Hoam..
Grace menggeliat dibalik selimut tebalnya. Tubuhnya berganti posisi. Nyaman. Ia ingin tidur setidaknya untuk 30 menit lagi. Kelopak matanya masih terasa lengket, dan tidak mau dibuka. Namun perlahan ia paksa matanya melirik jam dinding putih yang sudah mengarah pada pukul 5.30.
Gagal.
Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Pukul 8 ia harus bertemu dengan Mark Lee. Alih-alih sarapan bersama, mereka hendak membicarakan kerja sama yang sudah sempat mereka bicarakan via e-mail.
Meski jam menunjukkan pukul setengah 6, namun ia memilih untuk sejenak mengumpulkan kesadaran. Ia menoleh ke arah gorden. Sinar mulai masuk meski masih redup. Napasnya yang berat keluar kasar.
Matanya bergerak, menolah ke nakas yang terletak di samping meja riasnya. Sudut bibirnya bergerak naik.Kemarin ia melihat ada ikan cupang yang bagus. Warnanya menarik, gabungan antara hitam, biru muda, dan tua. Ekornya lebar, mengingatkannya pada sosok putri duyung yang dulu pernah ia baca dalam buku cerita. Penjualnya bilang, yang punya ekor yang indah berkelamin jantan. Padahal sama sekali tidak cocok jika dikatakan tampan. Kata indah ataupun cantik yang cocok, meski notabene digunakan pada mahluk berjenis kelamin perempuan.
"Hai, Cipto!" sapa Grace pada ikannya.
Ia tidak sempat memikirkan nama yang cocok. Memberikan nama menjadi hal yang memusingkan, sehingga ia hanya memilih random nama yang terlintas di otaknya.
Ada sebuah toples kecil berisi makanan ikan yang sudah ia siapkan di sampingnya. Grace hanya memberikan sedikit, ia takut jika terlalu banyak hanya membuat akuarium toplesnya itu kotor.
Tok tok tok
"Masuk!" suruh Grace tanpa menoleh. Pandangan dan jarinya masih asik bermain dengan Cipto.
"Boleh aku masuk?" ijin Elle.
Senyuman yang tadinya mengembang, mendengar suara Elle seketika lenyap.
"Ada apa?"
Elle melangkah masuk dengan sesuatu di tangan. "Undangan konser perdanaku, aku harap kau bisa meluangkan waktu."
Grace melirik pada undangan yang diletakkan di samping akuariumnya. Disana tertulis label VVIP, membuat Grace mengembalikan pandangannya pada akuarium.
"Kau tahu jawabannya, untuk apa repot-repot memberiku undangan."
"Konser ini penting untukku, aku harap kau bisa meluangkan waktu sebentar. Acaranya masih minggu depan, aku harap kau mau meluangkan waktumu sebentar."
"Aku sibuk, ada pemotretan."
"Hanya sebentar, Grace."
Brakk
Grace menggebrak meja. "Kau tidak dengar apa yang aku katakan?"
Elle menghela napas, agaknya ia sudah hapal dengan tabiat Grace yang keras kepala. Ia tidak mencoba untuk merayu lagi, hanya menghela napas. "Baiklah, tapi aku masih berharap kau datang."
Elle keluar dan langsung menutup pintu kamar Grace kembali.
šµšµšµ
"Nona Grace, maaf saya terlambat."
Grace dan Gabby yang tadinya sibuk memperhatikan ponsel akhirnya mendongak, melihat seorang pria yang berada diusia 40 tahunan. Gayanya santai, namun pakaian dan aksesoris yang melekat pada tubuhnya adalah barang-barang branded.
"Tidak masalah, Tuan Lee." senyum Grace, ramah.
"Apakah kalian sudah memesan makanan?"
"Sudah. Maaf kami mendahului."
"Sama sekali tidak apa-apa, justru aku akan merasa bersalah jika kalian belum memesan apapun."
