7 hari telah berlalu, sudah saatnya Grace kembali bekerja. Uang tidak akan datang dengan sendirinya. Demi kehidupan mewah yang ia jalani, ia harus bekerja keras, mengumpulkan pundi-pundi uang.
Beberapa waktu lalu, sebelum kepulangannya ke Indonesia, Grace dihubungi oleh salah satu desainer ternama untuk ikut serta dalam Java's Fashion Week. Tentu saja ia langsung setuju tanpa pikir panjang. Ia sangat pandai dalam melihat peluang.
Desainer itu adalah Ananta Lazuardi, desainer muda yang berhasil merambah pasar Asia sejak 3 tahun yang lalu. Beberapa kali ia memesan gaun musim semi darinya, sehingga ia cukup mengenal Ananta Lazuardi. Ini salah satu bukti bahwa koneksi sangat penting dalam dunia karir.
"Grace, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama." sapa Ananta dengan begitu akrab.
"Baru 5 bulan."
"Hai, Gabby!"
"Hai!" balas Gabby.
"Bagaimana perjalanan kalian?"
Grace menoleh sejenak ke arah Gabby. "Sangat lancar, walaupun melelahkan."
Ananta terkekeh. "Jujur, aku sangat senang dengan kelelahan mu. Kau tahu, aku sudah menunggu kesempatan ini sejak lama."
"Begitu juga aku. Gaun darimu tidak pernah mengecewakan sekali pun."
"Kau membuatku tersanjung, Grace."
Cukup lama mereka membicarakan perihal pekerjaan. Saking asiknya, mereka hingga lupa waktu. Menurut Grace, Ananta adalah orang yang menyenangkan. Mereka satu frekuensi dalam hal selera. Semua desain yang telah dibuat Ananta, tidak ada yang bukan seleranya. Simpel, elegan dan glamour.
"Ada sebuah brand lokal bernama 2 pm. Mereka baru saja membuka toko yang ke 15, bulan lalu. Menurutku 2 pm cukup menjanjikan. Tahun ini mereka akan merambah ke pasar Asia Tenggara. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan Mark Lee, CEO 2 pm. Aku menunjukkan profil mu dan dia sangat tertarik. Jika kau tidak sibuk, datanglah ke kantornya." Ananta menyodorkan sebuah kartu nama.
"Aku belum pernah mendengar merek itu."
Grace ragu. Ia tidak akan mau bekerja sama dengan sebuah merek yang tidak terkenal. Sebagai model profesional, sudah seharusnya ia menyaring setiap pekerjaan yang datang. Ia harus cerdas.
"2 pm masih cukup baru."
Ia mengangguk, mengerti. Meski ragu, tidak seharusnya ia menolak tawaran yang datang dari Ananta. "Nanti aku akan mampir ke salah satu tokonya, jika mereka memiliki kualitas yang bagus, aku akan dengan senang hati bekerja sama dengan mereka."
"Aku menyukai gayamu. Pantas saja namamu sangat diperhitungkan di dunia model, ternyata kau sangat pandai memilih peluang."
"Itu sudah jelas. Aku bisa melihat merek mana yang memiliki pasar tinggi."
"Kau model terbaikku Grace, meskipun pemilih."
"Dia pemilih dalam segala hal." Gabby berbisik. Seketika Ananta tertawa.
"Kau pasti kesulitan selama ini."
"Sangat." balas Gabby.
"Terima saja, itu memang pekerjaan mu." imbuh Grace, yang secara tak langsung mengiyakan.
"Kau mau bekerja sama dengan ku, apa itu artinya baju2ku berstandar tinggi?"
"Tentu saja, setiap baju yang ku pesan darimu, tidak ada satupun yang mengecewakan."
"Aku sangat tersanjung."
šµšµšµ
Sesungguhnya Grace sangat penasaran dengan merek 2 pm. Ia bisa menilai sebuah produk jika sudah melihatnya secara langsung. Ia tidak bisa hanya mengandalkan kata orang atau review yang tersebar di dunia maya. Matanya dan tangannya harus membuktikan secara langsung.
