“Hai, tante apa kabar.” Gilang dengan ramahnya masuk ke warung kecil di desa tersebut.Wanita yang disebut tante oleh Gilang itu sigap berdiri, ia melongo setelah melihat anak kecil yang dulunya sering bermain di sekitar rumahnya datang padanya.Ia memperbaiki daster selututnya lalu berjalan mendekati Gilang. “Gilang?” tunjuknya memastikan kalau tebakannya benar.Gilang tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante benar. Aku Gilang.”“Bagaimana kabar tante sekarang?” tanya Gilang lagi, ia juga melihat-lihat apa yang sedang di jula oleh wanita tua yang sudah ia anggap seperti keluarga itu.“Baik nak, ku dengar kau sudah jadi dokter ya sekarang, kau hebat nak.” Wanita tersebut melihat Gilang begitu bangga.Setelah lulus kuliah Gilang sudah tak pernah datang di desa ini, wajar jika wanita itu baru saja melihat Gilang lagi selama beberapa tahun.“Aku mau beli mie, telur dan juga –“ Gilang berjalan-jalan melihat isi warung ibu tersebut. “Dan juga, susu putih ini.”Dengan sigap wanita itu langsung
Hujan belum juga turun-turun, hanya suara petir sesekali yang dapat membuat jantung berdetak sedikit lebih cepat.Nicha paling takut yang namanya petir, seperti perasaan was-was, khawatir dan ketakutan. itu semua perasaan yang tak karuan.Padahal hanya lewat jendela, Nicha bisa melihat gelapnya di luar rumah. Ia masih duduk sendirian di sana dengan kucingnya yang masih tertidur dengan pulas di lantai.Nicha memeluk tubuhnya sendiri, merasa kesepian padahal ia memiliki Gilang di rumah. Semuanya percuma saja, ketika laki-laki tersebut malah mengurung dirinya di kamar tanpa memberi penjelasan yang pasti.“Aku menyukainya Tuhan. Tapi jika melihatnya terluka begini, aku tidak bisa.”Nicha berdiri dan melangkah pelan kembali ke depan kamar Gilang, ia ingin mengetuk pintu itu namun tangannya sangat berat.Gilang tak sengaja melihat jari-jari kaki Nicha yang terlihat di bawah kolom pintunya, pria yang sedang duduk di kasurnya itu hanya bisa tersenyum pahit. Ia jadi penasaran, apa yang akan pe
Nicha dan Rangga membuka pintu persidangan. Di hari yang sangat lelah itu mereka mempertaruhkan perasaan dan juga pikiran menghadapi ahli yang menangani kasus mereka. Nicha tentu berkata sangat jujur selama persidangan, beda dengan Rangga yang hanya membalikkan fakta.Tujuan persidangan pertama tersebut adalah untuk mencari jalan keluar untuk keduanya, mencari upaya perdamaian yang mungkin bisa membuat mereka bisa kembali bersama.Tapi bagi Nicha, sudah tak ada jalan lagi. Ia hanya berpikir untuk segera mengakhiri semuanya, Nicha bersyukur meski ia takut untuk berbicara namun ada kekuatan yang mendorongannya untuk tak kalah dan tak termakan omongan Rangga.“Berjuanglah untuk kebebasanmu, aku akan selalu mendukungmu. Sedikit lagi, Nicha.”Itulah ucapan terakhir Gilang saat sebelum Nicha masuk di dalam persidangan. Pintu kemudian tertutup lagi setelah pasangan berikutnya segera masukMasih di tempat yang sama, Nicha dan Rangga saling melirik, seperti ada kebencian di mata keduanya.“Kau
“Dia sudah pulang.” Begitulah ucapan pertama kali Nicha saat melihat Gilang di depan rumahnya.Wanita tersebut memutuskan menunggu pria itu di depan pintu, ia tersenyum lebar saat mata mereka bertemu.“Aku tidak sabar untuk menyelesaikan semua ini lalu menikah dengannya,” batin wanita dengan penjepit rambut merah di bagian atas kepalanya membuatnya terlihat begitu manis seperti anak remaja.Pria itu hanya memakai kemeja putih tulang, setelah keluar dari rumah sakit, Gilang memutuskan untuk segera melepas jas putih kebanggaannya.Hatinya merasa gagal, padahal dia sendiri yang memilih jalan tersebut.“Kau sampai jam berapa tadi?” tanya Gilang lembut sembari mengelus kepala Nicha, itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak boleh dilupakan oleh Gilang.“Masih agak siang, mungkin sekitaran jam tigaan,” jawab Nicha apa adanya.“Ada apa di rumah sakit, apa ada masalah?” tanyanya kemudian.Gilang menggeleng. “Tidak ada sama sekali, tadi ada rapat,” dustanya. Mau tidak mau. Gilang harus membohongi