Seorang pelayan menghampiri meja mereka. Tanpa melihat menu, Mark Lee langsung memesan minuman. Kiranya, pria itu sudah menghapal apa yang ada dibuku menu.
"Anda tidak memesan makanan?" tanya Gabby.
"Ah, sebenarnya saya terlambat karena istriku menyuruh untuk sarapan lebih dulu. Dia tidak akan tenang jika aku tidak makan di depannya langsung." kekeh Mark Lee.
"Sangat beruntung anda memiliki istri yang baik." puji Grace.
Mark Lee tampak tertawa malu, lalu ia berbisik untuk menghilangkan wajahnya yang merah. "Sebenarnya dia cukup cerewet, saya sedikit kewalahan, Nona Grace."
Grace dan Gabby tertawa lirih. Mark Lee orang yang cukup hangat. Ia pikir suasana akan sedikit canggung, namun ja salah besar.
"Panggil saya dengan Nama Tuan Lee, cukup Grace"
"Kalau begitu, silahkan Nona Grace memanggil saya dengan nama Mark. Sesungguhnya aku tidak terlalu suka suasana yang kaku."
"Baiklah."
"Sejujurnya, istri saya yang mendesak saya untuk menjadikan mu sebagai model utama pada musim ini. Dia beberapa kali menonton anda di Paris Fashion Week, saat itu anda menjadi model salah satu brand dari London. Dia sangat tertarik, dan setelah Ananta mengatakan bahwa dia mengenalmu, aku langsung meminta profilmu padanya. Kebetulan yang sangat luar biasa. Istri saya sangat senang dengan kabar ini."
"Sungguh menakjubkan, saya tidak menyangka. Katakan terimakasih kepada istri anda, Mark."
"Nanti akan aku sampaikan. Saat aku mengatakan akan sarapan sekaligus membahas kerja sama denganmu, dia sangat ingin ikut, namun karena beberapa hal dia tidak jadi ikut. Aku harap lain kali, anda masih bersedia untuk bertemu istri saya."
"Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Nyonya Lee."
Grace kembali tersenyum. Setelah basa-basi cukup lama, akhirnya mereka ke inti pertemuan, yaitu urusan pekerjaan.
Grace bukan tipe orang yang mau melakukan apapun demi pekerjaan. Tidak ada ceritanya seorang Grace mengemis pekerjaan, namun sebaik mungkin ia akan membuat seseorang menginginkan untuk bekerjasama dengannya. Apapun caranya.
Meski di dunia fashion London, namanya terkenal, namun di Indonesia ia seperti anak baru yang baru memasuki dunia modeling. Ia belum memiliki jaringan di sini, hanya Ananta yang ia kenal, dan lewat tangan Ananta pintunya mulai terbuka. Dari segi pengalaman boleh diadu. Skillnya pun sudah sangat terasah. Ia yakin tahun depan karirnya akan menanjak hingga ke puncak. Ia hanya perlu beradaptasi dan sedikit bersabar.
Ia hanya perlu lebih banyak mengenal orang-orang seperti Ananta, juga Mark Lee. Dan istri Mark Lee akan menjadi salah satu jalannya.
šµšµšµ
Gabby menurunkan Grace tepat di depan rumahnya. "Kau harus segera tidur. Besok aku akan menjemput mu untuk gym, tubuhmu harus bugar. Tunjukkan pada semua orang siapa Grace Wyne sebenarnya. Kau mengerti? Mari kita taklukkan dunia modeling Indonesia."
"Sudah?" tanya Grace malas. "Tidak perlu memberitahu, aku sudah tahu."
Grace segera turun dari mobil. Ia berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Gabby sudah paham dengan sifatnya yang sangat jarang mengatakan terimakasih dan maaf, dia sudah paham, maka dari itu dia langsung melajukan mobilnya tanpa berharap mendapatkan ucapan terimakasih.