Ananta menunjukkan toko 2 pm terdekat, yang kebetulan searah dengan jalan pulang. Tokonya cukup besar, hampir setengah lahan parkir dipenuhi oleh kendaraan. Pertama kali masuk, ia langsung memberikan satu poin, ada seorang pegawai yang menyambut ramah di pintu masuk. Di langkah kedua, ia kembali memberikan satu poin untuk desain dan interiornya. Tapi ia ingat, yang akan ia nilai adalah kualitas produk.
"Tempatnya cukup keren." komentar Gabby yang lebih dulu melangkah maju, melihat pakaian yang digantung.
"Gimana?" tanya Gabby.
Grace mengangguk-angguk, menimang atasan lengan panjang yang Gabby tunjukkan.
"Bagus." Desainnya menarik. Ia menyentuh bahannya, lalu melihat detail jahitanya yang rapi dan ia tahu itu grade A.
Tidak hanya berhenti pada satu pakaian, ia menyambangi hampir semua produk di sana. Sedikit demi sedikit muncul rasa tertarik untuk bekerja sama dengan pihak 2 pm. Ia rasa 2 pm memiliki prospek yang tinggi untuk kedepannya. Lebih lagi, sejak 1 jam mereka di sana, sudah lebih dari sepuluh orang yang keluar masuk. Dari raut wajah para pengunjung, tampaknya mereka cukup puas dengan pelayanan, produk, juga harga.
"Bagaimana?"
Gabby penasaran dengan pendapat Grace. Soal pekerjaan ia tidak pernah menyuruhnya menolak ataupun menerima sebuah tawaran pekerjaan. Grace selalu memiliki penilaian sendiri, dan selama ini belum pernah sekalipun penilaian salah.
"Cukup menarik!"
"Aku rasa juga begitu. Bekerja sama dengan 2 pm akan membantu perjalanan karirmu di Asia, jika memang yang dikatakan Ananta benar, soal 2 pm yang akan merambah pasar Asia Tenggara."
"Kali ini aku setuju denganmu."
Grace menempelkan salah satu atasan pada tubuhnya. Cukup pas dan terlihat cocok. Ia berputar seraya melirik tubuhnya di kaca.
"Aku ambil ini." Ia menyerahkan baju itu pada Gabby, "Aku akan memakainya saat bertemu Mark Lee."
"Kau selalu memiliki cara untuk merayu orang."
"Ini trik, saat mereka melihatku menggunakan produk mereka, ini akan memberikan kesan tersendiri untuk mereka."
"Aku akui, kau sangat berpengalaman dalam hal seperti ini, aku akan mendukung semua yang kau lakukan."
"Itu memang tugasmu."
Grace menyibakkan rambutnya hingga mengenai wajah Gabby. Ia tidak bisa mendengar pujian, berbahaya. Sekali mendengar, Grace langsung melambung tinggi ke angkasa.
Kasir sedang melayani seorang pengunjung, mereka harus menunggu hingga giliran mereka datang. Walaupun Grace malas menunggu, namun ia masih menjunjung tinggi ketertiban. Dengan kata lain, meski menyebalkan namun attitude nomer satu baginya. Attitude adalah sesuatu yang wajib ia miliki sebagai model profesional.
Setelah kasir menyebutkan total belanja, ia segera mengeluarkan kartu kreditnya. Ia tahu, sikap ramah tidak hanya dimiliki oleh pegawai yang berada di pintu masuk, melainkan setiap pegawai, termasuk kasir.
"Terimakasih, silahkan datang kembali!" ucapnya dengan ramah.
Baru dua langkah meninggalkan kasir, langkah Grace berhenti mendadak. Matanya terpaku pada sosok yang baru saja melewati pintu masuk. Hal itu tidak luput dari perhatian Gabby.
"Ada apa?"
Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.
Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.
Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada dari titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace.
"Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.
Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal.
TBC...
