendekat pada Elvan seraya mengangguk pelan, “Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu, apalagi membebani biaya dokter untuk memeriksa dan mengobati lukaku,” seru Aya. Kemudian ia mengeluarkan 5 lembar uang berwarna merah dari dompetnya, dan menyerahkannya pada ELvan.Elvan hanya menatapnya dan enggan untuk menerimanya, bagaimanapun ia tulus membantu wanita ini. Dan uang bukan masalah baginya. Elvan mengangkat tangannya untuk menolak uang yang di sodorkan oleh Aya padanya.“Jika kau pikir aku tidak membawa uang sama sekali itu salah. Aku membawa semua uang tabunganku. Jadi aku mohon terima lah. Uang ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kebaikanmu menampungku sementara di sini. Aku tidak mau semakin menyusahkanmu…” pinta Aya“Uangku cukup untuk kebutuhanku beberapa bulan ke depan, jadi kau tidak perlu khawatir…” lanjut Aya karena Elvan teta
Seketika Elvan menolehkan wajahnya ke arah sampingnya. Dan menemukan Aya yang sudah berdiri di sisinya.“Maafkan aku karena mengagetkanmu, tapi pakailah, di luar dingin…” ujar Aya seraya menyodorkan jaket milik Elvan yang tergantung di gantungan dekat pintu.Elvan sedikit kaget dengan kedatangan Aya, karena sejak tadi ia hanya fokus menatap ke langit di mana ia merasa jika mendiang istri dan anaknya sedang menatapnya dari sana.Awalnya Elvan merasa terganggu dan hendak menegurnya, tapi melihat wajahnya yang tulus memberinya jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Elvan meredam emosinya tersebut. Apalagi mengingat jika wanita ini masih belum pulih dari luka-lukanya.“Terima kasih,” ujar Elvan kemudian dan meraih jaket yang di sodorkan oleh wanita itu.Elvan menatap tangannya yang gemetar, hingga ia berpikir jika wanita itu juga merasa kedinginan meski su
Aya tersenyum senang mendengar jika bisnis keluarganya sudah membaik. Ia memang merasa sungkan kepada keluarga Sanjaya karena mereka telah menolong keluarganya di saat bisnis ayahnya sedikit terpuruk.Meski kedua orang tuanya tidak pernah mendengarkan keluh kesahnya saat menjalani rumah tangga dengan Andre, tapi bagaimanapun mereka adalah orang tuanya. Tanpa mereka ia tak ada di dunia ini. Meski menyakitkan, tapi Aya menghormati mereka.Dan ikut merasa sedih saat ibu mertuanya sempat menghina kedua orang tuanya dan mengatakan jika mereka melahirkan anak perempuan yang cacat. Karena tidak bisa memberikan keturunan. Bukan hanya itu, ibu mertuanya juga kerap menyindir dana yang mereka keluarkan untuk membantu bisnis keluarga.Betapa sakitnya Aya mendengar semua perkataan buruk mereka.Tapi Aya tetap mencoba bersabar, dan berharap sebuah keajaiban datang untuknya, membantunya bangkit dan menariknya dari
Andrew yang sedang memejamkan matanya untuk beristirahat, mendengar suara ketukan di jendela mobilnya dan segera membuka matanya. Ia bisa melihat Metta yang sudah datang, hingga ia dengan cepat ia membuka kunci mobilnya sambil mematikan musik yang masih mengalun di dalam mobilnya. Untung saja ia menyetel suara musik di dalam mobilnya tidak terlalu kencang hingga suara ketukan itu dapat didengarnya karena mobilnya dilengkapi dengan peredam suara.“Kak, tidur?” tanya Metta saat ia membuka pintu mobil Andrew, tapi ia tidak masuk ke dalamnya.“Gak, cuma istirahat aja,” sahut Andrew.“Masih sakit?” tanya Metta lagi.Andrew menggeleng. Tak lama kemudian ia segera turun dari dalam mobil. Lalu berjalan menghampiri Metta.“Ada di mana dia? Apa kita mau temui dia sekarang juga?” tanya Andrew kemudian.“Kayanya dia udah di kantin deh, Kak.”“Mau sekarang?” tanya Andrew lagi.Metta mengangguk, “Tapi kita coba liat dia di kantin dulu ya… terus cari kesempatan buat aku ngajak dia ngobrol.”“Boleh,