Sementara itu, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Setelah bertemu Mark Lee, mereka tidak langsung pulang. Menemui Ananta, dan jalan-jalan, hingga mereka lupa waktu. Setelah kedatangannya ke Tanah Air, baru hari ini mereka dapat melihat perubahan yang sangat besar dari kota yang pernah mereka tinggalkan 10 tahun lalu.
Lampu rumahnya sudah banyak yang padam, termasuk ruang tamu. Ia yakin semua orang sudah tidur. Untung saja ia sudah meminta kunci cadangan dari Bi Siti.
Clagk
Clagk
Pintu terbuka. Ia harus berhati-hati atau ia akan menabrak barang-barang yang ada di ruang tamu. Lampu ruang tengah masih menyala, begitu juga dengan dapur.
"Kenapa baru pulang?"
Suara dingin itu membuatnya mengurungkan langkahnya untuk naik tangga. Ia menoleh dan mendapati Mamanya berjalan dari arah dapur sambil membawa air putih.
"Ada sedikit urusan."
"Urusan, dari pagi sampai tengah malam?"
Ia menghela napas lelah, dari nada bicara Mamanya, ia tahu kemana arah pembicaraan mereka.
"Aku lelah, kita bisa bicara besok, Ma."
"Kamu kira cuma kamu yang lelah? Yang sibuk dan punya urusan bukan kamu sendiri, Grace."
"Apa yang sebenarnya ingin Mama katakan?"
Ia lelah berbasa-basi, Mamanya harus segera mengutarakan isi hatinya dengan jelas. Ia tidak bisa menerka-nerka.
"Kenapa kamu menolak untuk datang ke konser Elle?"
Elle?
Di saat ia lelah seperti ini, masih saja nama sepupunya yang menjadi topik utama.
"Karena aku ingin!" jawabnya santai.
Percuma ia beralasan banyak pekerjaan, Mamanya tetap pada pendiriannya untuk memaksa datang ke konser perdana Elle.
"Berhenti bersikap seenaknya, Grace. Kamu sudah dewasa, tapi kenapa kamu masih kekanak-kanakan?" Mamanya menatap tajam, "Ada baiknya kamu contoh Elle, dia dewasa dalam bersikap. Dia bekerja keras menunjukkan keahliannya, bukan hanya kesana kemari menunjukkan lekuk tubuh. Kamu terlalu bangga dengan bentuk tubuh kamu selama ini, kamu kira itu akan bertahan selamanya? Selagi kamu bertambah tua, kamu akan semakin tergeser oleh orang lain. Kamu hilang tanpa ada karya."
Rahang Grace mengeras. Hatinya seperti di remas setiap kali Mamanya membanding-bandingkannya dengan Elle. Kebaikan sepupunya itu tidak ada habisnya, sementara dirinya tidak memiliki kebaikan sama sekali.
Grace membuka suaranya dengan nada rendah yang dalam, berbeda dengan tadi. "Mama, aku seorang model. Karya seperti apa yang Mama harapkan dariku? Hm? Aku bukan pianis yang bisa mengadakan konser tunggal, aku juga bukan penulis seperti Mama yang menghasilkan banyak buku, juga bukan seperti Papa yang menghasilkan banyak film."
"Saat kita tua, hanya karya kita yang akan tetap hidup. Kamu tidak perlu seperti kami, tapi seharusnya kamu tahu jalan mana yang harus kamu pilih agar sukses."
""Aku rasa, definisi kesuksesan kita berbeda, Ma. Kesuksesan menurut ku bukan saat kita bisa mengadakan konser tunggal atau menghasilkan banyak karya, kesuksesan menurutku adalah ketika melihat klien tersenyum puas dengan kinerjaku, saat aku dapat mempertahankan bentuk tubuh ditengah nafsu makan ku yang meningkat, begitu juga saat produk yang aku promosikan banyak diminati."
Dengan definisi yang berbeda, harusnya mereka tidak perlu berdebat, percuma, mereka tidak akan menemukan titik akhir. Grace dan Mamanya sama-sama orang yang keras kepala. Mereka kukuh dengan pendapat masing-masing.