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebanyak-banyaknya di kolom komentar ā¤
"Ada apa?"Gabby mengikuti arah pandang Grace yang tertuju ke pintu masuk. Ia melihat seorang pria yang tak asing. Rasanya ia pernah melihat pria itu di suatu tempat.Pria itu tersenyum ramah ke arah pegawai yang menyambut di pintu masuk. Garis bibirnya tertarik ke atas begitu manis. Tak lama dari itu, seorang pria lain masuk dan merangkul pria pertama.Pria yang memiliki senyuman manis itu menoleh ke arah Grace, namun senyumannya tiba-tiba luntur. Tatapan mereka terkunci pada satu titik dalam sepuluh detik. Tanpa disangka, pria itu maju menghampiri Grace."Sungguh tidak menyangka akan bertemu denganmu disini." ucapnya dengan senyuman miring.Grace tetap diam dengan ekspresi yang tidak berubah sejak awal."Benar, mungkin ini hari s
Hoam.. Grace menggeliat dibalik selimut tebalnya. Tubuhnya berganti posisi. Nyaman. Ia ingin tidur setidaknya untuk 30 menit lagi. Kelopak matanya masih terasa lengket, dan tidak mau dibuka. Namun perlahan ia paksa matanya melirik jam dinding putih yang sudah mengarah pada pukul 5.30.Gagal.Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pukul 8 ia harus bertemu dengan Mark Lee. Alih-alih sarapan bersama, mereka hendak membicarakan kerja sama yang sudah sempat mereka bicarakan via e-mail.Meski jam menunjukkan pukul setengah 6, namun ia memilih untuk sejenak mengumpulkan kesadaran. Ia menoleh ke arah gorden. Sinar mulai masuk meski masih redup. Napasnya yang berat keluar kasar. Matanya bergerak, menolah ke nakas yang terletak di samping meja riasnya. Sudut bibirnya bergerak naik.Kemarin ia melihat ada ikan cupang yang bagus. Warnanya menarik, gabungan antara hitam, biru muda
Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, k
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
"Benar, semua desainmu sangat bagus. Aku mengusulkan Nate untuk mengambil beberapa.""Benarkah?" senyum Lenny, tipis. "Menurutku kalian berdua yang luar biasa, bisa mengamati baju rancangan Lenny meski sibuk berpose." sindiran Grace membuat ketiga pasang mata itu menatap ke belakang. Di sana Grace hanya tersenyum manis tanpa rasa bersalah."Apa maksudmu?" reflek salah satu wanita yang terlihat lebih sederhana, yang kini ia ketahui sebagai asisten pribadinya. "Siapa kau? berani sekali masuk ke pembicaraan kami.""Suaramu cukup keras untuk di dengar satu gedung, bukankah itu sama artinya dengan memberikan hal kepada orang lain untuk menanggapi ucapan mu?" sarkas Grace, membuat wanita sombong di depannya tak berani berkutik. Di sana, Lenny Tan menatap tak suka dengan kedua wanita yang tadi berusaha menjilatnya. "Ka.. Kau!"Grace tersenyum menang sebelum mengalihkan pandangannya kepada Lenny Tan, yang belum semp
Grace tiba di fashion show temannya sedikit terlambat. Tidurnya terlampau nyenyak seperti terpengaruh oleh obat tidur. Menurut Gabby ia terlalu lelah perjalanan, namun kemungkinan ia juga kelelahan karena menangis terlalu lama. Dan karena hal itu, ia harus berlama-lama di depan kaca untuk menutup mata sembabnya. Ia dan Gabby memilih tempat duduk paling belakang. Rasanya akan memalukan jika ia memilih bangku depan di waktu pertunjukan yang sudah setengah perjalanan. Temannya adalah seorang desainer. Dia sudah lama masuk dunia fashion, namun baru kali ini berani melakukan fashion show. Mereknya tidak cukup terkenal, namun produknya berkualitas, setara dengan merek-merek terkenal lainnya. Grace mengambil satu potret model yang tengah berjalan dengan anggun, kemudian ia mengirimnya ke temannya -Lenny Tan. Tak jauh dari tempat duduknya, dua orang wanita telah menyita perhatiannya. Salah satu yang berpenampilan elegan dan mewah bergaya, menunggu wanita satuny
