Bukannya melihat ke arahnya, Marco justru menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya. Sesosok wanita muncul dari balik lorong yang sama, wanita bergaun pengantin yang tampak tak asing. Tangan si wanita menyambut tangan Marco dan tubuhnya segera berada dalam pelukan pria tersebut.
Mereka sedikit mengubah posisi dan Rena bisa melihat wajahnya sendiri, itu jelas dirinya. Itu benar dirinya, dalam balutan gaun mewah dan terlihat sangat anggun. Dirinya yang lain dan Marco saling menatap penuh cinta sebelum berciuman dengan mesra, membuatnya melongo tak percaya.
“What the—”
Umpatannya terpotong dering jam wajar yang membangunkan Rena dari tidur. Baru dia sadar kalau yang dia lihat barusan hanya mimpi.
‘Benar-benar mimpi yang aneh,’ batinnya seraya duduk dan mengucek matanya.
Segera dia ulurkan tangan untuk mendiamkan jam waker di atas nakas sebelum turun dari tempat tidur. Rena sempat merapikannya sebelum masuk ke kamar mandi mungil yang hanya dilengkapi dengan wastafel, toilet, dan shower ala kadarnya. Tak ada waktu untuk memikirkan mimpi tadi lebih lanjut, kalau terlambat honornya akan dipotong.
Seperti biasa, dia akan pergi ke tempat kerja tanpa sarapan, berjalan kira-kira sepuluh menit untuk sampai ke sana. Restoran Italia tempatnya bekerja tak pernah sepi pengunjung. Rena menjalani hari yang selalu sibuk hingga jam makan siang tiba, di mana restoran memberikan jatah makan siang dengan menu yang sama setiap harinya, juga waktu makan siang selama lima belas menit sebelum melanjutkan shift.
Rena baru saja melayani seorang nenek ramah dengan dress dan topi berwarna kuning cerah. Dia melongokkan kepala ke arah dapur restoran untuk melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul tiga sore dan shiftnya pun berakhir.
Dilepaskannya apron dan berjalan ke arah ruang loker kecil di samping dapur. Rena meletakkan apron di gantungan kemudian mengambil barang-barangnya dari rak.
“Aku pergi dulu, Maria. Harus mencari apartemen baru, jadi aku tak mengambil dua shift,” pamitnya setengah berteriak kepada sang chef kepala, seorang wanita bertubuh subur dengan rambut abu-abu.
Maria tersenyum kepadanya. “Hati- hati, Dear. Bawalah lasagna buatanku untuk makan malam!”
Rena mengambil kotak makanan yang sudah disiapkan oleh wanita baik hati tersebut dan mengecup pipinya. “Terima kasih, Maria!”
Dia melewati rekan kerjanya yang sedang mengelap meja dan menepuk bahunya. “Aku duluan, Juan.”
Sambil mengikat rambutnya karena tiupan angin musim gugur selalu membuatnya berantakan, Rena keluar dari restoran setelah mengambil honor harian di kantor pengap milik bosnya, seorang pria Italia cemberut yang tak pernah ramah pada siapa pun. Dia menyusuri jalanan pinggir kota yang cukup ramai sambil memikirkan akan mengunjungi gedung apartemen yang mana terlebih dulu ia lihat.
Di daerah situ terdapat tiga gedung apartemen berukuran sedang selain yang dia tinggali. Rena berencana untuk mampir ke ketiganya sore ini untuk membandingkan. Toh, uang sewa bulan ini di apartemen lama sudah dibayar dan seminggu lagi sewanya habis. Dia ingin segera keluar dari tempat pengap tersebut.
Dia memasuki gedung apartemen yang paling dekat dengan restoran. Letaknya di dekat pasar sehingga kalau tinggal di sana, dia akan lebih mudah mendapat makanan dan barang kebutuhan lainnya.
‘Paling tidak tempat ini tak pengap dan bangunannya lumayan baru,’ batinnya sambil memasuki lobby dan menghampiri meja resepsionis.
