Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami.
"Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis."
"Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu."
"Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris.
"Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.
Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta
Sudah 2 hari Grace menginap di rumah Gabby, rencananya hari ini ia akan kembali ke rumah. Alasan sebenarnya karena dia merindukan peralatan make up-nya. Selama di rumah Gabby, ia harus berpuasa tidak merias wajahnya. Salahnya karena pergi dari rumah dadakan. Ia tidak membawa barang sedikitpun. Lain kali, jika ia ingin kabur, ia harus memastikan membawa perlengkapannya. Terutama baju bermerk dan peralatan make up.Matahari sudah condong ke arah barat. Jalanan masih cukup lenggang, biasanya mulai pukul 5 jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang pulang kerja. Ia mencoba untuk terhindar dari kemacetan.Memasuki kawasan perumahan, Grace mengurangi kecepatan mobilnya. Matanya sesekali bergerak ke kanan kiri sekedar mengabsen rumah yang ia lewati. Begitu sampai di depan rumahnya, ia memilih untuk memperkirakan mobilnya di bahu jalan, seperti mobil lain.Ia berjalan dengan percaya diri, seolah tidak ing
Grace menjalani aktivitasnya seperti biasa. Jadwalnya ia padatkan, tidak membiarkan sedikitpun celah untuk bersantai alih-alih melupakan kejadian pertengkarannya yang disaksikan oleh Drew tempo hari. Jujur ia tidak menyangka mengapa Drew bisa berada di rumahnya. Harusnya ia lebih curiga saat itu, mengingat ia menyadari pintu rumahnya yang tidak terkunci. Jika saat itu ia menyadari adanya tamu, ia lebih bisa menyelamatkan citranya. Sangat memuakkan. "Grace, untuk selanjutnya jadwal mu kosong, kita bisa pulang dan istirahat.""Aku tidak mau.""Sudah dia hari ini kau kehilangan jam istirahat, besok kita harus keluar kota untuk pemotretan.""Ini masih jam 8, By.""Dan besok, kita harus berangkat pukul 4 pagi. Kau harus beristirahat cukup."Membayangkan kata istirahat, Grace takut terbayang-bayang kejadian tempo hari. Paling tidak ia membutuhkan kondisi yang sangat lelah dan mengantuk, jadi ketika ia merebahkan tubuhnya, ia bisa sege
Mama Grace tidak sengaja melewati kamar putrinya. Langkahnya berhenti saat mendapati pintu kamar itu sedikit terbuka. Ia melangkah masuk dan melihat pintu lemarinya juga setengah terbuka. Bajunya berkurang setengah dari jumlah biasanya. Tas, sepatu, bahkan make up yang biasanya tertata rapi di atas meja rias juga sudah menghilang. "Kamu tahu, Grace pulang mengambil barang-barangnya?"Elle yang tadinya selesai makan malam mendadak diam. Dia bingung hendak menjawab pertanyaan tante yang telah ia anggap sebagai Mamanya itu dengan jawaban seperti apa. Dia merasa serba salah. "Jadi kamu tahu?"Kediaman Elle hanya menyiratkan kebenaran dengan begitu jelas. "Anak itu, semakin lama semakin seenaknya." geram Mama Grace. "Ma.. ""Kenapa? Kamu mau coba bela dia lagi?""Bagaimanapun juga, Grace hanya.. ""Merajuk? Dia sudah besar, sudah tidak sepantasnya dia bersikap kekanak-kanakan. Dia datang dan pergi sesuka
Grace terbangun dari tidurnya sudah berada di atas ranjang Gabby. Keningnya mengkerut, memikirkan tentang kemarin malam. Seingatnya, ia berencana untuk melihat rumah bersama dengan Gabby. Namun sekarang, ia sudah berada di dalam kamar Gabby dengan selimut putih yang menutupi tubuhnya. Matanya melirik ke luar jendela, masih gelap. Selanjutnya, matanya melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 3 pagi. "Cepat bangun, kita harus segera berangkat.""Ah." hanya itu yang keluar dari bibir Grace. Ia ingat dengan jadwalnya yang harus pergi ke luar kota untuk melakukan pemotretan. "Bukannya semalam kita perjalanan untuk melihat rumah? Lalu bagaimana aku bisa tidur di sini?"Gabby dengan rambutnya yang masih terikat berjalan mendekat. Tubuhnya terlihat segar, sepertinya dia baru saja selesai mandi. "Pertama, kau sudah tertidur di tengah perjalanan, itulah sebabnya aku menyuruh sopir untuk putar balik. Kedua, kenapa kau bisa tidur di atas r