Seperti biasanya, Grace harus kembali menjalani kehidupannya. Berpura-pura tidak terjadi apapun, bahagia tanpa masalah. Hampir semua orang yang dikenalnya mengira ia hidup tanpa beban. Lebih dari berkecukupan, cantik, sukses. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijauIa rasa peribahasa itu yang pantas untuk situasinya. Orang lain menganggap hidupnya lebih baik dari mereka, akan tetapi yang sebenarnya Grace rasa justru hidup mereka yang lebih bahagia. Mengadu nasib dengan orang lain tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki standar bahagia masing-masing. Bahagia untuk Grace belum tentu bahagia menurut orang lain. Misal saja mendapatkan sebuah tepukan hangat di pucuk kepalanya, atau yang lebih ringan mendapatkan senyuman dari orang tuanya. Grace tahu standar kebahagiaannya terlalu rendah jika dibandingkan orang lain, namun itu yang hatinya inginkan. Hal kecil yang mungkin orang lain akan mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan -lebay. Itulah salah sa
Drew menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan cukup keras. Kedua tangannya telentang, matanya mengarah pada langit-langit yang putih bersih tanpa noda. Berbeda dengan pikirannya yang melayang membayangkan kejadian beberapa waktu lalu di rumah keluarga Wayne. Lagi, ia menyaksikan Grace dengan Ibunya bertengkar. Sejahat-jahatnya Grace dulu yang telah menolaknya mentah-mentah dengan dalih miskin, ia rasa tidak cukup jahat dibandingkan dengan permusuhan wanita itu dengan Ibunya. Ia baru tahu Grace memiliki sifat seburuk itu. "Tante menyesal, kamu terpaksa melihat pertengkaran tante dengan Grace."Drew hanya tersenyum canggung, "Tidak apa-apa tante.""Hubungan tante dengan Grace memang tidak baik. Tante yakin, Grace terkena pengaruh buruk ketika tinggal di London."Drew rasa sekedar pengaruh dari luar tidak akan menjadikan Grace sejahat itu. Indonesia dan luar negeri hanya berbeda kultur. Di luar negeri juga diajarkan menghormati kedua orang tua, s
"Grace, kembali!" perintah Papanya. Ia tidak peduli dengan permintaan Papanya. Kakinya terus berjalan tak acuh. Wajahnya yang tajam perlahan mengendur. Kedua ujung bibirnya ditekuk ke dalam dengan kedua kelopak mata yang bergetar. Rahangnya ikut mengeras menahan gejolak yang hendak meledak dalam dirinya. Ia terus berjalan menuju mobilnya tanpa ada fokus. Matanya menatap ke depan, namun tidak ada yang ia perhatikan. Kakinya seolah otomatis berjalan. Sudah bisa ditebak bahwa pertengkaran tidak mungkin terelakkan, namun ketika tebakannya terbukti hatinya justru merasa perih. Hanya karena terbiasa rupanya tidak dapat menghalau sakit. Pandangannya semakin mengabur tertutupi oleh air mata yang ingin merembes. Sebelum itu benar-benar terjadi Grace sudah menghapus dengan punggung tangan kirinya. Ia tidak rela air matanya keluar. Terlihat lemah adalah hal yang paling tidak ia sukai. Mobilnya melaju kencang membelah malam. Suasana hatinya yang buruk mem