Seorang pria muda berusia tiga puluhan menyambutnya dengan senyuman ramah sebelum memberi salam, “Ada yang bisa kubantu?”
Rena membalas senyumannya. “Apakah ada unit yang kosong? Mungkin ukuran studio.”
Pemuda tersebut mengangkat alisnya, seolah baru saja menemukan ide. “Kebetulan sekali ada pasangan yang baru saja pindah tadi pagi. Mereka membeli rumah kecil tak jauh dari sini. Apa kau mau melihatnya?”
“Kenapa tidak?” jawab Rena dengan ramah.
“Oke. Sebentar,” balas si pemuda sebelum mengangkat gagang telepon dan menempelkan ke telinganya sebelum mendial serangkaian nomor. “Omong-omong namaku Eric. Orang tuaku pemilik gedung ini. Halo Edward, gantikan aku selama beberapa menit. Aku harus mengantar orang melihat unit yang kosong.”
“Aku Rena,” balas gadis itu setelah Eric meletakkan kembali gagang telepon.
Dia mengikuti Eric memasuki elevator kosong di samping meja resepsionis.
‘Paling tidak elevatornya tidak berisik dan bau karat seperti di sana,’ batin Rena.
Mereka berhenti di lantai empat dan menyusuri lorong sepi ke apartemen paling ujung. Eric menekan serangkaian nomor kode di gagang pintu dan membuka pintunya.
‘Wow, kuncinya sudah menggunakan kode. Semoga saja sewanya tak mahal,’ baring Rena lagi sebelum mengikuti Eric masuk ke dalam unit tersebut.
“Kamarnya terpisah dari ruang serbaguna. Kamar mandi sudah memiliki bathtub dan ada balkon kecil di samping dapur,” ucap Eric.
Rena terkesima dengan jendela kaca lebar yang memperlihatkan pemandangan balkon dan langit sore yang cerah, dia sampai bersikap acuh saat Eric membuka pintu kamar dan menunggunya untuk melihat ke dalam.
“Ini kamarnya,” ucap Eric saat Rena menoleh ke arahnya.
Gadis itu melihat ke dalam dan langsung jatuh cinta saat menemukan jendela yang bisa dibuka. Dia begitu merindukan menghirup udara pagi yang segar saat baru bangun tidur.
Tak banyak fasilitas yang didapatkan, hanya sebuah sofa empuk di rumah serbaguna, serta kasur dan lemari di kamar, tapi Rena bisa mengisi dengan barang lainnya pelan-pelan.
“Ini sempurna. Bolehkah aku tahu biaya sewanya?”
Eric tersenyum. “Pasangan yang tinggal di sini telah membayar uang sewa untuk sebulan sebelum pergi. Jika kau menginginkannya, aku akan memberikan separuh harga saja untuk bulan ini. Bulan depan baru bayar dengan harga semestinya. Kita bicarakan harganya di bawah?”