"Aku lelah, kita bisa melanjutkan diskusi ini besok." lanjut Grace yang berbalik menaiki tangga.
Alih-alih bertengkar, Grace lebih menyukai dengan sebutan diskusi, lebih manusiawi. Jikapun dilanjutkan, hingga esok pagi tidak akan berakhir. Terlalu banyak keluhan yang berakhir menggumpal di dalam dada. Sayangnya ia terlalu lelah dan lebih memilih untuk segera mengakhiri.
Di tangga kelima, Mamanya kembali bersuara.
"Kamu tetap harus datang ke konser Elle!"
Grace menghela napas, tertawa tak percaya. Setelah diskusi mereka, Mamanya tetap tidak bisa mengerti. Ia rasa, sampai kapanpun tidak akan mengerti. Ia selalu salah di mata. Mamanya. Tidak, sampai Grace berubah menjadi seperti Elle.
TBC..
Grace memejamkan matanya rapat. Mendapat tepukan di wajah membuatnya merasakan kantuk. Makeup artists itu mengaplikasikan bedak pada wajahnya. Kiranya, sudah hampir satu jam ia duduk dikelilingi MUA dan hairstyles, pantatnya sudah cukup panas. Bagian yang tidak terlalu ia suka saat akan menjalani pemotretan adalah bagian make up yang harus berjalan lama. Menurutnya, natural atau tidak, sama-sama lama.Hari ini ia akan menjalani pemotretan untuk sebuah majalah fashion bersama 5 model dan 2 aktris. Gilirannya masih cukup lama. Tim mendahulukan 2 aktris, yang katanya hendak ada jadwal shooting. Ia tidak terlalu mengenal kedua aktris itu, sejujurnya ia tidak terlalu suka melakukan pemotretan bersama dengan aktris atau aktor, kadang kala ada diskriminasi, seakan hanya mereka yang penting dan sibuk. Mungkin tidak semua begitu, namun dari pengalaman yang pernah ia alami, dan begitu kenyataannya. Seperti halnya hari ini, k
Ia hanya duduk kurang dari 15 menit sebelum pertunjukkan Elle berakhir. Semakin cepat, semakin baik untuk kesehatan telinga dan hatinya. Di saat orang lain memberikan standing applause, ia hanya menyilangkan kedua tangannya sambil memutar bola mata, malas.Memangnya apa yang bisa ia lakukan?Turut bertepuk tangan dengan bangga?Tentu saja tidak. Ia datang bukan karena kebenciannya pada Elle habis, ia hanya tidak ingin memperburuk hubungan dengan Mamanya.Ia bahkan sudah berencana untuk tidak mengucapkan selamat pada Elle, demi mempertegas bahwa ia masih tidak menyukainya.Para penonton yang tadinya duduk rapi menikmati penampilan Elle, kini hulu hilir keluar dari teater. Ketika sudah sepi, ia masih menatap ke arah panggung, dimana Elle tengah berfoto dengan beberapa penggemarnya, sementara kedua orangtuanya tengah terlibat percakapan dengan beberapa orang ya
Hari libur lebih suka Drew habiskan untuk melakukan gym ataupun bersantai di kamarnya, namun berbeda dengan hari ini. Ben dan Idris memaksanya untuk ikut mengunjungi pameran lukisan. Bukan karena mereka benar-benar menyukai seni, mereka hanya sedang mencari tahu sedikit hal tentang seni untuk dijadikan bahan pembicaraan dengan wanita yang tengah mereka dekati. Kata mereka, ini cara tercepat. Membaca buku lebih rumit dan menyita waktu untuk sekedar memahami."Kami hanya memerlukan informasi secara garis besar, dan satu atau dua nama pelukis.""Jika wanita yang tengah kalian dekati tahu bahwa kalian tidak sungguh-sungguh menyukai seni, mereka akan segera menjauhi mu.""Suka bisa berjalan seiring waktu. Ketika kami bergaul dengan seorang yang mencintai seni, tidak akan sulit untuk kami menyukainya nanti." ujar Idris."Mereka adalah alasan untuk kami menyukai seni, apa itu saja tidak cukup?" Ben tidak mau mengambil pusing.Percuma. Sebanyak apapun ucap
