Dayana masih terisak meski isakannya mulai melemah, dan Elvan tak berani untuk meninggalkannya sendirian. Ia mengerti apa yang di rasakan oleh wanita ini, meski apa yang menimpa mereka sangat berbeda. Tapi rasa sedih dan sakit itu tetap sama. Dulu ia bisa lebih tegar di hadapan orang lain meski tidak di dalam hati, terbukti ia yang sampai saat ini berada di pengasingan. Begitulah ia menyebutnya.
Wanita ini terlihat kuat meskipun Elvan yakin begitu rapuh di dalamnya. Hingga ia tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.
Kini Aya sudah meringkukkan tubuhnya dengan terus terisak.
Elvan masih mengingat jelas luka-luka yang ia lihat di punggung wanita ini. Kemudian ia beranjak berdiri dari sisi tempat tidur.
“Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan sesuatu untukmu…” ujarnya. Namun tak mendapatkan respon dari wanita itu yang masih terisak.
Elvan berjalan menyusuri kor
Mungkin karena semalam Aya tidak bisa tidur dengan nyenyak dan juga luka di punggungnya terasa begitu sakit meski sudah di olesi salep oleh Elvan, pagi ini ia kesulitan untuk bangun pagi. Tapi untungnya ia ingat jika Bi Enah sudah kembali bekerja.Aya merasa lemas dan sedikit demam, matanya terasa sangat bengkak karena tangisnya semalam. Menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya membuat Aya kembali begitu bersedih. Sekeluar Elvan dari kamarnya, ia masih terus menangis hingga ia lelah dan tertidur.Selain bengkak matanya juga terasa sangat perih.Pintu kamarnya di ketuk, dan dengan spontan Aya mendudukkan tubuhnya.“Masuk…” serunya memberikan ijin pada pengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya.Aya mencoba merapikan rambutnya, ia takut jika Elvan yang masuk dan merasa tak enak jika ia dalam keadaan yang berantakan. Juga dengan kaos milik Elvan yang terl
Terdengar suara mesin mobil dari arah bagian depan villa, Aya hanya dapat mendengar suara mesin mobil tersebut tanpa bisa melihatnya dari jendela kamarnya untuk memastikan siapa yang datang.Elvan sudah meninggalkan kamar yang ditempatinya sekitar 1 jam yang lalu setelah Elvan mengubungi seseorang melalui ponselnya. Yang Aya yakini adalah dokter yang akan memeriksanya.Jantungnya masih saja berdebar tak karuan, masih ada rasa was-was dalam dirinya. Mengingat ia mengenal Elvan belum cukup lama, hingga ia masih sedikit tak mempercayainya. Aya ingin mengintip keluar berharap jika yang datang bukanlah mobil polisi.Aya menghembuskan napasnya kasar, “Kenapa aku terus-terusan merasa ketakutan seperti ini? Bukankah jika Elvan sudah memiliki niat buruk padaku dan melaporkanku, sudah sejak awal dia menghubungi polisi dan menyerahkanku?”“Bahkan semalam ia membantuku mengobati luka-luka di pu
“Berapa yang harus ku bayar untuk pemeriksaan dokter tadi?”“Tidak, kau tidak perlu untuk mengganti biaya dokter tadi,” jawab Elvan.Aya berjalan mendekat pada Elvan seraya mengangguk pelan, “Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu, apalagi membebani biaya dokter untuk memeriksa dan mengobati lukaku,” seru Aya. Kemudian ia mengeluarkan 5 lembar uang berwarna merah dari dompetnya, dan menyerahkannya pada ELvan.Elvan hanya menatapnya dan enggan untuk menerimanya, bagaimanapun ia tulus membantu wanita ini. Dan uang bukan masalah baginya. Elvan mengangkat tangannya untuk menolak uang yang di sodorkan oleh Aya padanya.“Jika kau pikir aku tidak membawa uang sama sekali itu salah. Aku membawa semua uang tabunganku. Jadi aku mohon terima lah. Uang ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kebaikanmu menampungku sementara di sini. Aku tidak mau semakin menyusahkanmu…” pinta Aya“Uangku cukup untuk kebutuhanku beberapa bulan ke depan, jadi kau tidak perlu khawatir…” lanjut Aya karena Elvan teta
