Bukan hanya mulutnya, tapi seluruh tubuhnya bergetar. “S-siapa Dayana? Bukankah namaku Kana!” seru Kana yang berusaha menetralkan dirinya dari rasa terkejutnya yang luar biasa mendengar Elvan menyebut nama lengkapnya. Tapi sayangnya itu sudah sangat terlambat.
Alis mata Elvan bertaut, “Apa jika aku memperlihatkan bukti ini kau masih bisa mengelak?” tanya Elvan setelah memperlihatkan foto seorang wanita di ponselnya yang jelas saja ia kenali. Karena itu merupakan foto dirinya saat bersama keluarga Sanjaya.
“Kau kabur dari mereka, apa kau membawa barang berharga milik mereka, hah?” tanya Elvan sinis, “Untuk kau habiskan dan berfoya-foya.”
Dengan spontan Dayana menggeleng. “Tidak! Itu tidak benar!” Matanya sudah mulai terasa panas. Rupanya kebohongannya sudah di ketahui oleh Elvan.
Dayana atau nama panggilannya Aya, merasa malu karena ia sudah
Dayana masih terisak meski isakannya mulai melemah, dan Elvan tak berani untuk meninggalkannya sendirian. Ia mengerti apa yang di rasakan oleh wanita ini, meski apa yang menimpa mereka sangat berbeda. Tapi rasa sedih dan sakit itu tetap sama. Dulu ia bisa lebih tegar di hadapan orang lain meski tidak di dalam hati, terbukti ia yang sampai saat ini berada di pengasingan. Begitulah ia menyebutnya.Wanita ini terlihat kuat meskipun Elvan yakin begitu rapuh di dalamnya. Hingga ia tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.Kini Aya sudah meringkukkan tubuhnya dengan terus terisak.Elvan masih mengingat jelas luka-luka yang ia lihat di punggung wanita ini. Kemudian ia beranjak berdiri dari sisi tempat tidur.“Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan sesuatu untukmu…” ujarnya. Namun tak mendapatkan respon dari wanita itu yang masih terisak.Elvan berjalan menyusuri kor
Mungkin karena semalam Aya tidak bisa tidur dengan nyenyak dan juga luka di punggungnya terasa begitu sakit meski sudah di olesi salep oleh Elvan, pagi ini ia kesulitan untuk bangun pagi. Tapi untungnya ia ingat jika Bi Enah sudah kembali bekerja.Aya merasa lemas dan sedikit demam, matanya terasa sangat bengkak karena tangisnya semalam. Menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya membuat Aya kembali begitu bersedih. Sekeluar Elvan dari kamarnya, ia masih terus menangis hingga ia lelah dan tertidur.Selain bengkak matanya juga terasa sangat perih.Pintu kamarnya di ketuk, dan dengan spontan Aya mendudukkan tubuhnya.“Masuk…” serunya memberikan ijin pada pengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya.Aya mencoba merapikan rambutnya, ia takut jika Elvan yang masuk dan merasa tak enak jika ia dalam keadaan yang berantakan. Juga dengan kaos milik Elvan yang terl
Terdengar suara mesin mobil dari arah bagian depan villa, Aya hanya dapat mendengar suara mesin mobil tersebut tanpa bisa melihatnya dari jendela kamarnya untuk memastikan siapa yang datang.Elvan sudah meninggalkan kamar yang ditempatinya sekitar 1 jam yang lalu setelah Elvan mengubungi seseorang melalui ponselnya. Yang Aya yakini adalah dokter yang akan memeriksanya.Jantungnya masih saja berdebar tak karuan, masih ada rasa was-was dalam dirinya. Mengingat ia mengenal Elvan belum cukup lama, hingga ia masih sedikit tak mempercayainya. Aya ingin mengintip keluar berharap jika yang datang bukanlah mobil polisi.Aya menghembuskan napasnya kasar, “Kenapa aku terus-terusan merasa ketakutan seperti ini? Bukankah jika Elvan sudah memiliki niat buruk padaku dan melaporkanku, sudah sejak awal dia menghubungi polisi dan menyerahkanku?”“Bahkan semalam ia membantuku mengobati luka-luka di pu