Rena keluar dari gedung tersebut dengan senyum di wajahnya. Apartemen yang baru dia dapatkan melebihi ekspektasinya dan membuat moodnya jadi baik sekali. Saking baiknya dia sampai tak kesal saat mendengar nyonya pemilik gedung apartemen mengomel soal salah satu penghuni yang menumpuk sampah di depan unitnya.Sore itu juga, Rena mengemasi barang-barang miliknya yang tak begitu banyak, muat dimasukkan ke satu ransel dan satu tas besar. Sebelum jam makan malam, dia sudah berada di meja resepsionis lapuk warna merah marun dan meletakkan kunci bekas tempat tinggalnya selama dua tahun terakhir.Nyonya Mirtle, si judes pemilik gedung menatapnya seolah menanyakan ‘Ada apa ini?’ dan dengan senang hati Rena mengatakan.“Aku telah menemukan tempat baru. Aku pindah saat ini juga, Nyonya Mirtle. Terima kasih atas—”“Pergilah, Nona Vasquez. Tak usah bicara yang tidak perlu,” potong wanita tersebut dengan wajah khas tak ramahnya.Rena menahan diri untuk tak memutar bola mata dan hanya mengedikkan ba
Sialnya, mimpi tentang pria yang menatapnya dari balik jendela dapur kembali berlanjut. Kali ini dia menyadari bahwa itu adalah Marco, hanya saja matanya berkilat merah dan dua gigi taringnya kelihatan tak normal, lebih panjang dan runcing dari seharusnya, saat pria itu menyebutkan namanya: Renata.Rena terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Dia tak habis pikir mengapa memimpikan Marco dua malam berturut-turut, terlebih mimpinya cukup menyeramkan. Ditolehnya jam wajar berbentuk jerapah di atas nakas yang menunjukkan waktu pukul tiga pagi. Mimpi menyeramkan tadi membuatnya gelisah dan baru bisa tertidur kembali satu jam kemudian.Lupa menyalakan timer alarm di jam waker membuat Rena hampir saja terlambat bekerja. Untung saja dia sampai tepat waktu. Bosnya jadi tak punya alasan untuk mengomel. Setelah meletakkan barang dan mengenakan apron seragam yang memiliki logo restoran di bagian dada, dia segera menemui Maria di dapur dan mengembalikan kotak makan milik wanita tersebut.“Ter
Seperti ini cinta, datang dan pergi. Setelah bahagia pasti ada kesedihan, pertemuan juga memiliki perpisahan. Renata menghela napas panjang ketika dirinya baru saja menyaksikan bahwa kekasih yang sudah berjalan lima tahun justru berselingkuh dengan wanita lain.Hancur, tentu saja itu yang terjadi pada Rena. Tidak hanya hati tapi masa depan yang sudah ia rangkai dengan baik bersama Vio. Rena merasakan seolah hidup sudah tidak bermakna lagi, ia tidak tahu ke mana langkah kaki akan membawanya.Tanpa sadar Rena sudah berdiri di jembatan London. Malam ini angin bertiup kencang membawa salju pertama, dingin tidak lagi ia rasakan. Hati dan pikirannya sudah hampa, tidak bisa merasakan apa pun lagi."Buat apa aku hidup jika semua sudah hancur. Mengapa hidupku tidak pernah menemui kebahagiaan, Tuhan! Salah apa aku sampai kau menghukum diriku seperti ini?!" teriak Rena frustrasi.Kaki jenjangnya mulai menaiki pagar jembatan tanpa ragu. Sekarang ia sudah berdiri tegak dan siap untuk terjun ke sun
Luke menyeringai ketika melihat Rena, ia terus melangkah mendekati Rena. Seketika bau darah menyeruak menusuk hidung Luke, matanya membulat tak percaya.‘Jadi ini alasan Marco menolong manusia ini. Sekarang aku tahu betapa spesialnya darah wanita itu, ini gila. Aku tidak bisa menahan tubuhku agar tidak menikmati darah lezat miliknya.’ Dengan sekuat tenaga Luke menahan hasratnya, ia memilih untuk pergi dari kamar Rena dan menenangkan diri.Rena menghela napas lega setelah mendengar suara pintu yang di tutup secara kasar dan keras. “Aku benar-benar tidak paham di mana aku dan apa yang terjadi denganku.”Keesokan paginya Marco sudah berada di dalam kamar Rena bersama dokter Louise. Marco ingin memastikan bahwa Rena tidak memiliki kondisi yang serius.“Selamat pagi, nona Rena. Ada keluhan setelah kau bangun?” tanya dokter Louise ramah.“Pagi, dok. Aku merasa jauh lebih baik sekarang meskipun terkadang kepalaku masih merasa pusing.” Rena bukan mengeluhkan kondisi tubuhnya setelah rencana b