Metta : Aku udah di kampus, Kak.Andrew yang sudah berada di ruangannya membaca pesan yang dikirimkan oleh Metta padanya. 2 hari yang lalu saat Metta menceritakan apa yang terjadi padanya, Andrew berjanji akan menemani Metta untuk menemui Tasya.Mungkin sebenarnya Metta berani menghadapinya sendiri, hanya saja Andrew sedikit khawatir ketika Metta akan menemui pria bernama Bagas itu juga.Jadi Andrew sedikit memaksa untuk ikut menemani Metta.Andrew : Aku akan menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, dan mencari alasan pada Kakak Iparmu untuk keluar.Metta : Siap, Kak. Aku ada dua sks sekarang, nanti siang ada kelas lagi.Andrew : Aku mengerti.Metta hanya menatap layar ponselnya, ia tak mengirim pesan lagi pada Andrew karena takut mengganggunya. “Lagi apa, Ta?” tanya Alina yang baru saja menghampirinya dan sedikit mengagetkan Metta.“Hei, gue baru bales chat,” sahut Metta.“Pacar Lu?” tanya Alina yang kini sudah duduk di samping Metta.Metta mengangguk, “Nanti setelah kelas ini sel
Sementara Andrew mandi, Metta mencuci mangkuk yang tadi sudah di gunakan Andrew untuk makan. Lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi sambil menunggu Andrew selesai.Metta hanya bisa mengajak Andrew untuk bertukar pikiran dengan hasil temuannya kemarin di dekat tempat parkir. Karena hanya Andrew saja yang tahu masalah ini. Tidak mungkin ia menceritakan masalah ini pada orang tua atau kakaknya, ini hanya akan membuat mereka khawatir saja.Metta memindahkan channel televisi untuk mencari program yang menarik, tapi sayangnya tak ada satupun acara yang membuatnya tertarik untuk menonton, hingga ia hanya menyalakan televisinya begitu saja, sementara ia berkutat dengan ponselnya dan berselancar di internet.Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara langkah mendekatinya, Metta langsung menoleh pada Andrew yang sudah selesai mandi dan berpakaian. Bisa di lihat rambutnya masih setengah basah. Andrew kemudian menghampiri Metta dan duduk di sebelah seraya mengambil remote televisi dan menco
Tanpa patah semangat Metta terus menekan bell pintu apartement Andrew. Ia sudah bisa menebaknya dari jawaban Andrew semalam. Mengajaknya latihan hari ini akan menjadi tantangan yang berat untuknya. Metta yakin jika Andrew sengaja, menulikan telinganya saat ia menekan bell apartement.“Ohh lihat saja! Aku bukan orang yang pantang menyerah jika hanya seperti ini!” seru Metta dengan penuh semangat, bukan hanya itu Metta juga melakukan panggilan suara pada ponsel Andrew, agar di dalam semakin tambah bising.Perpaduan bunyi ponsel dan bell begitu sangat sempurna. Itu pun jika ponsel Andrew tidak dalam keadaan mode silent.Sementara itu di dalam kamar di atas tempat tidur, Andrew menutupi kedua telinganya dengan bantal. Agar suara-suara ini tidak mengganggu waktunya untuk tidur.Ia berpikir, jika sebentar lagi juga Metta akan menyerah dan meninggalkan apartementnnya. Tapi dugaannya salah, 10 menit berlalu dan suara bell di dalam apartementnya serta ponselnya yang sudah ia ubah menjadi mode
Menjelang sore, Andrew harus menemani Mahanta untuk bertemu dengan salah satu rekan bisnis mereka. Karena saat ini Elvan belum bekerja penuh, ia akan pulang tepat waktu untuk meluangkan waktunya menemani Aya dan Arka.Hal tersebut bisa di mengerti oleh Mahanta, sebagai seorang ayah ia bisa memahami perasaan Elvan saat ini. Dulu saat Elvan dan kedua kakaknya masih kecil iapun tak ingin lama-lama berpisah dari mereka.Dan Elvan sendiri mendapatkan panggilan dari Ryan. Ryan dan istrinya sudah dalam perjalanan ke rumah Elvan untuk menjenguk Aya dan Arka. Karena saat Aya melahirkan Ryan bersama Riani sedang berada di luar kota selama 2 minggu penuh untuk menyelesaikan kasus yang harus mereka tangani. Riani masih membantu Ryan, meski kandungannya sudah semakin besar.Andrew yang mendengar Ryan datang ke rumah Elvan, saat selesai pertemuan dengan Mahanta ia ikut pulang ke rumah. Sudah sangat jarang mereka berkumpul bersama. Semuanya sedang berkumpul di ruang keluarga ketika Andrew dan Mahan