“Berapa yang harus ku bayar untuk pemeriksaan dokter tadi?”“Tidak, kau tidak perlu untuk mengganti biaya dokter tadi,” jawab Elvan.Aya berjalan mendekat pada Elvan seraya mengangguk pelan, “Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu, apalagi membebani biaya dokter untuk memeriksa dan mengobati lukaku,” seru Aya. Kemudian ia mengeluarkan 5 lembar uang berwarna merah dari dompetnya, dan menyerahkannya pada ELvan.Elvan hanya menatapnya dan enggan untuk menerimanya, bagaimanapun ia tulus membantu wanita ini. Dan uang bukan masalah baginya. Elvan mengangkat tangannya untuk menolak uang yang di sodorkan oleh Aya padanya.“Jika kau pikir aku tidak membawa uang sama sekali itu salah. Aku membawa semua uang tabunganku. Jadi aku mohon terima lah. Uang ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kebaikanmu menampungku sementara di sini. Aku tidak mau semakin menyusahkanmu…” pinta Aya“Uangku cukup untuk kebutuhanku beberapa bulan ke depan, jadi kau tidak perlu khawatir…” lanjut Aya karena Elvan teta
Seketika Elvan menolehkan wajahnya ke arah sampingnya. Dan menemukan Aya yang sudah berdiri di sisinya.“Maafkan aku karena mengagetkanmu, tapi pakailah, di luar dingin…” ujar Aya seraya menyodorkan jaket milik Elvan yang tergantung di gantungan dekat pintu.Elvan sedikit kaget dengan kedatangan Aya, karena sejak tadi ia hanya fokus menatap ke langit di mana ia merasa jika mendiang istri dan anaknya sedang menatapnya dari sana.Awalnya Elvan merasa terganggu dan hendak menegurnya, tapi melihat wajahnya yang tulus memberinya jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Elvan meredam emosinya tersebut. Apalagi mengingat jika wanita ini masih belum pulih dari luka-lukanya.“Terima kasih,” ujar Elvan kemudian dan meraih jaket yang di sodorkan oleh wanita itu.Elvan menatap tangannya yang gemetar, hingga ia berpikir jika wanita itu juga merasa kedinginan meski su
Aya tersenyum senang mendengar jika bisnis keluarganya sudah membaik. Ia memang merasa sungkan kepada keluarga Sanjaya karena mereka telah menolong keluarganya di saat bisnis ayahnya sedikit terpuruk.Meski kedua orang tuanya tidak pernah mendengarkan keluh kesahnya saat menjalani rumah tangga dengan Andre, tapi bagaimanapun mereka adalah orang tuanya. Tanpa mereka ia tak ada di dunia ini. Meski menyakitkan, tapi Aya menghormati mereka.Dan ikut merasa sedih saat ibu mertuanya sempat menghina kedua orang tuanya dan mengatakan jika mereka melahirkan anak perempuan yang cacat. Karena tidak bisa memberikan keturunan. Bukan hanya itu, ibu mertuanya juga kerap menyindir dana yang mereka keluarkan untuk membantu bisnis keluarga.Betapa sakitnya Aya mendengar semua perkataan buruk mereka.Tapi Aya tetap mencoba bersabar, dan berharap sebuah keajaiban datang untuknya, membantunya bangkit dan menariknya dari
Raut wajah Elvan seketika berubah. Emosinya mulai terlihat di wajahnya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tidak ada alasan untuk marah pada Aya. Dan mungkin wanita yang di depannya ini lah yang menjadi teman berbincang istrinya untuk terakhir kalinya.Elvan berusaha tersenyum meski sulit, “Apa dia terlihat bahagia saat itu?” tanyanya dengan suara berat.Aya mengangguk pelan, “Dia mengatakan sudah tidak sabar menunggu bayinya lahir, agar kebahagiaan keluarga kecilnya semakin sempurna…”Elvan diam tak berkata apapun.“M-maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu, maafkan aku…” lirih Aya merasa tak enak.“Tidak, itu bukan salahmu. Kini aku tahu betapa senangnya dirinya sebelum kejadian itu menimpanya… setidaknya dia mendapatkan teman ngobrol yang menyenangkan di saat aku tidak bisa menemaninya,” liri
Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam lamanya dengan mengendarai mobinya sendiri, akhirnya Elvan sampai di Jakarta. Meski sudah 8 bulan lamanya ia meninggalkan kota ini tapi ia tidak lupa dengan jalan-jalan di sini. Dengan memacu mobilnya Elvan menuju kantor miliknya yang sudah lama tidak di injaknya.Andrew sudah mengaturkan jadwal pertemuannya dengan klien penting dari perusahaan asing tersebut.Jakarta tidak banyak berubah saat terakhir kali ia tinggalkan berbulan-bulan yang lalu."Masih tetap sama, macet dimana-mana," gumam Elvan.Mungkin karena Elvan sudah lama tinggal di pegunungan dengan udara yang bersih dan sejuk, ia merasa sedikit tidak nyaman saat ini. Perbedaannya sungguh signifikan. Jika di vilanya hanya warna hijau membentang sejauh mata memandang dengan langit yang begitu luas. Di sini hanya ada gedung-gedung tinggi pencakar langit dan mobil yang berseliweran di mana-mana. Bahkan la
Beberapa hari berlalu, dan Elvan masih melihat Andrew yang sesekali masih termenung.“Lu masih belum hubungi Metta?” tanya Elvan.Andrew menggeleng, “Udah sih tapi seperti yang sudah-sudah, gak dibaca.”“Samperin dia udah?” tanya Elvan lagi.Andrew menggeleng, “Gue gak mau bikin dia makin kesel sama gue kalau tiba-tiba dateng gitu aja.”Elvan tampak berpikir, “Iya sih…”“Metta masih muda, pasti dia agak sedikit keras kepala. Dan Lu harusnya udah bisa berpikir dewasa, Ndrew.”“Maksud Lu?” tanya Andrew.“Gue tau emang Lu gak salah sepenuhnya karena niat Lu juga baik. Dan gue bisa liat kalau Lu emang nyesel… Tapi emang Lu harus samperin dia dan minta maaf lagi,” ujar Elvan.“Kalian emang harus ketemu, tapi usahain kaya yang gak sengaja gitu…” lanjur Elvan.“Nahhh itu yang susah, karena gue takutnya Metta mikirnya gue nguntit dia,” ujar Andrew.Elvan mengangguk. Kemudian ia tampak berpikir. Tak lama kemudian Elvan ingat dengan rencana Mamih Soraya tempo hari yang sempat Mamih bicarakan.“
“Jawabannya cuma satu kalau Lu masih ngerasa kaya ada yang hilang dan pengennya selalu ketemu dia...” ujar Elvan tak lama kemudian.Andrew yang sejak tadi menatap Elvan kemudian mengerutkan keningnya, “Apa?” tanyanya dengan suara yang masih lirih."Gue akan jawab panjang lebar dan jangan Lu potong dulu, tapi tolong Lu simak baik-baik, oke?!"Andrew mengangguk.“Tanyakan pada dirimu sendiri, coba masuki hatimu yang paling dalam. Gue yakin selama Lu deket dengan cewek-cewek Lu selama ini, Lu tuh gak pernah pake hati atau perasaan sama mereka. Lu selalu mengedepankan dan memanjakan pandangan mata Lu yang di hibur oleh kecantikan mereka, dan nafsu Lu yang besar,” ujar Elvan.“Mata Lu di hibur oleh visual mereka yang menarik, hingga akhirnya Lu tertarik dan di sambungkan sama nafsu Lu. Lu gak pernah menyukai mereka dengan hati dan pikiran Lu. Jadi saat mereka pergi dari hidup Lu gak akan ada rasa kehilangan yang bakal Lu rasain, beda dengan sekarang. Mungkin Lu gak pernah mencoba untuk pak