"Ups, ada pertemuan keluarga rupanya. Apa aku mengganggu kalian?" ujarnya dengan nada merendahkan. Senyuman miring itu masih menghiasi wajahnya sementara langkahnya kian mendekat. "Apa kabar, Ma.. Pa?" sapanya sembari mengamati perubahan mimik Mamanya yang terlihat tidak suka. "Ayo, ikut makan dengan kami!" ajak Ayahnya. Grace tidak bodoh untuk menangkapnya sebagai kata basa-basi. Jelas di sana hanya ada 4 kursi dan semuanya penuh. Apa ia harus duduk di lantai? Lagi, yang membuatnya urung adalah ekspresi Mamanya yang masih melihat tidak suka. Apakah sebegitu tidak sudinya untuk berbagi meja. "Aku tidak ingin merusak acara kalian, silahkan dilanjutkan!"Sebelum melangkah pergi, lirikannya bertemu dengan tatapan Drew yang datar. Sama sekali tidak ada emosi apapun di sana. Jika dilihat dari pertemuan terakhir mereka yang cukup buruk, seharusnya tatapan kebencian yang pria itu berikan padanya. Awalnya Grace i
Setelah dari kedai kopi, Drew pindah ke kediaman keluarga Wayne. Elle memaksanya untuk ikut makan malam, sesuai dengan janjinya tempo hari. Sembari menunggu Nyonya Wayne dan Elle menyiapkan makan malam, ia bersama dengan Tuan Wayne tengah berbincang tentang bola di ruang tamu. Diam-diam Papa Grace itu sangat menyukai bola, namun karena ia cukup sibuk terkadang ia tidak sempat untuk menyalurkan hobinya itu. "Sepertinya Om harus nonton pertandingan kamu secara langsung. Selama ini Om hanya melihat kamu di berita." "Saya akan merasa sangat senang. Minggu depan ada pertandingan CBT liga 1, jika Om berkenan untuk datang.""Oh ya? Tapi sayang sekali, lusa Om harus berangkat ke Paris untuk shooting. Ada film baru yang akan Om garap untuk penayangan pertengahan tahun depan.""Mungkin lain kali kalau Om ada waktu.""Om usahakan untuk nonton streamingnya." "... Setiap ada tim yang tanding, terutama tim kamu, semua tim minta br
Grace mengobrak-abrik isi kamar Gabby untuk mencari paspornya. Besok ia harus ke Singapura untuk menghadiri fashion show yang diadakan oleh temannya sewaktu di London. Hanya sebentar, maka dari itu ia tidak memerlukan banyak persiapan, akan tetapi ia tetap saja memerlukan paspornya. "Sebenarnya dimana kau meletakkannya?" tanya Gabby kesal. "Aku tidak ingat." balas Grace sama kesalnya, "Coba ingat lagi, mungkin saja kau yang membawanya." "Paspor adalah barang pribadimu, aku tidak mungkin membawanya.""Terakhir kali kau datang dari London, tas mana yang kau pakai?"Grace menoleh ke seluruh tasnya yang sudah berserakan di lantai kamar. Jajaran tasnya ia absen satu persatu. Waktu itu ia memakai tas ransel kulit berwarna coklat, namun tidak ada tas itu di sana. "Aku rasa tasnya tertinggal di rumahmu." tebak Gabby. Kala itu, Grace langsung menuju rumahnya sendiri. Kemungkinan terbesar, tas itu berada di rumah keluarg
Kini Drew sudah menjadi Drew seperti sebelumnya. Fokusnya saat latihan telah kembali. Entah mengapa, saat melihat keburukan Grace tempo hari justru membuat dirinya lebih baik. Ia mensugesti dirinya sendiri bahwa Grace memang memiliki sifat buruk seperti itu, dia selalu melukai harga diri semua orang. Ia hanya harus maklum. Kemarahan tidak mungkin tidak ada, namun cukup bisa dikendalikan. Ia pikir, karirnya lebih penting daripada dendam pribadinya pada Grace. Sifat buruk Grace tidak akan mampu membuatnya menghancurkan karir dirinya sendiri. "Drew!" panggil Ben sambil menunjuk seseorang yang tengah duduk di tribun dengan dagunya. Drew mengikuti arah pandang Ben. Seorang wanita berbaju putih dengan rambut terurai tengah melambaikan tangannya. Sekali lihat, Drew langsung bisa mengenali wanita itu. Elle. Tempo hari ia menyuruh Elle untuk mampir ke tempat latihannya saat tahu bahwa Elle sering ada acara di sekitar sana. Drew berlari kecil menghampiri Elle. Se