Di sebuah desa yang terletak di kaki bukit, bersebelahan dengan Hutan Halimun yang selalu diselimuti kabut tipis, seorang gadis bernama Ayu melangkah pelan menyusuri jalan setapak menuju perkebunan pinus.
Angin sore menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Matahari mulai condong ke barat dan sinarnya yang kemerahan menyelinap di antara pohon-pohon tinggi, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak mengikuti setiap langkahnya. “Aku harus cepat-cepat mengumpulkan kayu bakar sebelum hari menjelang malam.” Gumamnya pelan. Sambil memunguti ranting-ranting kering yang berserakan, perasaan cemas mulai merayap. Sudah berkali-kali ia mendengar cerita tentang hewan buas yang berkeliaran di Hutan Halimun, dari penduduk desa yang mengaku pernah mendengar erangan menakutkan di dalam kabut tebal. Ayu menepis ketakutan itu, berpikir bahwa cerita-cerita tersebut hanya bualan untuk menakut-nakuti anak-anak desa. “Grrrrr, grrrrr!” Namun, ketika senja semakin turun dan bayangan semakin pekat, sebuah suara erangan samar terdengar dari kejauhan. “Eh, suara apa itu?” Ucapnya sambil menghentikan kegiatannya dan menoleh ke belakang. “Grrrr, grrrrr!” Lagi-lagi suara erangan itu kembali terdengar, seperti itu hewan buas yang menggeram di antara pepohonan. Jantungnya mulai berdetak kencang dan tubuhnya menegang. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya suara angin yang mendesir di antara batang pinus, tetapi suara itu terdengar semakin jelas. Kakinya mulai bergerak lebih cepat, langkahnya tergesa menuju arah pulang. "Haruskah aku kembali dan meninggalkan kayu-kayu ini?" pikirnya. Di satu sisi, dia tahu bahwa keluarganya sangat membutuhkan kayu bakar untuk memasak malam ini. Di sisi lain, bayangan tentang sesuatu yang mengintai dari balik kabut di dalam hutan membuat tubuhnya gemetar. Ayu merasa seolah-olah di setiap sudut matanya, ada sesuatu yang mengawasinya, siap menerkam kapan saja. Ketika suara erangan itu terdengar semakin dekat, Ayu berhenti lagi, kali ini tubuhnya bergetar. "Apakah ini saatnya aku harus berlari?" batinnya bergolak. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Beberapa saat kemudian dari balik pohon pinus yang paling besar, muncul sesosok bayangan hitam yang besar dan bergerak perlahan. Suara erangan tadi kini bergema lebih keras, dan dari sela-sela pepohonan itu dan seekor serigala besar muncul. Matanya berkilat merah dalam cahaya senja yang memudar, taringnya mencuat keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka. Mata Ayu membulat sempurna, napasnya tercekat. Mulutnya menganga, tapi tak satu pun kata bisa keluar. Kayu bakar yang ia kumpulkan sepanjang sore itu jatuh berhamburan dari genggamannya, berderak di atas tanah. Tangannya bergetar hebat, hampir tak bisa ia rasakan lagi. "Se-serigala…" ucapnya hampir tanpa suara, bibirnya bergerak pelan. Ayu mundur beberapa langkah, tapi tubuhnya terasa seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak bisa bergerak lebih cepat. Ketika ia akan berbalik untuk lari, suara ranting patah terdengar dari belakang. Ayu menoleh dan matanya semakin terbelalak ketika melihat banyaknya kawanan serigala lain yang muncul dari balik pepohonan, mengitari dirinya. Mereka lebih kecil daripada serigala besar di depannya, tetapi sorot mata mereka sama ganasnya. Sekarang Ayu terjebak dan tak ada jalan keluar. "A-aku... harus... bagaimana? Lari, ya aku harus lari." pikirnya. Tubuhnya gemetar hebat dan tatapan serigala-serigala itu membuat darahnya seakan membeku di dalam tubuhnya. Kawanan serigala itu mulai mendekatinya, hal itu membuat Ayu panik. "Jangan mendekat… jangan mendekat..." Ayu berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Dia tahu hewan-hewan buas itu tak mungkin memahami kata-katanya. Napasnya semakin pendek, sementara keringat dingin terus mengalir deras dari pelipisnya. Serigala besar yang pertama kali muncul mulai melangkah maju. Telinganya tegak, ekornya rendah, dan mulutnya mengeluarkan erangan rendah