“Aku tidak pantas untuknya.”Entah sudah berapa jam Nicha duduk di lantai dingin itu. Ia memeluk lututnya sendiri saat suara Zia terus saja terdengar, ia ingin menutup telinganya namun itu percuma saja.Ia terus terbayang ucapan terakhir Zia. Ibaratkan Gilang adalah malaikat maka Nicha adalah iblisnya.Nicha menyadari suara mobil yang mendekat ke rumah, ia segera bangkit lalu berlari menuju jendela. Benar saja, Gilang sudah pulang, lebih cepat dari jadwal biasa ia balik.Nicha memperbaiki rambutnya yang agak berantakan dan mengelap air mata di pipinya yang sudah agak mengering.Ia mencoba tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa tadi siang.Setelah dirasa siap, Nicha segera membuka pintunya, menyapa lelaki itu dengan senyuman terbaiknya.“Selamat datang,” sapa wanita itu.Gilang tersenyum lalu membelai rambut Nicha seperti yang sudah ia janjikan.“Ini untukmu.” Gilang memperlihatkan Nicha sekotak terang bulan manis toping coklat yang baru saja ia beli di jalan.“Dan ini untuk Shiru,” lan
Henry memarkirkan motornya di samping rumah kediaman orang tua Gilang, dengan wajah yang begitu serius, ia menghela napas panjang. “Aku harus mengatakan ini pada Gilang, sebelum semua terlambat.”Dengan mantap, ia segera berjalan menuju pintu rumah sahabatnya tersebut, sebelum mengetuk pintu Henry sempat mendengar tawa Gilang di dalam rumah itu.Entah apa yang pria itu lakukan di dalam, tapi Henry belum pernah mendengar tawa Gilang sekeras itu.Ada keraguan di dirinya, ia kembali berhenti sejenak. Tidak seharusnya ia mencampuri urusan sahabatnya namun sebagai sahabat yang baik, ia tetap harus mengingatkan sahabatnya. Karena sepertinya Gilang sudah melampaui batas.Dengan berat, Henry mengetuk pintunya beberapa kali, hingga akhirnya Gilang mengintip di jendela dan mereka saling bertatapan.Gilang segera membuka pintu. “Henry, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya kaget.“Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Henry.“Tentu, masuklah.” Gilang mempersilahkan untuk masuk namun Henry menol
“Ma-maafkan aku.” Gilang sampai memukul kepalanya sendiri dengan tangannya, ia khilaf. Apa yang telah ia lakukan adalah kesalahan besar, bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal hina pada wanita tersebut.Nicha hanya bisa melihat Gilang yang aneh. “Aku tidak apa-apa,” katanya.Gilang yang tadinya membelakangi Nicha dan menghadap dinding, melihat wanita itu tak percaya. “Kau tak marah?”Nicha tersenyum sembari menunduk, ia menyembunyikan wajahnya yang sejujurnya tersipu itu.Gilang menghela napas. Ia membelai rambut Nicha. “Lain kali, jika aku akan melakukannya lagi, tolong ingatkan aku ya,” ujarnya lembut.Nicha mengangguk saja, ia kagum dengan Gilang, jika saja pria lain mungkin mereka tak akan meminta maaf atau pun menyesali perbuatannya. Tapi Gilang, dia begitu menyesal hanya karena ciuman itu.Padahal Nicha sama sekali tidak keberatan.Ah… karena pikirannya itu, ia merasa seperti seorang wanita murahan. Ya, wanita murahan yang sedikit lebih beruntung karena bersama sosok pria seper
“Hai, tante apa kabar.” Gilang dengan ramahnya masuk ke warung kecil di desa tersebut.Wanita yang disebut tante oleh Gilang itu sigap berdiri, ia melongo setelah melihat anak kecil yang dulunya sering bermain di sekitar rumahnya datang padanya.Ia memperbaiki daster selututnya lalu berjalan mendekati Gilang. “Gilang?” tunjuknya memastikan kalau tebakannya benar.Gilang tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante benar. Aku Gilang.”“Bagaimana kabar tante sekarang?” tanya Gilang lagi, ia juga melihat-lihat apa yang sedang di jula oleh wanita tua yang sudah ia anggap seperti keluarga itu.“Baik nak, ku dengar kau sudah jadi dokter ya sekarang, kau hebat nak.” Wanita tersebut melihat Gilang begitu bangga.Setelah lulus kuliah Gilang sudah tak pernah datang di desa ini, wajar jika wanita itu baru saja melihat Gilang lagi selama beberapa tahun.“Aku mau beli mie, telur dan juga –“ Gilang berjalan-jalan melihat isi warung ibu tersebut. “Dan juga, susu putih ini.”Dengan sigap wanita itu langsung