Seketika Elvan menolehkan wajahnya ke arah sampingnya. Dan menemukan Aya yang sudah berdiri di sisinya.“Maafkan aku karena mengagetkanmu, tapi pakailah, di luar dingin…” ujar Aya seraya menyodorkan jaket milik Elvan yang tergantung di gantungan dekat pintu.Elvan sedikit kaget dengan kedatangan Aya, karena sejak tadi ia hanya fokus menatap ke langit di mana ia merasa jika mendiang istri dan anaknya sedang menatapnya dari sana.Awalnya Elvan merasa terganggu dan hendak menegurnya, tapi melihat wajahnya yang tulus memberinya jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Elvan meredam emosinya tersebut. Apalagi mengingat jika wanita ini masih belum pulih dari luka-lukanya.“Terima kasih,” ujar Elvan kemudian dan meraih jaket yang di sodorkan oleh wanita itu.Elvan menatap tangannya yang gemetar, hingga ia berpikir jika wanita itu juga merasa kedinginan meski su
Aya tersenyum senang mendengar jika bisnis keluarganya sudah membaik. Ia memang merasa sungkan kepada keluarga Sanjaya karena mereka telah menolong keluarganya di saat bisnis ayahnya sedikit terpuruk.Meski kedua orang tuanya tidak pernah mendengarkan keluh kesahnya saat menjalani rumah tangga dengan Andre, tapi bagaimanapun mereka adalah orang tuanya. Tanpa mereka ia tak ada di dunia ini. Meski menyakitkan, tapi Aya menghormati mereka.Dan ikut merasa sedih saat ibu mertuanya sempat menghina kedua orang tuanya dan mengatakan jika mereka melahirkan anak perempuan yang cacat. Karena tidak bisa memberikan keturunan. Bukan hanya itu, ibu mertuanya juga kerap menyindir dana yang mereka keluarkan untuk membantu bisnis keluarga.Betapa sakitnya Aya mendengar semua perkataan buruk mereka.Tapi Aya tetap mencoba bersabar, dan berharap sebuah keajaiban datang untuknya, membantunya bangkit dan menariknya dari
Raut wajah Elvan seketika berubah. Emosinya mulai terlihat di wajahnya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tidak ada alasan untuk marah pada Aya. Dan mungkin wanita yang di depannya ini lah yang menjadi teman berbincang istrinya untuk terakhir kalinya.Elvan berusaha tersenyum meski sulit, “Apa dia terlihat bahagia saat itu?” tanyanya dengan suara berat.Aya mengangguk pelan, “Dia mengatakan sudah tidak sabar menunggu bayinya lahir, agar kebahagiaan keluarga kecilnya semakin sempurna…”Elvan diam tak berkata apapun.“M-maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu, maafkan aku…” lirih Aya merasa tak enak.“Tidak, itu bukan salahmu. Kini aku tahu betapa senangnya dirinya sebelum kejadian itu menimpanya… setidaknya dia mendapatkan teman ngobrol yang menyenangkan di saat aku tidak bisa menemaninya,” liri
Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam lamanya dengan mengendarai mobinya sendiri, akhirnya Elvan sampai di Jakarta. Meski sudah 8 bulan lamanya ia meninggalkan kota ini tapi ia tidak lupa dengan jalan-jalan di sini. Dengan memacu mobilnya Elvan menuju kantor miliknya yang sudah lama tidak di injaknya.Andrew sudah mengaturkan jadwal pertemuannya dengan klien penting dari perusahaan asing tersebut.Jakarta tidak banyak berubah saat terakhir kali ia tinggalkan berbulan-bulan yang lalu."Masih tetap sama, macet dimana-mana," gumam Elvan.Mungkin karena Elvan sudah lama tinggal di pegunungan dengan udara yang bersih dan sejuk, ia merasa sedikit tidak nyaman saat ini. Perbedaannya sungguh signifikan. Jika di vilanya hanya warna hijau membentang sejauh mata memandang dengan langit yang begitu luas. Di sini hanya ada gedung-gedung tinggi pencakar langit dan mobil yang berseliweran di mana-mana. Bahkan la
“Vann…” panggil Andrew.“Hmm…” sahut Elvan hanya dengan gumaman. Karena ia sedang duduk di bangku penumpang di belakang, dan fokus pada laptop miliknya bersama berkas-berkas yang sedang ia pelajari untuk menghadapi klien pentingnya sore ini.Sedangkan Andrew mengemudikan mobil milik Elvan di depan sendirian. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat di mana mereka akan bertemu dengan klien mereka.“Kok gue jadi kayak sopir Lo aja ya!” dengus Andrew merasa tak terima karena Elvan menyuruhnya untuk mengendarai mobilnya sendiri tanpa sopir.“Emang! Gak suka?” desis Elvan.“Kan gue asisten Lo, Van. Bukan sopir Lo!”“Anggap aja ini hukuman Lo karena celap-celup di kantor!” seru Elvan tanpa menolehkan wajahnya pada Andrew yang sudah terlihat kesal.