yang terdengar lebih menyeramkan daripada sebelumnya. "Ti-tidak…," Ayu memohon dengan suara yang semakin melemah. Saat dirinya mencoba mengambil langkah mundur lagi, kakinya terantuk batu, dan tubuhnya terhempas ke tanah. Matanya mulai kabur oleh ketakutan yang melumpuhkan. Serigala-serigala itu semakin mendekat, membentuk lingkaran di sekelilingnya. Saat dunia di sekitarnya mulai memudar dan suara serigala hanya tinggal gema di telinganya, tubuh Ayu terasa lemah. Tanpa sadar, dia mulai tenggelam dalam kegelapan. Napas terakhirnya yang tersendat dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, pandangannya benar-benar hilang. Ayu jatuh pingsan, terbaring di antara kayu-kayu bakar yang berserakan dan dikelilingi oleh kawanan serigala di dekatnya. Serigala besar itu perlahan mendekat, matanya yang tadi berkilat merah kini tampak lebih tenang. Sesaat kemudian, tubuh serigala tersebut mulai berubah, bergetar dan memanjang. Bulu tebalnya menghilang dan yang muncul di tempatnya adalah sosok pria bertubuh tinggi dengan setelan jas rapi. Wajahnya tampan namun dingin, dengan garis-garis wajah yang tegas dan kulit putih pucat. sementara rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahi yang lebar. Mata yang tadinya berkilat merah kini berubah menjadi warna gelap, tapi tetap tajam seperti mata predator yang waspada. Pria itu adalah Kaelan, seorang manusia serigala keturunan terakhir Wolfric (Raja serigala) yang sudah lama punah. Usianya mencapai seribu tahun, tetapi wajahnya tampak awet muda seperti berusia 20 tahunan. Dia menatap gadis yang tergeletak di tanah dengan sorot mata yang sulit dibaca. Beberapa detik kemudian, dua serigala kecil yang tadi mengelilingi Ayu ikut berubah wujud, menjadi dua pria berbadan kekar. Mereka menunduk hormat pada Kaelan dan menunggu instruksi. "Bawa dia pulang," perintah Kaelan singkat, suaranya dingin dan tajam. Kedua pria itu saling pandang. Salah satu dari mereka, yang lebih muda, mengerutkan kening dan bertanya ragu, "Bawa pulang ke mana, Tuan?" Kaelan berhenti sejenak, matanya menyipit dan kilat kemarahan tampak di sana. "Ke mana lagi kalau bukan ke rumahku, bodoh?" geramnya, suaranya bergetar dengan nada tajam yang membuat kedua pria itu menelan ludah. "T-tapi, Tuan... rumah yang mana? Rumah yang di kota atau...?" salah satu pria lain memberanikan diri untuk bertanya, meski jelas-jelas dia tahu risiko menantang kesabaran Kaelan. Mendengar itu, Kaelan langsung kehilangan kesabaran. "Kalian berdua benar-benar bodoh!" bentaknya, suaranya keras dan menggelegar seperti halilintar yang menyambar. Tanpa memberi kesempatan untuk protes lebih lanjut, Kaelan berjongkok mengulurkan tangannya yang kuat, lalu mengangkat tubuh Ayu dengan mudah seolah gadis itu tidak memiliki berat sama sekali. "Sungguh tidak berguna," desisnya sambil melirik sinis pada kedua pria tersebut. "Aku yang akan membawanya sendiri." Sebelum salah satu dari mereka bisa merespons, Kaelan melesat dengan kecepatan yang tak terlihat oleh mata manusia biasa. Dalam hitungan detik, ia sudah berada di tepian hutan, di depan mobil mewahnya yang terparkir di antara pepohonan. Mobil itu berkilau dalam cahaya senja yang mulai meredup, menambah kesan cukup misterius pada sosoknya.Dengan hati-hati, Kaelan membuka pintu belakang mobil dan membaringkan tubuh Ayu di sana, memastikan dia nyaman meskipun dalam keadaan tak sadar. Setelah itu, ia berdiri sejenak memandang gadis itu dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, seolah-olah gadis ini memiliki arti yang lebih besar dari sekadar mangsa. Kaelan menutup pintu mobil dengan lembut, lalu berjalan ke kursi pengemudi. Saat ia duduk di balik kemudi, pria itu melirik ke kaca spion, melihat Ayu yang masih terbaring tak sadarkan diri. Dengan tarikan napas panjang, Kaelan memutar kunci kontak, dan mesin mobilnya menderu halus. “Aku mencium aroma yang unik dalam tubuhnya. Aroma yang berbeda dari manusia yang pernah aku temuk,” gumamnya pelan, sebelum mobil itu meluncur dengan kecepatan yang senyap menembus jalanan berliku di sekitar Hutan Halimun, menembus kegelapan yang semakin pekat. Dia berencana membawa gadis ini ke penthouse mewahnya di pusat Jakarta, jauh d
