“Kau serius ingin pergi ke rumah orang tua Gilang?” Suara itu terdengar tidak meyakinkan.“Aku benar-benar serius!” tekan Zia.“Tapi aku benar-benar lupa, itu sudah 15 tahun lalu Zia!” Henry sungguh frustasi.“Aku tidak pernah suruh kak Henry untuk mengingatnya, aku punya rencana lain.” Henry yang tadi menyandarkan punggungnya di kursi langsung menegakkan punggungnya menghadap gadis itu.Henry menatap Zia dengan penasaran.“Rencana?”“Ya, kita buntuti saja dia, Saat dia pulang kerja.”“Kau gila! Maksudmu kita akan berada dibelakangnya, dan dia akhirnya menyadari kita lalu dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan jadilah kita mengejarnya makin kencang melewati seluruh mobil yang ada dijalanan seperti di film-film.”“Tidak seperti itu juga bodoh!” Zia ingin sekali mencubit perut Henry saking kesalnya, bagaimana bisa orang sejenius Gilang punya sahabat gila seperti Henry ini.“Lalu seperti apa?” tanya Henry.“Seperti biasa saja, kita ikuti dia tanpa ketahuan,” jawab Zia enteng.
“Ini adalah pilihan yang terbaik. Ya, memang seharusnya seperti ini.”Nicha merasakan punggungnya dibelai oleh seseorang, ia tersenyum. “Terima kasih ya,” ujarnya pada pria itu.“Setelah aku terlepas darinya. Aku berjanji akan bersamamu,” lanjut Nicha.Gilang menunduk, rasanya ini benar-benar aneh. “Aku tidak pernah memaksamu secepat itu, istirahatlah sejenak, lakukan apa yang kau senangi, jangan memikirkanku.”Nicha menghentikan langkahnya begitu pun dengan Gilang, kini mereka terpat berada di depan pengadilan agama. “Aku sudah terlalu lama istirahat Gilang, aku ingin melakukan sesuatu yang aku senangi bersamamu dan aku tidak bisa tidak memikirkanmu, kau hidupku sekarang,” jelasnya.Gilang melongo tak percaya, ia menggeleng. “Kau bercanda ya, jangan membuatku terbang tinggi. Aku takut jatuh, kau tahu.” Setelah mengatakan hal itu, Gilang kembali melangkahkan kakinya menjauhi Nicha.Nicha tersenyum dengan lebar setelah berhasil melihat raut wajah merah pria itu. “Hei, kalau kau jatuh,
“Aku tidak pantas untuknya.”Entah sudah berapa jam Nicha duduk di lantai dingin itu. Ia memeluk lututnya sendiri saat suara Zia terus saja terdengar, ia ingin menutup telinganya namun itu percuma saja.Ia terus terbayang ucapan terakhir Zia. Ibaratkan Gilang adalah malaikat maka Nicha adalah iblisnya.Nicha menyadari suara mobil yang mendekat ke rumah, ia segera bangkit lalu berlari menuju jendela. Benar saja, Gilang sudah pulang, lebih cepat dari jadwal biasa ia balik.Nicha memperbaiki rambutnya yang agak berantakan dan mengelap air mata di pipinya yang sudah agak mengering.Ia mencoba tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa tadi siang.Setelah dirasa siap, Nicha segera membuka pintunya, menyapa lelaki itu dengan senyuman terbaiknya.“Selamat datang,” sapa wanita itu.Gilang tersenyum lalu membelai rambut Nicha seperti yang sudah ia janjikan.“Ini untukmu.” Gilang memperlihatkan Nicha sekotak terang bulan manis toping coklat yang baru saja ia beli di jalan.“Dan ini untuk Shiru,” lan
Henry memarkirkan motornya di samping rumah kediaman orang tua Gilang, dengan wajah yang begitu serius, ia menghela napas panjang. “Aku harus mengatakan ini pada Gilang, sebelum semua terlambat.”Dengan mantap, ia segera berjalan menuju pintu rumah sahabatnya tersebut, sebelum mengetuk pintu Henry sempat mendengar tawa Gilang di dalam rumah itu.Entah apa yang pria itu lakukan di dalam, tapi Henry belum pernah mendengar tawa Gilang sekeras itu.Ada keraguan di dirinya, ia kembali berhenti sejenak. Tidak seharusnya ia mencampuri urusan sahabatnya namun sebagai sahabat yang baik, ia tetap harus mengingatkan sahabatnya. Karena sepertinya Gilang sudah melampaui batas.Dengan berat, Henry mengetuk pintunya beberapa kali, hingga akhirnya Gilang mengintip di jendela dan mereka saling bertatapan.Gilang segera membuka pintu. “Henry, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya kaget.“Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Henry.“Tentu, masuklah.” Gilang mempersilahkan untuk masuk namun Henry menol