Saat makan malam berlangsungpun Metta masih sedikit berbicara, dan semua itu karena keberadaan Andrew. Tapi Andrew terlihat biasa saja. Ia berbincang santai dengan Elvan dan Mahanta. Demikian juga Soraya dan Aya yang menyimak pembicaraan mereka sambil sesekali menimpalinya.“Ta, kenapa kamu diem aja?” tanya Aya yang merasa ada sedikit perbedaan dalam diri Metta yang sejak tadi siang menemani dirinya.“Hehe, gak ada apa-apa, Kak!” sahut Metta.“Metta lagi gak enak perut, lagi dateng bulan katanya…” imbuh Andrew tiba-tiba.Seketika Metta menoleh pada Andrew.“Ohh… pantes aja tadi sore kamu biasa aja, sekarang malah diem mulu,” ujar Aya."Barusan dapet?" bisik Aya pada Metta.Metta yang sudah menatap kakaknya hanya bisa mengangguk dan tersenyum kaku, padahal kan itu hanyalah kebohongan. Dan ia tidak menyangka Andrew akan menyahutinya seperti itu."Udah pakai pembalut?" bisik Aya lagi."Udah. Bawa di tas, Kak," jawab Metta dengan bisikan.“Kalau kamu gak enak badan, kamu nginep aja di sin
Sejak kejadian di kampus Metta dua minggu yang lalu, Andrew merasa sedikit aneh. ‘Sudah lama Si Bocil itu gak gangguin gue lagi, tapi baguslah telingaku udah gak sakit karena kebisingan suara dia!’ ujar Andrew dalam hatinya.Memang sejak kejadian setelah mereka bertemu dengan Bagas dan Tasya, Metta sama sekali tidak menghubunginya lagi. Bahkan seperti hilang ditelan bumi. Bukan hanya itu, sudah dua kali hari Sabtu, Metta juga tidak mengajak dan memaksanya untuk ikut latihan di sasana seperti sebelum-sebelumnya.“Aneh sih emang, apa dia marah gara-gara gue cium itu? Kan gak jadi buat benerin yang romantis juga, ngapain juga dia marah dan ngilang kaya gini? Cewek lain malah suka gue cium, malah pada nagih,” dengus Andrew.“Ck! Dia gak rasain permainan gue sih, orang cuma nempel aja, kalau udah serius dan rasain pasti dia minta, ck ck dasar bocil bocil…” decak Andrew seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka, dan Andrew melihat Elvan yang sudah berdiri di
Sebagai seorang laki-laki, Bagas masih berusaha untuk menjaga harga dirinya. “Ya, mungkin gosip itu terlalu berlebihan, dan gue emang gak pernah lihat Metta dengan wanita. Tapi, alasan dia terus menolakku dan tak pernah dekat dengan laki-laki lah yang menimbulkan kecurigaanku!” ujar Bagas.“Dengan kata lain itu cukup untuk menjadi dasar jika dia memiliki kelainan,” tambahnya.Andrew menyeringai kembali. “Jadi Lu anggap gue apa, hah? Kan gue udah bilang kalau gue kekasihnya Metta.”Bagas kini dengan berani menatap wajah Andrew, “Dari gesture tubuh kalian, sepertinya tidak terlihat jika kalian itu adalah pasangan. Gue yakin kalian hanya pura-pura saja, bantu dia.”‘Dasar, Bocah! Kayanya dia pro player nihh, sialan! Ck! Gue buaya masa bisa kalah sama kadal kecil kaya nih bocah!’ dengus Andrew.“Lu mau bukti apa? Sampe Lu percaya kalau kita emang pacaran, hemm?” tantang Andrew seraya menarik lengan Metta agar ia kini berada tepat di sampingnya dan menempel pada dirinya. Andrew-pun langsun