"Benar, semua desainmu sangat bagus. Aku mengusulkan Nate untuk mengambil beberapa.""Benarkah?" senyum Lenny, tipis. "Menurutku kalian berdua yang luar biasa, bisa mengamati baju rancangan Lenny meski sibuk berpose." sindiran Grace membuat ketiga pasang mata itu menatap ke belakang. Di sana Grace hanya tersenyum manis tanpa rasa bersalah."Apa maksudmu?" reflek salah satu wanita yang terlihat lebih sederhana, yang kini ia ketahui sebagai asisten pribadinya. "Siapa kau? berani sekali masuk ke pembicaraan kami.""Suaramu cukup keras untuk di dengar satu gedung, bukankah itu sama artinya dengan memberikan hal kepada orang lain untuk menanggapi ucapan mu?" sarkas Grace, membuat wanita sombong di depannya tak berani berkutik. Di sana, Lenny Tan menatap tak suka dengan kedua wanita yang tadi berusaha menjilatnya. "Ka.. Kau!"Grace tersenyum menang sebelum mengalihkan pandangannya kepada Lenny Tan, yang belum semp
Grace tiba di fashion show temannya sedikit terlambat. Tidurnya terlampau nyenyak seperti terpengaruh oleh obat tidur. Menurut Gabby ia terlalu lelah perjalanan, namun kemungkinan ia juga kelelahan karena menangis terlalu lama. Dan karena hal itu, ia harus berlama-lama di depan kaca untuk menutup mata sembabnya. Ia dan Gabby memilih tempat duduk paling belakang. Rasanya akan memalukan jika ia memilih bangku depan di waktu pertunjukan yang sudah setengah perjalanan. Temannya adalah seorang desainer. Dia sudah lama masuk dunia fashion, namun baru kali ini berani melakukan fashion show. Mereknya tidak cukup terkenal, namun produknya berkualitas, setara dengan merek-merek terkenal lainnya. Grace mengambil satu potret model yang tengah berjalan dengan anggun, kemudian ia mengirimnya ke temannya -Lenny Tan. Tak jauh dari tempat duduknya, dua orang wanita telah menyita perhatiannya. Salah satu yang berpenampilan elegan dan mewah bergaya, menunggu wanita satuny
Seperti biasanya, Grace harus kembali menjalani kehidupannya. Berpura-pura tidak terjadi apapun, bahagia tanpa masalah. Hampir semua orang yang dikenalnya mengira ia hidup tanpa beban. Lebih dari berkecukupan, cantik, sukses. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijauIa rasa peribahasa itu yang pantas untuk situasinya. Orang lain menganggap hidupnya lebih baik dari mereka, akan tetapi yang sebenarnya Grace rasa justru hidup mereka yang lebih bahagia. Mengadu nasib dengan orang lain tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki standar bahagia masing-masing. Bahagia untuk Grace belum tentu bahagia menurut orang lain. Misal saja mendapatkan sebuah tepukan hangat di pucuk kepalanya, atau yang lebih ringan mendapatkan senyuman dari orang tuanya. Grace tahu standar kebahagiaannya terlalu rendah jika dibandingkan orang lain, namun itu yang hatinya inginkan. Hal kecil yang mungkin orang lain akan mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan -lebay. Itulah salah sa
Drew menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan cukup keras. Kedua tangannya telentang, matanya mengarah pada langit-langit yang putih bersih tanpa noda. Berbeda dengan pikirannya yang melayang membayangkan kejadian beberapa waktu lalu di rumah keluarga Wayne. Lagi, ia menyaksikan Grace dengan Ibunya bertengkar. Sejahat-jahatnya Grace dulu yang telah menolaknya mentah-mentah dengan dalih miskin, ia rasa tidak cukup jahat dibandingkan dengan permusuhan wanita itu dengan Ibunya. Ia baru tahu Grace memiliki sifat seburuk itu. "Tante menyesal, kamu terpaksa melihat pertengkaran tante dengan Grace."Drew hanya tersenyum canggung, "Tidak apa-apa tante.""Hubungan tante dengan Grace memang tidak baik. Tante yakin, Grace terkena pengaruh buruk ketika tinggal di London."Drew rasa sekedar pengaruh dari luar tidak akan menjadikan Grace sejahat itu. Indonesia dan luar negeri hanya berbeda kultur. Di luar negeri juga diajarkan menghormati kedua orang tua, s
"Grace, kembali!" perintah Papanya. Ia tidak peduli dengan permintaan Papanya. Kakinya terus berjalan tak acuh. Wajahnya yang tajam perlahan mengendur. Kedua ujung bibirnya ditekuk ke dalam dengan kedua kelopak mata yang bergetar. Rahangnya ikut mengeras menahan gejolak yang hendak meledak dalam dirinya. Ia terus berjalan menuju mobilnya tanpa ada fokus. Matanya menatap ke depan, namun tidak ada yang ia perhatikan. Kakinya seolah otomatis berjalan. Sudah bisa ditebak bahwa pertengkaran tidak mungkin terelakkan, namun ketika tebakannya terbukti hatinya justru merasa perih. Hanya karena terbiasa rupanya tidak dapat menghalau sakit. Pandangannya semakin mengabur tertutupi oleh air mata yang ingin merembes. Sebelum itu benar-benar terjadi Grace sudah menghapus dengan punggung tangan kirinya. Ia tidak rela air matanya keluar. Terlihat lemah adalah hal yang paling tidak ia sukai. Mobilnya melaju kencang membelah malam. Suasana hatinya yang buruk mem