Suasana di kampus kini terasa lebih nyaman bagi Metta, karena kini ia mulai bisa berbaur dengan teman-temannya lagi. Dan Alina kerap menemaninya kemanapun saat berada di kampus, sama seperti awal-awal ia masuk kuliah.Begitu juga dengan Gladys dan teman-temannya yang sempat meminta maaf padanya atas perintah Pak Nasirin yang ingin memastikan kenyamanan mahasiswa saat berada di kampus. Gladys dan lainnya bisa berbaikan dengan Metta meski terlihat canggung dan hanya bicara seperlunya saja, tidak terlalu dekat seperti halnya dengan Alina.Saat semua teman sekelasnya sudah baik padanya, tidak begitu dengan Tasya. Tasya seakan masih menjaga jarak dengannya, bahkan masih menatap sinis padanya seakan tak suka dengan keberadaannya.“Aku masih gak ngerti deh sama Tasya, aku salah apa sama dia?” tanya Metta pada Alina yang kini tengah berada di kantin. Mereka berdua sedang menunggu kelas selanjutnya.“Beneran Lu gak inget, Ta?” tanya Alina.Metta menggeleng kemudian meminum jus miliknya.“Gue g
“Kakkk!!!” seru Metta yang langsung membuka pintu ruangan Andrew dan masuk begitu saja. Tentu saja Andrew yang sedang bekerja tiba-tiba terlonjak dari duduknya karena kaget.“Dihhh bocillll!! Kamu ngagetin aja sih!! Tetep aja ya gak ada sopan-sopannya!” dengus Andrew.Metta hanya menyengir lebar melihat Andrew terlonjak dan kesal padanya. Ia segera menutup kembali pintu ruangan Andrew dan berjalan mendekatinya.“Mau apa sih ke sini, hah? Gangguin lagi ada tugas? Lagi kerja nihhh!!” Andrew menggerutu.Metta terkekeh geli, “Iya iya maaf! Aduhh kebiasaan,” ujar Metta sambil duduk di kursi yang ada di depan Andrew.“Apa sih?? Bukannya kamu harusnya masih di kampus? Kenapa ada di sini?” tanya Andrew dengan ketus.“Udah selesai kuliah lah, Kak. Makanya bisa ke sini,” jawab Metta.“Terus ngapain ke sini?” tanya Andrew.“Mau bilang makasih!” ujar Metta dengan senyuman lebarnya hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.Kening Andrew berkerut. “Buat apaan?”“Dihhh mulai deh pur
“Sendirian?” tanya seseorang pada Metta yang kini sedang duduk di taman, ia sedang menunggu kelas yang akan di laksanakan sekitar 20 menit lagi.“Iya…” sahut Metta singkat.“Boleh gue duduk di sini?” tanya Alina yang merupakan teman sekelas Metta.Metta mengangguk kaku, karena tak biasanya ada teman sekelasnya yang menyapanya seperti ini dan ingin duduk di dekatnya. Padahal ia bisa melihat masih ada beberapa bangku yang kosong lainnya.“Makasih,” ujarnya kemudian duduk di samping Metta.“Lu udah kerjain tugas dari Bu Ratna?” tanya Alina.“Udah…” Jawaban Metta masih singkat, karena ia masih merasa bingung dengan situasi saat ini.Sudah hampir lima menit Alina duduk di samping Metta, tapi Metta tak mengeluarkan sedikitpun suara apalagi mengajaknya berbicara. Hingga Alina akhirnya memberanikan diri untuk berbicara lebih dulu.“Metta…” Metta yang merasa di panggil kembali menoleh pada Alina.“Gua mau minta maaf…” ujarnya kemudian.“Maaf? Buat apa?” tanya Metta bingung dengan kening yang b
“Kamu liat gak tadi mereka pas kita pergi terus ngeliatin terus dan samperin Pak Nasirin?” tanya Andrew seraya berjalan di samping Metta dan sengaja merangkul pinggangnya.Metta mengangguk, “Iya aku juga ngeliat. Sampe segitunya mereka kepo,” sahut Metta.Andrew terkekeh geli, “Aku jadi penasaran apa yang Pak Nasirin bilang ke mereka.”“Sama, Kak. Aku juga penasaran deh. Dan oh ya… berarti dosen aku kerja di perusahaannya Kak Elvan dong?” tanya Metta kemudian.“Ya, kurang lebih begitu lah. Cuma emang Pak Nasirin paling dateng ke kantor sebulan sekali, ngantor dua hari di tempat finance. Di kantor kan ada satu orang finance yang ngurusin pajak. Kalau tutup buku atau ada masalah dengan pajak, baru dia standby tiap hari sampe masalah kelar,” jelas Andrew.“Ohhh gitu yaa… baru tahu aku!” sahut Metta.Tak lama kemudian mereka berdua sampai di Perpustakaan kampus. Kemudian Metta mengajak Andrew masuk ke dalam. Di dalam Perpustakaan pun, tak ayal Andrew yang tampak mencolok menjadi pusat p