“Ma-maafkan aku.” Gilang sampai memukul kepalanya sendiri dengan tangannya, ia khilaf. Apa yang telah ia lakukan adalah kesalahan besar, bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal hina pada wanita tersebut.Nicha hanya bisa melihat Gilang yang aneh. “Aku tidak apa-apa,” katanya.Gilang yang tadinya membelakangi Nicha dan menghadap dinding, melihat wanita itu tak percaya. “Kau tak marah?”Nicha tersenyum sembari menunduk, ia menyembunyikan wajahnya yang sejujurnya tersipu itu.Gilang menghela napas. Ia membelai rambut Nicha. “Lain kali, jika aku akan melakukannya lagi, tolong ingatkan aku ya,” ujarnya lembut.Nicha mengangguk saja, ia kagum dengan Gilang, jika saja pria lain mungkin mereka tak akan meminta maaf atau pun menyesali perbuatannya. Tapi Gilang, dia begitu menyesal hanya karena ciuman itu.Padahal Nicha sama sekali tidak keberatan.Ah… karena pikirannya itu, ia merasa seperti seorang wanita murahan. Ya, wanita murahan yang sedikit lebih beruntung karena bersama sosok pria seper
“Hai, tante apa kabar.” Gilang dengan ramahnya masuk ke warung kecil di desa tersebut.Wanita yang disebut tante oleh Gilang itu sigap berdiri, ia melongo setelah melihat anak kecil yang dulunya sering bermain di sekitar rumahnya datang padanya.Ia memperbaiki daster selututnya lalu berjalan mendekati Gilang. “Gilang?” tunjuknya memastikan kalau tebakannya benar.Gilang tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante benar. Aku Gilang.”“Bagaimana kabar tante sekarang?” tanya Gilang lagi, ia juga melihat-lihat apa yang sedang di jula oleh wanita tua yang sudah ia anggap seperti keluarga itu.“Baik nak, ku dengar kau sudah jadi dokter ya sekarang, kau hebat nak.” Wanita tersebut melihat Gilang begitu bangga.Setelah lulus kuliah Gilang sudah tak pernah datang di desa ini, wajar jika wanita itu baru saja melihat Gilang lagi selama beberapa tahun.“Aku mau beli mie, telur dan juga –“ Gilang berjalan-jalan melihat isi warung ibu tersebut. “Dan juga, susu putih ini.”Dengan sigap wanita itu langsung
Hujan belum juga turun-turun, hanya suara petir sesekali yang dapat membuat jantung berdetak sedikit lebih cepat.Nicha paling takut yang namanya petir, seperti perasaan was-was, khawatir dan ketakutan. itu semua perasaan yang tak karuan.Padahal hanya lewat jendela, Nicha bisa melihat gelapnya di luar rumah. Ia masih duduk sendirian di sana dengan kucingnya yang masih tertidur dengan pulas di lantai.Nicha memeluk tubuhnya sendiri, merasa kesepian padahal ia memiliki Gilang di rumah. Semuanya percuma saja, ketika laki-laki tersebut malah mengurung dirinya di kamar tanpa memberi penjelasan yang pasti.“Aku menyukainya Tuhan. Tapi jika melihatnya terluka begini, aku tidak bisa.”Nicha berdiri dan melangkah pelan kembali ke depan kamar Gilang, ia ingin mengetuk pintu itu namun tangannya sangat berat.Gilang tak sengaja melihat jari-jari kaki Nicha yang terlihat di bawah kolom pintunya, pria yang sedang duduk di kasurnya itu hanya bisa tersenyum pahit. Ia jadi penasaran, apa yang akan pe
Nicha dan Rangga membuka pintu persidangan. Di hari yang sangat lelah itu mereka mempertaruhkan perasaan dan juga pikiran menghadapi ahli yang menangani kasus mereka. Nicha tentu berkata sangat jujur selama persidangan, beda dengan Rangga yang hanya membalikkan fakta.Tujuan persidangan pertama tersebut adalah untuk mencari jalan keluar untuk keduanya, mencari upaya perdamaian yang mungkin bisa membuat mereka bisa kembali bersama.Tapi bagi Nicha, sudah tak ada jalan lagi. Ia hanya berpikir untuk segera mengakhiri semuanya, Nicha bersyukur meski ia takut untuk berbicara namun ada kekuatan yang mendorongannya untuk tak kalah dan tak termakan omongan Rangga.“Berjuanglah untuk kebebasanmu, aku akan selalu mendukungmu. Sedikit lagi, Nicha.”Itulah ucapan terakhir Gilang saat sebelum Nicha masuk di dalam persidangan. Pintu kemudian tertutup lagi setelah pasangan berikutnya segera masukMasih di tempat yang sama, Nicha dan Rangga saling melirik, seperti ada kebencian di mata keduanya.“Kau