Hujan belum juga turun-turun, hanya suara petir sesekali yang dapat membuat jantung berdetak sedikit lebih cepat.Nicha paling takut yang namanya petir, seperti perasaan was-was, khawatir dan ketakutan. itu semua perasaan yang tak karuan.Padahal hanya lewat jendela, Nicha bisa melihat gelapnya di luar rumah. Ia masih duduk sendirian di sana dengan kucingnya yang masih tertidur dengan pulas di lantai.Nicha memeluk tubuhnya sendiri, merasa kesepian padahal ia memiliki Gilang di rumah. Semuanya percuma saja, ketika laki-laki tersebut malah mengurung dirinya di kamar tanpa memberi penjelasan yang pasti.“Aku menyukainya Tuhan. Tapi jika melihatnya terluka begini, aku tidak bisa.”Nicha berdiri dan melangkah pelan kembali ke depan kamar Gilang, ia ingin mengetuk pintu itu namun tangannya sangat berat.Gilang tak sengaja melihat jari-jari kaki Nicha yang terlihat di bawah kolom pintunya, pria yang sedang duduk di kasurnya itu hanya bisa tersenyum pahit. Ia jadi penasaran, apa yang akan pe
Nicha dan Rangga membuka pintu persidangan. Di hari yang sangat lelah itu mereka mempertaruhkan perasaan dan juga pikiran menghadapi ahli yang menangani kasus mereka. Nicha tentu berkata sangat jujur selama persidangan, beda dengan Rangga yang hanya membalikkan fakta.Tujuan persidangan pertama tersebut adalah untuk mencari jalan keluar untuk keduanya, mencari upaya perdamaian yang mungkin bisa membuat mereka bisa kembali bersama.Tapi bagi Nicha, sudah tak ada jalan lagi. Ia hanya berpikir untuk segera mengakhiri semuanya, Nicha bersyukur meski ia takut untuk berbicara namun ada kekuatan yang mendorongannya untuk tak kalah dan tak termakan omongan Rangga.“Berjuanglah untuk kebebasanmu, aku akan selalu mendukungmu. Sedikit lagi, Nicha.”Itulah ucapan terakhir Gilang saat sebelum Nicha masuk di dalam persidangan. Pintu kemudian tertutup lagi setelah pasangan berikutnya segera masukMasih di tempat yang sama, Nicha dan Rangga saling melirik, seperti ada kebencian di mata keduanya.“Kau
“Dia sudah pulang.” Begitulah ucapan pertama kali Nicha saat melihat Gilang di depan rumahnya.Wanita tersebut memutuskan menunggu pria itu di depan pintu, ia tersenyum lebar saat mata mereka bertemu.“Aku tidak sabar untuk menyelesaikan semua ini lalu menikah dengannya,” batin wanita dengan penjepit rambut merah di bagian atas kepalanya membuatnya terlihat begitu manis seperti anak remaja.Pria itu hanya memakai kemeja putih tulang, setelah keluar dari rumah sakit, Gilang memutuskan untuk segera melepas jas putih kebanggaannya.Hatinya merasa gagal, padahal dia sendiri yang memilih jalan tersebut.“Kau sampai jam berapa tadi?” tanya Gilang lembut sembari mengelus kepala Nicha, itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak boleh dilupakan oleh Gilang.“Masih agak siang, mungkin sekitaran jam tigaan,” jawab Nicha apa adanya.“Ada apa di rumah sakit, apa ada masalah?” tanyanya kemudian.Gilang menggeleng. “Tidak ada sama sekali, tadi ada rapat,” dustanya. Mau tidak mau. Gilang harus membohongi
“Ya, ayo kita hadapi semuanya lalu menikah.”Kau tahu apa yang membuat kita sangat bahagia saat mendengar satu ucapan dari orang yang kita cintai. Yup, itu adalah menikah. Semua wanita akan sangat bahagia jika pria yang dicintainya mengajaknya untuk membinah rumah tangga yang sah.Beberapa wanita akan membayangkan hari-hari yang akan datang itu, di mana mereka membangunkan suaminya, memasak untuknya, bercanda dan melakukan hal romantis. Itu adalah hal pertama yang terlintas dibenak Nicha, wanita yang baru saja mendengar ucapan itu.Namun ia lupa, hal itu akan sangat sulit bagi mereka. Banyak rintangan yang ada di depan sana, seperti sebuah tembok yang harus mereka hancurkan.Matanya berbinar, ada satu tetes yang berada di ujung matanya. Dia tidak sedang bersedih namun ia menangis bahagia.Rasa terharu itu ada, suara lembut pria di depannya masih terngiang, betapa indahnya ajakan menikah itu.Tapi anehnya dia tak pernah merasakannya pada Rangga. Meski ia mencoba ingat perasaan itu namu