Andrew dan Metta menyembunyikan diri mereka terlebih dahulu, hal ini agar Bagas tidak melihat mereka dari kejauhan kemudian kabur dan tidak jadi menghampiri Tasya.“Kak…”“Hmmm?”“Kakak yakin gak Bagas bakal datang atau gak?” tanya Metta.“Aku sih yakin dia dateng,” sahut Andrew kemudian.Metta kemudian mengangguk pelan. "Iya sih, tadi denger omongannya Tasya di telepon sangat meyakinkan. Harusnya dia datang," gumamnya.“Hhmm.... Aku gak nyangka ternyata bocil kaya kamu punya fans garis keras juga,” ledek Andrew kemudian.“Dihh.. mana ada? Kakak kira aku bangga gitu ditaksir sama Bagas? Aku ngeri liat dia kali Kak," sahut Metta.Satu alis Andrew terangkat, "Kenapa? Fans kamu itu jelek ya?!" "Gak sih, cuma gak tau kenapa sejak awal, aku udah gak suka aja di deketin sama dia. Masak baru ketemu dua kali di luar kampus, dia udah nembak aku. Dan matanya itu kalo liatin aku kaya gimana gitu... Aku gak suka dan risih. Apalagi setelah kejadian itu, aku bener-bener takut dan lebih milih ngehi
Andrew menyusul Metta setelah Metta sudah pergi beberapa menit, karena ia merasa sedikit khawatir. Andrew bisa melihat Metta yang sedang duduk bersama wanita bernama Tasya itu, dan mereka tampak begitu serius.Andrew sengaja tak menghampiri mereka karena ingin membiarkan Metta mengatasinya sendiri antar sesama wanita terlebih dahulu. Dan jika tidak terlalu krusial ia hanya akan mengamatinya saja dari jauh. Metta sudah beranjak dewasa dan cukup matang untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tujuan Andrew datang menemani Metta adalah untuk menguatkan mental dan rasa percaya diri Metta menuntaskan masalahnya setelah setahun ini dikucilkan dan dibully oleh teman-teman seangkatannya. Terlebih setelah menemukan sedikit bukti tentang pangkal masalahnya ada pada seorang pria yang pernah akan melecehkannya. Dengan kehadirannya, Andrew ingin Metta merasa lebih kuat karena kini ia tidak sendirian, ada Andrew yang mengerti akan masalah yang dipendamnya selama 1,5 tahun ini dan Andrew akan b
Andrew yang sedang memejamkan matanya untuk beristirahat, mendengar suara ketukan di jendela mobilnya dan segera membuka matanya. Ia bisa melihat Metta yang sudah datang, hingga ia dengan cepat ia membuka kunci mobilnya sambil mematikan musik yang masih mengalun di dalam mobilnya. Untung saja ia menyetel suara musik di dalam mobilnya tidak terlalu kencang hingga suara ketukan itu dapat didengarnya karena mobilnya dilengkapi dengan peredam suara.“Kak, tidur?” tanya Metta saat ia membuka pintu mobil Andrew, tapi ia tidak masuk ke dalamnya.“Gak, cuma istirahat aja,” sahut Andrew.“Masih sakit?” tanya Metta lagi.Andrew menggeleng. Tak lama kemudian ia segera turun dari dalam mobil. Lalu berjalan menghampiri Metta.“Ada di mana dia? Apa kita mau temui dia sekarang juga?” tanya Andrew kemudian.“Kayanya dia udah di kantin deh, Kak.”“Mau sekarang?” tanya Andrew lagi.Metta mengangguk, “Tapi kita coba liat dia di kantin dulu ya… terus cari kesempatan buat aku ngajak dia ngobrol.”“Boleh,