“Ya, ayo kita hadapi semuanya lalu menikah.”Kau tahu apa yang membuat kita sangat bahagia saat mendengar satu ucapan dari orang yang kita cintai. Yup, itu adalah menikah. Semua wanita akan sangat bahagia jika pria yang dicintainya mengajaknya untuk membinah rumah tangga yang sah.Beberapa wanita akan membayangkan hari-hari yang akan datang itu, di mana mereka membangunkan suaminya, memasak untuknya, bercanda dan melakukan hal romantis. Itu adalah hal pertama yang terlintas dibenak Nicha, wanita yang baru saja mendengar ucapan itu.Namun ia lupa, hal itu akan sangat sulit bagi mereka. Banyak rintangan yang ada di depan sana, seperti sebuah tembok yang harus mereka hancurkan.Matanya berbinar, ada satu tetes yang berada di ujung matanya. Dia tidak sedang bersedih namun ia menangis bahagia.Rasa terharu itu ada, suara lembut pria di depannya masih terngiang, betapa indahnya ajakan menikah itu.Tapi anehnya dia tak pernah merasakannya pada Rangga. Meski ia mencoba ingat perasaan itu namu
“Dok, sudah hampir semingguan kita tidak punya pasien, apa semua baik-baik saja?”“Kita harusnya bersyukur, berarti pengobatan kita berhasil.”Pria tersebut cuma mengangguk meski masih banyak sesuatu yang janggal akhir-akhir ini. Dari kejauhan, matanya memicing, ia seperti mengenali seseorang yang berjalan menuju ke klinik.“Dok, dia datang lagi,” katanya agak memelankan suaranya.Pria yang terus dipanggil dokter itu langsung mengerti maksud asistennya. “Biarkan saja,” ucapnya.Benar saja, wanita dengan dress hitam dan juga sepatu hak tinggi itu kini sudah berada di depan mereka berdua, Fadly langsung pergi untuk keluar setelah melihat mata tajam wanita itu.Gilang kini berpura-pura sibuk seperti biasa, ia membolak-balikkan les pasien yang ada di atas mejanya.“Kau tampak sangat sibuk?”“Ya, sama seperti hari-hari lain.”Gadis itu tersenyum miring. “Aku tahu semuanya, bahkan soal kau dan kakakku yang bertengkar di rumah sakit.”Seharusnya Gilang tak usah berpura-pura bekerja itu kelih
“Saat kita tua nanti, aku ingin pensiun dari pekerjaanku dan mulai berkebun di belakang rumah, lalu –“ kata lelaki yang kini sedang menatap langit di waktu fajar itu. Tangannya ia jadikan sandaran untuk kepalanya, di bawah pohon besar tersebut mereka menikmati suasana alam yang tenang.“Lalu kita memelihara banyak kucing dan anak kita akan mengunjungi kita setiap hari raya,” lanjut seorang wanita di sampingnya. Rambut panjangnya yang dikuncir terbawa oleh angin, belum lagi dengan cahaya dari sela-sela dedaunan yang menyinari wajahnya. Begitu cantik.“Rumah kita akan ramai, lalu cucu-cucu kita berlari dihalaman rumah ini. Kemudian kau akan marah karena mereka menjatuhkan tanaman kesukaanmu.” Wanita itu kini melirik laki-laki yang kini sudah duduk nyaman.Keduanya saling bertatapan penuh cinta, lalu tersenyum seakan pikiran mereka sama. “Aku bukan tipe pemarah, tahu.” ucap Gilang sedikit memanyumkan bibirnya yang malah terlihat menggemaskan itu.“Tapi kalau kau sudah tua pasti akan jadi
“Dia Kenapa bisa ada di sini?” Ucap pria yang masih berdiri di tempatnya.Ia masih mencerna semua kejadian tersebut dan masih bingung mengapa perempuan itu bisa tahu rumahnya.“Dia sudah pernah datang ke sini beberapa waktu lalu.”Gilang kaget ia segera mendekati Nicha lalu mengatakan. “Kau serius, kenapa kau tidak memberitahuku, apa yang dia katakan?”Nicha terdiam, ia sebenarnya ingin melupakan ucapan pedas wanita tersebut namun –“Dia menyuruhku pergi.”“Benarkah, tapi setelah itu kau –“ Gilang tiba-tiba tidak melanjutkan ucapannya, ia jadi ingat hari di mana sikap Nicha berbeda. “Apa hari itu saat kau selalu diam?”“Maaf karena tak memberitahumu, aku hanya ingin berpikir dan juga mengambil langkah yang mungkin bisa menjadi jalan terbaik, tapi aku memang payah.”Gilang terdiam, ia menarik tubuh Nicha dan memelukya di bawah pohon itu. “Tak apa, jangan dengar ucapan orang lain.” Nicha membalas pelukan pria itu juga. “Ya, mulai sekarang aku tak akan mendengar siapapun lagi, hanya kau.”