"Ups, ada pertemuan keluarga rupanya. Apa aku mengganggu kalian?" ujarnya dengan nada merendahkan. Senyuman miring itu masih menghiasi wajahnya sementara langkahnya kian mendekat. "Apa kabar, Ma.. Pa?" sapanya sembari mengamati perubahan mimik Mamanya yang terlihat tidak suka. "Ayo, ikut makan dengan kami!" ajak Ayahnya. Grace tidak bodoh untuk menangkapnya sebagai kata basa-basi. Jelas di sana hanya ada 4 kursi dan semuanya penuh. Apa ia harus duduk di lantai? Lagi, yang membuatnya urung adalah ekspresi Mamanya yang masih melihat tidak suka. Apakah sebegitu tidak sudinya untuk berbagi meja. "Aku tidak ingin merusak acara kalian, silahkan dilanjutkan!"Sebelum melangkah pergi, lirikannya bertemu dengan tatapan Drew yang datar. Sama sekali tidak ada emosi apapun di sana. Jika dilihat dari pertemuan terakhir mereka yang cukup buruk, seharusnya tatapan kebencian yang pria itu berikan padanya. Awalnya Grace i
Setelah dari kedai kopi, Drew pindah ke kediaman keluarga Wayne. Elle memaksanya untuk ikut makan malam, sesuai dengan janjinya tempo hari. Sembari menunggu Nyonya Wayne dan Elle menyiapkan makan malam, ia bersama dengan Tuan Wayne tengah berbincang tentang bola di ruang tamu. Diam-diam Papa Grace itu sangat menyukai bola, namun karena ia cukup sibuk terkadang ia tidak sempat untuk menyalurkan hobinya itu. "Sepertinya Om harus nonton pertandingan kamu secara langsung. Selama ini Om hanya melihat kamu di berita." "Saya akan merasa sangat senang. Minggu depan ada pertandingan CBT liga 1, jika Om berkenan untuk datang.""Oh ya? Tapi sayang sekali, lusa Om harus berangkat ke Paris untuk shooting. Ada film baru yang akan Om garap untuk penayangan pertengahan tahun depan.""Mungkin lain kali kalau Om ada waktu.""Om usahakan untuk nonton streamingnya." "... Setiap ada tim yang tanding, terutama tim kamu, semua tim minta br
Grace mengobrak-abrik isi kamar Gabby untuk mencari paspornya. Besok ia harus ke Singapura untuk menghadiri fashion show yang diadakan oleh temannya sewaktu di London. Hanya sebentar, maka dari itu ia tidak memerlukan banyak persiapan, akan tetapi ia tetap saja memerlukan paspornya. "Sebenarnya dimana kau meletakkannya?" tanya Gabby kesal. "Aku tidak ingat." balas Grace sama kesalnya, "Coba ingat lagi, mungkin saja kau yang membawanya." "Paspor adalah barang pribadimu, aku tidak mungkin membawanya.""Terakhir kali kau datang dari London, tas mana yang kau pakai?"Grace menoleh ke seluruh tasnya yang sudah berserakan di lantai kamar. Jajaran tasnya ia absen satu persatu. Waktu itu ia memakai tas ransel kulit berwarna coklat, namun tidak ada tas itu di sana. "Aku rasa tasnya tertinggal di rumahmu." tebak Gabby. Kala itu, Grace langsung menuju rumahnya sendiri. Kemungkinan terbesar, tas itu berada di rumah keluarg
Kini Drew sudah menjadi Drew seperti sebelumnya. Fokusnya saat latihan telah kembali. Entah mengapa, saat melihat keburukan Grace tempo hari justru membuat dirinya lebih baik. Ia mensugesti dirinya sendiri bahwa Grace memang memiliki sifat buruk seperti itu, dia selalu melukai harga diri semua orang. Ia hanya harus maklum. Kemarahan tidak mungkin tidak ada, namun cukup bisa dikendalikan. Ia pikir, karirnya lebih penting daripada dendam pribadinya pada Grace. Sifat buruk Grace tidak akan mampu membuatnya menghancurkan karir dirinya sendiri. "Drew!" panggil Ben sambil menunjuk seseorang yang tengah duduk di tribun dengan dagunya. Drew mengikuti arah pandang Ben. Seorang wanita berbaju putih dengan rambut terurai tengah melambaikan tangannya. Sekali lihat, Drew langsung bisa mengenali wanita itu. Elle. Tempo hari ia menyuruh Elle untuk mampir ke tempat latihannya saat tahu bahwa Elle sering ada acara di sekitar sana. Drew berlari kecil menghampiri Elle. Se