Setelah pertengkaran dengan Mamanya, ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Egonya sangat tinggi. Emosinya tidak bisa hilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, jika ia bertemu dengan Mamanya pasti akan terjadi pertengkaran yang lebih besar, dan ia tidak mau itu.Salah satu alasan ingin tinggal sendiri, adalah untuk menghindari hal-hal seperti ini. Ia selalu berpikir, daripada tinggal bersama namun terus bertengkar, lebih baik tinggal sendiri namun hubungan mereka di garis aman sebagai Ibu dan anak.Ia menghentikan mobilnya di halaman rumah keduanya, rumah keluarga Gabby. Ia pandangi cukup lama rumah itu. Masih saja rumah itu yang membuatnya nyaman. Setiap berkunjung ke Indonesia, ia selalu memilih tinggal di rumah itu kala bertengkar dengan Mamanya.Jujur, ia merasa sepi dan sendirian. Papanya terlalu sibuk dengan pekerjaan, Mamanya selalu mendahulukan Elle daripada dirinya. Ia tidak memiliki banyak teman, hanya Gabby yang selalu ada untuknya disaat sen
"Kau bahkan tidak layak menjadi temanku. Anak petani seperti mu, bermimpi menjadi kekasih ku?"Ucapan pedas Grace masih terngiang-ngiang di kepalanya. Rasanya seperti de javu. Katanya mungkin berbeda, namun memiliki inti sama dengan ucapan Grace bertahun-tahun lalu. Saat ia mengungkapkan perasaannya yang tulus, Grace malah menghinanya. Bukan hanya dirinya, tapi juga pekerjaan orang tuanya yang saat itu sebagai petani.Di ruang ganti pemain, Drew masuk dengan wajah menggelap, menunjukkan kemarahan. Rambut serta tubuhnya basah oleh keringat. Dengan gerakan cepat, ia melepas jersey biru putih bernomor 13 itu dengan cepat."Arghhh." teriaknya frustasi."Apa yang salah dengan mu, Drew?" tanya Ben."Permainanmu sangat buruk tadi.""Bersyukurlah ini masih latihan, kalau tidak, pelatih pasti akan sangat marah padamu."Drew m
Setelah nyaris setengah jam menikmati guyuran air, Drew bersiap untuk kembali ke mes. Kebetulan ia membawa kendaraan pribadi, sehingga tidak perlu menunggu teman-temannya yang masih membersihkan diri."Kau ingin pulang duluan?" tanya Ben yang hendak mandi."Hm." gumam Drew.Ia tidak bisa berlama-lama, bayangan latihannya yang kacau membuat suasana hatinya tidak nyaman. Sebagai kapten, ia harus memberikan contoh yang baik bagi anggota lain. Bersikap profesional sebuah kewajiban yang harusnya ia pegang teguh. Hari ini, ia berada di lapangan, namun pikirannya melayang jauh pada bayangan Grace.Hatinya menyimpan gumpalan kemarahan, tidak hanya akan penolakan yang ia terima, melainkan juga rasa tidak berguna karena penghinaan yang Grace lakukan. Ia pria, sangat pantang harga dirinya disentil.Jarak antara lapangan latihan ke mess tidak terlalu jauh, namun karena ada
Drew memperhatikan foto keluarga Grace yang berada di atas nakas. Dari semua foto, tidak ada satupun foto Grace yang yang tersenyum cerah, ceria. Wajahnya selalu terlihat judes dan angkuh. Ia rasa itu memang karakter asli Grace. Pemarah, galak, dan angkuh.Sekarang dirinya mulai heran, bagaimana bisa ia dulu menyukai perempuan seperti itu. Ia tidak habis pikir. Batinnya merutuki kebodohannya selama ini. Yang membuatnya terlihat lebih bodoh lagi adalah, dirinya masih saja sakit hati dengan ucapan Grace. Seharusnya ia bisa lebih maklum dengan karakter Grace.Drew membuang muka dan memilih kembali duduk di sofa ruang tamu. Rumah yang keluarga Grace tinggali saat ini, jauh lebih bagus dari rumah yang dulu mereka tinggali di desa. Padahal rumah keluarga Grace di desa dulu sudah sangat bagus menurutnya. Setahunya, Ayah Grace seorang sutradara, dan Ibu Grace seorang penulis. Panta