Rena tersenyum. “Terima kasih telah memberitahuku, Tuan.”Seulas senyum terbit di wajah keriput tersebut. “Sama-sama. Hati-hati.”Gadis berambut pirang sepinggang tersebut melenggang pergi ke arah yang disebutkan oleh si pelayan. Sepuluh menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi yang melaju ke alamat yang telah dia sebutkan, memandang ke luar kaca jendela dengan pikiran melayang tak tentu arah.Hidupnya tak seberat itu, tak pula mencekam atau berantakan. Renata Vasquez hanyalah gadis muda lulusan SMA yang kesepian. Dia tak punya waktu untuk bersosialisasi karena harus bekerja dua shift di luar jam sekolah untuk membiayai pendidikan dan hidupnya.Semenjak duduk di bangku SMP, panti asuhan yang menampungnya tak lagi bisa menanggung biaya hidupnya. Hanya ada dia dan seorang bayi perempuan yang diadopsi tak lama kemudian. Pengurus yang sudah sepuh meninggal tak lama kemudian dan Rena memutuskan untuk berjuang hidup sendiri.Selepas SMA, dia tetap bekerja dua shift di restoran yang sa
Sialnya, mimpi tentang pria yang menatapnya dari balik jendela dapur kembali berlanjut. Kali ini dia menyadari bahwa itu adalah Marco, hanya saja matanya berkilat merah dan dua gigi taringnya kelihatan tak normal, lebih panjang dan runcing dari seharusnya, saat pria itu menyebutkan namanya: Renata.Rena terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Dia tak habis pikir mengapa memimpikan Marco dua malam berturut-turut, terlebih mimpinya cukup menyeramkan. Ditolehnya jam wajar berbentuk jerapah di atas nakas yang menunjukkan waktu pukul tiga pagi. Mimpi menyeramkan tadi membuatnya gelisah dan baru bisa tertidur kembali satu jam kemudian.Lupa menyalakan timer alarm di jam waker membuat Rena hampir saja terlambat bekerja. Untung saja dia sampai tepat waktu. Bosnya jadi tak punya alasan untuk mengomel. Setelah meletakkan barang dan mengenakan apron seragam yang memiliki logo restoran di bagian dada, dia segera menemui Maria di dapur dan mengembalikan kotak makan milik wanita tersebut.“Ter
Rena keluar dari gedung tersebut dengan senyum di wajahnya. Apartemen yang baru dia dapatkan melebihi ekspektasinya dan membuat moodnya jadi baik sekali. Saking baiknya dia sampai tak kesal saat mendengar nyonya pemilik gedung apartemen mengomel soal salah satu penghuni yang menumpuk sampah di depan unitnya.Sore itu juga, Rena mengemasi barang-barang miliknya yang tak begitu banyak, muat dimasukkan ke satu ransel dan satu tas besar. Sebelum jam makan malam, dia sudah berada di meja resepsionis lapuk warna merah marun dan meletakkan kunci bekas tempat tinggalnya selama dua tahun terakhir.Nyonya Mirtle, si judes pemilik gedung menatapnya seolah menanyakan ‘Ada apa ini?’ dan dengan senang hati Rena mengatakan.“Aku telah menemukan tempat baru. Aku pindah saat ini juga, Nyonya Mirtle. Terima kasih atas—”“Pergilah, Nona Vasquez. Tak usah bicara yang tidak perlu,” potong wanita tersebut dengan wajah khas tak ramahnya.Rena menahan diri untuk tak memutar bola mata dan hanya mengedikkan ba