“Astagaaaa!! Gila Lu yaaa!!” decak Elvan tak percaya.“Dengerin dulu! Kan gue udah bilang kalau gue ada alesan kenapa lakuin itu! Situasinya sangat memaksa. Tuh cowok gak percaya banget kalo Metta itu cewek normal meski gue udah rangkul pinggangnya. Dia dendam banget karena ditolak Metta dan gagal nglecehin. Jadi menurut gue, dia gak akan berhenti dan pasti akan bikin susah Metta di kemudian hari. Cowok itu ngomong sendiri, kalo dia gak bisa dapetin Metta, yang lainnya juga gak akan bisa. Jadi spontan gue nyium bibirnya di depan dua orang itu untuk mentahin prasangka buruknya," jelas Andrew.Elvan terdiam dan berusaha membayangkan situasi yang terjadi saat itu.Rasanya sangat sulit bagi Elvan, mengingat posisi Andrew saat itu sama saja dengan dirinya dan Aya di saat Aya sedang di sudutkan oleh Andre dan Shella dulu di pesta, hingga ia langsung mengatakan jika Aya adalah calon istrinya. Hanya saja yang menjadi perbedaan adalah saat itu Aya memang calon istrinya sungguhan. Sedangkan And
Sejak pagi Elvan mengamati Andrew, memang menurutnya Andrew sedikit berubah. Tapi ia belum tahu apakah perubahan dalam diri Andrew ini berhubungan dengan Metta atau tidak. Tapi melihat hubungannya dengan Metta sedikit aneh, serta tindakan sikap mereka berdua semakin menguatkan pada tebakannya.Siang ini Andrew masuk ke dalam ruangannya untuk memberikan berkas pada Elvan.“Mau makan di mana ntar?” tanya Andrew seraya menunggu berkas yang sedang di periksa dan akan ditanda tangani oleh Elvan. “Di sini aja lah, lagi males keluar. Kayanya panas banget,” ujar Elvan. “Emang Lu mau keluar?” tanya Elvan kemudian.“Tadinya sih, cuma kaya emang panas banget, jadi males lah…” balas Andrew.“Makan sini ajalah, Lu pesenin ya, biasa. Gue bayarin lah…” ujar Elvan.“Beneran nih?” tanya Andrew.Elvan mengangguk.“Awas ya, udah ini Lu malah mau balik cepet-cepet! Nggak kan?” desis Andrew seraya menatap tajam pada Elvan.“Gak lahh. Kerjaan banyak gini gue gak mungkin balik cepet-cepet!” seru Elvan.“Ya
“Wahhh… cantiknyaa….” puji Hilda pada putrinya--Metta. Metta tampak begitu cantik dengan dress potongan sederhana, namun menojolkan bentuk tubuhnya yang bagus. Riasan wajahnya punt tidak terlalu berlebihan, begitu juga dengan rambut pendek Metta yang dibiarkan tergerai, di tata dengan sangat simple namun terlihat rapi.“Ma, gak bisa pake celana aja gitu?” tanya Metta.“Duhh… gak bisa dong, ini kan acara resmi, kamu kan dampingi Papa gantiin Mama, kalau Mama sehat sih Mama yang pergi.” Hilda masih memperhatikan penampilan putrinya yang terlihat begitu cantik.Metta mendengus. “Kamu ini perempuan sayang, meski kamu emang tomboy, kamu juga harus bisa berpenampilan seperti ini sesekali. Gimana kalau kamu nanti dapat pasangan kaya Papa, kamu harus loh mendampinginya ke acara seperti ini,” ujar Hilda.“Iya sih, Ma. Tapi…”“Ah jangan ada tapi-tapinya deh, pokoknya kamu tuh cantik banget kok!” ujar Hilda.Metta hanya mengangguk, dengan terpaksa dan tanpa bisa menolak lagi, Metta harus mengga
Setelah Metta bisa meredam emosinya ia kembali berkata seraya menatap Andrew lagi. Jika tidak ingat siapa Andrew, dan sudah banyak pertolongannya padanya, sudah pasti Metta akan menghajar Andrew dengan tangannya saat ini juga. Tapi dia bukanlah orang yang tidak tahu terima kasih dan tidak tahu diri, jadi Metta berusaha menahan dirinya dan tetap berpikir dingin."Karena aku bukan bocil yang biasa dicium cowok gitu aja, Kak. Apalagi setelah tau, cowok yang menciumku adalah seorang player. Aku gak biasa banget kaya gitu dan gak mau di biasakan untuk hal yang seperti itu. Mencium itu seharusnya pakai hati pake perasaan, demikian juga yang terima ciumann dari kakak. Bukan sekedar rasa kepo pengen tau rasanya dicium kaya apa. Aku gak kaya Kakak. Mungkin buat Kakak itu hal yang biasa, Kakak bebas mencium siapa aja, tapi gak denganku!”Andrew terdiam mendengar perkataan Metta yang terdengar sangat serius itu.“Asal Kakak tahu, aku emang menghindari Kakak! Dan minggu lalu aku bohong soalnya da