Metta : Aku udah di kampus, Kak.Andrew yang sudah berada di ruangannya membaca pesan yang dikirimkan oleh Metta padanya. 2 hari yang lalu saat Metta menceritakan apa yang terjadi padanya, Andrew berjanji akan menemani Metta untuk menemui Tasya.Mungkin sebenarnya Metta berani menghadapinya sendiri, hanya saja Andrew sedikit khawatir ketika Metta akan menemui pria bernama Bagas itu juga.Jadi Andrew sedikit memaksa untuk ikut menemani Metta.Andrew : Aku akan menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, dan mencari alasan pada Kakak Iparmu untuk keluar.Metta : Siap, Kak. Aku ada dua sks sekarang, nanti siang ada kelas lagi.Andrew : Aku mengerti.Metta hanya menatap layar ponselnya, ia tak mengirim pesan lagi pada Andrew karena takut mengganggunya. “Lagi apa, Ta?” tanya Alina yang baru saja menghampirinya dan sedikit mengagetkan Metta.“Hei, gue baru bales chat,” sahut Metta.“Pacar Lu?” tanya Alina yang kini sudah duduk di samping Metta.Metta mengangguk, “Nanti setelah kelas ini sel
Sementara Andrew mandi, Metta mencuci mangkuk yang tadi sudah di gunakan Andrew untuk makan. Lalu ia duduk di sofa dan menyalakan televisi sambil menunggu Andrew selesai.Metta hanya bisa mengajak Andrew untuk bertukar pikiran dengan hasil temuannya kemarin di dekat tempat parkir. Karena hanya Andrew saja yang tahu masalah ini. Tidak mungkin ia menceritakan masalah ini pada orang tua atau kakaknya, ini hanya akan membuat mereka khawatir saja.Metta memindahkan channel televisi untuk mencari program yang menarik, tapi sayangnya tak ada satupun acara yang membuatnya tertarik untuk menonton, hingga ia hanya menyalakan televisinya begitu saja, sementara ia berkutat dengan ponselnya dan berselancar di internet.Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara langkah mendekatinya, Metta langsung menoleh pada Andrew yang sudah selesai mandi dan berpakaian. Bisa di lihat rambutnya masih setengah basah. Andrew kemudian menghampiri Metta dan duduk di sebelah seraya mengambil remote televisi dan menco
Tanpa patah semangat Metta terus menekan bell pintu apartement Andrew. Ia sudah bisa menebaknya dari jawaban Andrew semalam. Mengajaknya latihan hari ini akan menjadi tantangan yang berat untuknya. Metta yakin jika Andrew sengaja, menulikan telinganya saat ia menekan bell apartement.“Ohh lihat saja! Aku bukan orang yang pantang menyerah jika hanya seperti ini!” seru Metta dengan penuh semangat, bukan hanya itu Metta juga melakukan panggilan suara pada ponsel Andrew, agar di dalam semakin tambah bising.Perpaduan bunyi ponsel dan bell begitu sangat sempurna. Itu pun jika ponsel Andrew tidak dalam keadaan mode silent.Sementara itu di dalam kamar di atas tempat tidur, Andrew menutupi kedua telinganya dengan bantal. Agar suara-suara ini tidak mengganggu waktunya untuk tidur.Ia berpikir, jika sebentar lagi juga Metta akan menyerah dan meninggalkan apartementnnya. Tapi dugaannya salah, 10 menit berlalu dan suara bell di dalam apartementnya serta ponselnya yang sudah ia ubah menjadi mode