Sudah 2 hari Grace menginap di rumah Gabby, rencananya hari ini ia akan kembali ke rumah. Alasan sebenarnya karena dia merindukan peralatan make up-nya. Selama di rumah Gabby, ia harus berpuasa tidak merias wajahnya. Salahnya karena pergi dari rumah dadakan. Ia tidak membawa barang sedikitpun. Lain kali, jika ia ingin kabur, ia harus memastikan membawa perlengkapannya. Terutama baju bermerk dan peralatan make up.Matahari sudah condong ke arah barat. Jalanan masih cukup lenggang, biasanya mulai pukul 5 jalanan ramai dengan kendaraan orang-orang yang pulang kerja. Ia mencoba untuk terhindar dari kemacetan.Memasuki kawasan perumahan, Grace mengurangi kecepatan mobilnya. Matanya sesekali bergerak ke kanan kiri sekedar mengabsen rumah yang ia lewati. Begitu sampai di depan rumahnya, ia memilih untuk memperkirakan mobilnya di bahu jalan, seperti mobil lain.Ia berjalan dengan percaya diri, seolah tidak ing
"Benar, semua desainmu sangat bagus. Aku mengusulkan Nate untuk mengambil beberapa.""Benarkah?" senyum Lenny, tipis. "Menurutku kalian berdua yang luar biasa, bisa mengamati baju rancangan Lenny meski sibuk berpose." sindiran Grace membuat ketiga pasang mata itu menatap ke belakang. Di sana Grace hanya tersenyum manis tanpa rasa bersalah."Apa maksudmu?" reflek salah satu wanita yang terlihat lebih sederhana, yang kini ia ketahui sebagai asisten pribadinya. "Siapa kau? berani sekali masuk ke pembicaraan kami.""Suaramu cukup keras untuk di dengar satu gedung, bukankah itu sama artinya dengan memberikan hal kepada orang lain untuk menanggapi ucapan mu?" sarkas Grace, membuat wanita sombong di depannya tak berani berkutik. Di sana, Lenny Tan menatap tak suka dengan kedua wanita yang tadi berusaha menjilatnya. "Ka.. Kau!"Grace tersenyum menang sebelum mengalihkan pandangannya kepada Lenny Tan, yang belum semp
Grace tiba di fashion show temannya sedikit terlambat. Tidurnya terlampau nyenyak seperti terpengaruh oleh obat tidur. Menurut Gabby ia terlalu lelah perjalanan, namun kemungkinan ia juga kelelahan karena menangis terlalu lama. Dan karena hal itu, ia harus berlama-lama di depan kaca untuk menutup mata sembabnya. Ia dan Gabby memilih tempat duduk paling belakang. Rasanya akan memalukan jika ia memilih bangku depan di waktu pertunjukan yang sudah setengah perjalanan. Temannya adalah seorang desainer. Dia sudah lama masuk dunia fashion, namun baru kali ini berani melakukan fashion show. Mereknya tidak cukup terkenal, namun produknya berkualitas, setara dengan merek-merek terkenal lainnya. Grace mengambil satu potret model yang tengah berjalan dengan anggun, kemudian ia mengirimnya ke temannya -Lenny Tan. Tak jauh dari tempat duduknya, dua orang wanita telah menyita perhatiannya. Salah satu yang berpenampilan elegan dan mewah bergaya, menunggu wanita satuny