Sudah tiga hari ini Andrew mencoba menghubungi Metta dengan mengiriminya chat, tapi Metta tak pernah membalasnya, hanya membacanya saja. Bahkan Andrew juga sempat menghubunginya melalui panggilan suara bahkan panggilan video, tapi Metta tak mengangkatnya sama sekali.“Bocil ini aneh banget sihh… Apa datang bulannya belum selesai?” gumam Andrew di dalam ruangannya.Tadinya ia ada rencana untuk makan siang di luar, karena setelah makan siang ia ada janji dengan klien dan tempatnya berdekatan dengan kampus Metta. Jadi dia mau mengajak Metta makan siang bersama jika dia ada di kampus, tapi selama tiga hari ini dan yang barusan terakhir Metta tetap tak menggubrisnya.“Ini bener-bener aneh…” gumam Andrew lagi.Ia belum bisa menemui Metta kecuali siang ini, karena besok sampai akhir pekan ini Andrew sangat sibuk. Tapi ia penasaran pada Metta yang tiba-tiba saja berubah drastis padanya.“Kalau ada waktu nanti aku temui dia deh…” ujar Andrew lagi.Andrew masih sangat penasaran mengapa Metta ja
“Ck!” Andrew tampak kesal saat ia membuka pintu mobilnya, bersamaan dengan itu, wanita yang tadi berbicara dengan Andrew pergi begitu saja meninggalkan tempat ini.“Sorry, agak lama nunggunya,” ujar Andrew begitu ia sudah kembali masuk ke dalam mobil, dan langsung memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. Andrew juga langsung menyalakan mesin mobilnya. "Kita pergi sekarang!”“Hmm…” sahut Metta. Masih ada perasaan tak percaya dalam dirinya atas apa yang sudah di lihatnya beberapa saat yang lalu dan pengakuan dari mulut Andrew sendiri bahwa ia memiliki banyak mantan kekasih bahkan kini tangannya terasa gemetar. Metta mencoba mengeratkan genggamannya agar Andrew tidak mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya.Mobil yang Andrew kendarai mulai memasuki jalanan besar. “Kita pulang aja, Kak.” Metta tiba-tiba saja berkata.“Loh, kan kamu mau nemenin aku ke sana!” sahut Andrew.“Gak enak badan, Kak. Tiba-tiba lemes!” ujar Metta.Andrew menolehkan pandangannya pada Metta sejenak, “Mau ke rumah s
“Makanan di sini emang enak ternyata,” ujar Andrew setelah ia mencoba makanannya yang beberapa saat lalu sudah datang dan di sajikan di hadapan mereka.Metta yang duduk di hadapan Andrew mengangguk menyetujuinya. Memang makanan yang sedang di makannya pun juga terasa enak. Meski pun ia sebenarnya bukan tipe orang yang pilih-pilih makanan.“Iya, Kak. Enak…” sahut Metta.Andrew tersenyum, “Eh masih sakit?” tanyanya.Metta menggeleng, “Gak kok, Kak. Udah mendingan,” bohong Metta. Karena sudah terlanjur berbohong jadi Metta harus terus melanjutkan kebohongan yang sudah terlanjur ia buat sendiri.Duduk di hadapan Andrew seperti ini sangatlah tersiksa, tapi Metta mencoba untuk mengontrol dirinya. Jadi saat menatap Andrew di usahakan dirinya tidak melihat bibir Andrew atau matanya tapi melihat ke arah keningnya saja untuk menghindari kontak mata.“Abis dari sini enaknya ke mana ya?” tanya Andrew.“Aku gak tau, Kak.”“Lumayan, tumben-tumenan aku pengen jalan-jalan kaya gini, udah lama juga ka