Bukannya melihat ke arahnya, Marco justru menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya. Sesosok wanita muncul dari balik lorong yang sama, wanita bergaun pengantin yang tampak tak asing. Tangan si wanita menyambut tangan Marco dan tubuhnya segera berada dalam pelukan pria tersebut.Mereka sedikit mengubah posisi dan Rena bisa melihat wajahnya sendiri, itu jelas dirinya. Itu benar dirinya, dalam balutan gaun mewah dan terlihat sangat anggun. Dirinya yang lain dan Marco saling menatap penuh cinta sebelum berciuman dengan mesra, membuatnya melongo tak percaya.“What the—”Umpatannya terpotong dering jam wajar yang membangunkan Rena dari tidur. Baru dia sadar kalau yang dia lihat barusan hanya mimpi.‘Benar-benar mimpi yang aneh,’ batinnya seraya duduk dan mengucek matanya.Segera dia ulurkan tangan untuk mendiamkan jam waker di atas nakas sebelum turun dari tempat tidur. Rena sempat merapikannya sebelum masuk ke kamar mandi mungil yang hanya dilengkapi dengan wastafel, toilet, dan showe
Rena tersenyum. “Terima kasih telah memberitahuku, Tuan.”Seulas senyum terbit di wajah keriput tersebut. “Sama-sama. Hati-hati.”Gadis berambut pirang sepinggang tersebut melenggang pergi ke arah yang disebutkan oleh si pelayan. Sepuluh menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi yang melaju ke alamat yang telah dia sebutkan, memandang ke luar kaca jendela dengan pikiran melayang tak tentu arah.Hidupnya tak seberat itu, tak pula mencekam atau berantakan. Renata Vasquez hanyalah gadis muda lulusan SMA yang kesepian. Dia tak punya waktu untuk bersosialisasi karena harus bekerja dua shift di luar jam sekolah untuk membiayai pendidikan dan hidupnya.Semenjak duduk di bangku SMP, panti asuhan yang menampungnya tak lagi bisa menanggung biaya hidupnya. Hanya ada dia dan seorang bayi perempuan yang diadopsi tak lama kemudian. Pengurus yang sudah sepuh meninggal tak lama kemudian dan Rena memutuskan untuk berjuang hidup sendiri.Selepas SMA, dia tetap bekerja dua shift di restoran yang sa
Luke menyeringai ketika melihat Rena, ia terus melangkah mendekati Rena. Seketika bau darah menyeruak menusuk hidung Luke, matanya membulat tak percaya.‘Jadi ini alasan Marco menolong manusia ini. Sekarang aku tahu betapa spesialnya darah wanita itu, ini gila. Aku tidak bisa menahan tubuhku agar tidak menikmati darah lezat miliknya.’ Dengan sekuat tenaga Luke menahan hasratnya, ia memilih untuk pergi dari kamar Rena dan menenangkan diri.Rena menghela napas lega setelah mendengar suara pintu yang di tutup secara kasar dan keras. “Aku benar-benar tidak paham di mana aku dan apa yang terjadi denganku.”Keesokan paginya Marco sudah berada di dalam kamar Rena bersama dokter Louise. Marco ingin memastikan bahwa Rena tidak memiliki kondisi yang serius.“Selamat pagi, nona Rena. Ada keluhan setelah kau bangun?” tanya dokter Louise ramah.“Pagi, dok. Aku merasa jauh lebih baik sekarang meskipun terkadang kepalaku masih merasa pusing.” Rena bukan mengeluhkan kondisi tubuhnya setelah rencana b
Seperti ini cinta, datang dan pergi. Setelah bahagia pasti ada kesedihan, pertemuan juga memiliki perpisahan. Renata menghela napas panjang ketika dirinya baru saja menyaksikan bahwa kekasih yang sudah berjalan lima tahun justru berselingkuh dengan wanita lain.Hancur, tentu saja itu yang terjadi pada Rena. Tidak hanya hati tapi masa depan yang sudah ia rangkai dengan baik bersama Vio. Rena merasakan seolah hidup sudah tidak bermakna lagi, ia tidak tahu ke mana langkah kaki akan membawanya.Tanpa sadar Rena sudah berdiri di jembatan London. Malam ini angin bertiup kencang membawa salju pertama, dingin tidak lagi ia rasakan. Hati dan pikirannya sudah hampa, tidak bisa merasakan apa pun lagi."Buat apa aku hidup jika semua sudah hancur. Mengapa hidupku tidak pernah menemui kebahagiaan, Tuhan! Salah apa aku sampai kau menghukum diriku seperti ini?!" teriak Rena frustrasi.Kaki jenjangnya mulai menaiki pagar jembatan tanpa ragu. Sekarang ia sudah berdiri tegak dan siap untuk terjun ke sun