Seperti biasanya, Grace harus kembali menjalani kehidupannya. Berpura-pura tidak terjadi apapun, bahagia tanpa masalah. Hampir semua orang yang dikenalnya mengira ia hidup tanpa beban. Lebih dari berkecukupan, cantik, sukses. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijauIa rasa peribahasa itu yang pantas untuk situasinya. Orang lain menganggap hidupnya lebih baik dari mereka, akan tetapi yang sebenarnya Grace rasa justru hidup mereka yang lebih bahagia. Mengadu nasib dengan orang lain tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki standar bahagia masing-masing. Bahagia untuk Grace belum tentu bahagia menurut orang lain. Misal saja mendapatkan sebuah tepukan hangat di pucuk kepalanya, atau yang lebih ringan mendapatkan senyuman dari orang tuanya. Grace tahu standar kebahagiaannya terlalu rendah jika dibandingkan orang lain, namun itu yang hatinya inginkan. Hal kecil yang mungkin orang lain akan mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan -lebay. Itulah salah sa
Drew menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan cukup keras. Kedua tangannya telentang, matanya mengarah pada langit-langit yang putih bersih tanpa noda. Berbeda dengan pikirannya yang melayang membayangkan kejadian beberapa waktu lalu di rumah keluarga Wayne. Lagi, ia menyaksikan Grace dengan Ibunya bertengkar. Sejahat-jahatnya Grace dulu yang telah menolaknya mentah-mentah dengan dalih miskin, ia rasa tidak cukup jahat dibandingkan dengan permusuhan wanita itu dengan Ibunya. Ia baru tahu Grace memiliki sifat seburuk itu. "Tante menyesal, kamu terpaksa melihat pertengkaran tante dengan Grace."Drew hanya tersenyum canggung, "Tidak apa-apa tante.""Hubungan tante dengan Grace memang tidak baik. Tante yakin, Grace terkena pengaruh buruk ketika tinggal di London."Drew rasa sekedar pengaruh dari luar tidak akan menjadikan Grace sejahat itu. Indonesia dan luar negeri hanya berbeda kultur. Di luar negeri juga diajarkan menghormati kedua orang tua, s
"Grace, kembali!" perintah Papanya. Ia tidak peduli dengan permintaan Papanya. Kakinya terus berjalan tak acuh. Wajahnya yang tajam perlahan mengendur. Kedua ujung bibirnya ditekuk ke dalam dengan kedua kelopak mata yang bergetar. Rahangnya ikut mengeras menahan gejolak yang hendak meledak dalam dirinya. Ia terus berjalan menuju mobilnya tanpa ada fokus. Matanya menatap ke depan, namun tidak ada yang ia perhatikan. Kakinya seolah otomatis berjalan. Sudah bisa ditebak bahwa pertengkaran tidak mungkin terelakkan, namun ketika tebakannya terbukti hatinya justru merasa perih. Hanya karena terbiasa rupanya tidak dapat menghalau sakit. Pandangannya semakin mengabur tertutupi oleh air mata yang ingin merembes. Sebelum itu benar-benar terjadi Grace sudah menghapus dengan punggung tangan kirinya. Ia tidak rela air matanya keluar. Terlihat lemah adalah hal yang paling tidak ia sukai. Mobilnya melaju kencang membelah malam. Suasana hatinya yang buruk mem
"Ups, ada pertemuan keluarga rupanya. Apa aku mengganggu kalian?" ujarnya dengan nada merendahkan. Senyuman miring itu masih menghiasi wajahnya sementara langkahnya kian mendekat. "Apa kabar, Ma.. Pa?" sapanya sembari mengamati perubahan mimik Mamanya yang terlihat tidak suka. "Ayo, ikut makan dengan kami!" ajak Ayahnya. Grace tidak bodoh untuk menangkapnya sebagai kata basa-basi. Jelas di sana hanya ada 4 kursi dan semuanya penuh. Apa ia harus duduk di lantai? Lagi, yang membuatnya urung adalah ekspresi Mamanya yang masih melihat tidak suka. Apakah sebegitu tidak sudinya untuk berbagi meja. "Aku tidak ingin merusak acara kalian, silahkan dilanjutkan!"Sebelum melangkah pergi, lirikannya bertemu dengan tatapan Drew yang datar. Sama sekali tidak ada emosi apapun di sana. Jika dilihat dari pertemuan terakhir mereka yang cukup buruk, seharusnya tatapan kebencian yang pria itu berikan padanya. Awalnya Grace i
Setelah dari kedai kopi, Drew pindah ke kediaman keluarga Wayne. Elle memaksanya untuk ikut makan malam, sesuai dengan janjinya tempo hari. Sembari menunggu Nyonya Wayne dan Elle menyiapkan makan malam, ia bersama dengan Tuan Wayne tengah berbincang tentang bola di ruang tamu. Diam-diam Papa Grace itu sangat menyukai bola, namun karena ia cukup sibuk terkadang ia tidak sempat untuk menyalurkan hobinya itu. "Sepertinya Om harus nonton pertandingan kamu secara langsung. Selama ini Om hanya melihat kamu di berita." "Saya akan merasa sangat senang. Minggu depan ada pertandingan CBT liga 1, jika Om berkenan untuk datang.""Oh ya? Tapi sayang sekali, lusa Om harus berangkat ke Paris untuk shooting. Ada film baru yang akan Om garap untuk penayangan pertengahan tahun depan.""Mungkin lain kali kalau Om ada waktu.""Om usahakan untuk nonton streamingnya." "... Setiap ada tim yang tanding, terutama tim kamu, semua tim minta br
Grace mengobrak-abrik isi kamar Gabby untuk mencari paspornya. Besok ia harus ke Singapura untuk menghadiri fashion show yang diadakan oleh temannya sewaktu di London. Hanya sebentar, maka dari itu ia tidak memerlukan banyak persiapan, akan tetapi ia tetap saja memerlukan paspornya. "Sebenarnya dimana kau meletakkannya?" tanya Gabby kesal. "Aku tidak ingat." balas Grace sama kesalnya, "Coba ingat lagi, mungkin saja kau yang membawanya." "Paspor adalah barang pribadimu, aku tidak mungkin membawanya.""Terakhir kali kau datang dari London, tas mana yang kau pakai?"Grace menoleh ke seluruh tasnya yang sudah berserakan di lantai kamar. Jajaran tasnya ia absen satu persatu. Waktu itu ia memakai tas ransel kulit berwarna coklat, namun tidak ada tas itu di sana. "Aku rasa tasnya tertinggal di rumahmu." tebak Gabby. Kala itu, Grace langsung menuju rumahnya sendiri. Kemungkinan terbesar, tas itu berada di rumah keluarg
Kini Drew sudah menjadi Drew seperti sebelumnya. Fokusnya saat latihan telah kembali. Entah mengapa, saat melihat keburukan Grace tempo hari justru membuat dirinya lebih baik. Ia mensugesti dirinya sendiri bahwa Grace memang memiliki sifat buruk seperti itu, dia selalu melukai harga diri semua orang. Ia hanya harus maklum. Kemarahan tidak mungkin tidak ada, namun cukup bisa dikendalikan. Ia pikir, karirnya lebih penting daripada dendam pribadinya pada Grace. Sifat buruk Grace tidak akan mampu membuatnya menghancurkan karir dirinya sendiri. "Drew!" panggil Ben sambil menunjuk seseorang yang tengah duduk di tribun dengan dagunya. Drew mengikuti arah pandang Ben. Seorang wanita berbaju putih dengan rambut terurai tengah melambaikan tangannya. Sekali lihat, Drew langsung bisa mengenali wanita itu. Elle. Tempo hari ia menyuruh Elle untuk mampir ke tempat latihannya saat tahu bahwa Elle sering ada acara di sekitar sana. Drew berlari kecil menghampiri Elle. Se