Ayu terus berjalan, berusaha mengabaikan rasa takut yang semakin membebani langkahnya. Lolongan serigala yang tadi dibuat oleh Kaelan masih terngiang di telinganya, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, di tengah kesunyian malam, lolongan lain terdengar, lebih keras dan nyata. “Aauuuu! Auuuuu!” Matanya melebar dan tubuhnya gemetar hebat. Ia berhenti sejenak, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah halusinasinya, tetapi suara langkah kaki yang berderak di antara pepohonan membuktikan sebaliknya. Seekor serigala hitam muncul di tepi hutan, matanya berkilauan dalam kegelapan. "Serigala..." gumam Ayu dengan suara bergetar, napasnya tersengal. "Tidak mungkin..." Serigala itu mengeluarkan geraman rendah, memperlihatkan taring-taring tajamnya. Jantung Ayu berdegup kencang. Dia ingin lari, tetapi kakinya seakan terpaku ke tanah. Panik melanda pikirannya dan akhirnya Ayu berteriak sekeras-kerasnya. "TOLONG! Tolong aku!" Dari dalam mobil, Kaelan mendengar teriakan itu dan menyerin
Pak Mangun menghampiri Darto yang akan beranjak kembali mencari putrinya. Akan tetapi sebelum itu terjadi, ia menepuk bahu Darto dengan lembut dan mencoba menenangkan pria itu. "Kang Darto," ujar Pak Mangun dengan suara rendah, "Saya mengerti kau ingin segera menemukan Ayu, tapi keadaan semakin berbahaya. Malam semakin larut. Akan bahaya jika terus melakukan pencarian sekarang." Darto menoleh dengan mata penuh amarah dan kegelisahan. "Apa maksudmu, Mangun? Kau menyuruhku untuk berhenti? Putriku di luar sana, mungkin terluka atau... Ash!" Pak Mangun menghela napas berat, menatap obor yang berkedip-kedip di tangan warga. "Aku tahu ini berat, tapi kita harus berpikir bijak. Hutan ini... bukan hutan biasa. Banyak hal yang tidak kita pahami di sini dan jika kita terus mencari dalam kegelapan seperti ini, kita hanya akan menambah jumlah yang hilang. Hewan buas lebih aktif di malam hari, dan kita tidak punya cukup perlengkapan untuk bertahan jika terjadi sesuatu." Seorang warga yang berd
Seribu tahun yang lalu, lebih tepatnya pada abad ke-11 pertengahn (1024-1025) Di sebuah Hutan para bangsa derigala hidup dengan damai. Pepohonan menjulang tinggi, membentuk kanopi yang melindungi tanah di bawahnya dari sinar matahari yang terik. Di tengah hutan ini berdiri megah Kerajaan Serigala, sebuah benteng yang menjadi rumah bagi manusia serigala yang dihormati dan ditakuti. Kaelan yang saat itu merupakan putra mahkota yang berusia dua puluh tahunan, duduk di tepi jendela istana. Dia mengamati kehidupan di luar, di mana anggota bangsanya berlatih bertarung, berlari dengan lincah dan berburu. Hari itu Wolfric, ayah dari Kaelan memimpin latihan para prajurit. Raja Serigala yang Agung itu dikenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya. Dalam beberapa bulan terakhir, bisikan angin membawa kabar yang kurang baik. Ada rumor bahwa manusia mulai mengetahui keberadaan mereka. Hal itu membuat Wolfric memerintahkan para prajutit istana untuk berlatih dengan keras. Kaelan turun d
"Aku ingat, Fors," jawab Kaelan dengan tenang setelah membayangkapan apa yang jadi seribu tahun yang lalu. "Bahkan aku ingat jelas bagaimana Ayahku mati di tangan para manusia laknat itu. Aku akan menghasilkan banyak ketirunan dari bangsa manusia. Selama gadis ini ada di bawah kendaliku, semuanya akan berjalan sesuai rencana."Fors menghela napas dalam-dalam, jelas merasakan beratnya situasi. "Kau harus mempertimbangkan dengan matang, Kaelan. Gadis itu... dia bukan sekadar manusia. Jika sesuatu terjadi padanya dan keluarganya mengetahui, itu bisa memicu konflik yang lebih besar. Kita harus berhati-hati."Kaelan menatap sahabatnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu risikonya, Fors. Tapi aku sudah memutuskan. Dia akan menjadi bagian dari hidupku, bagian dari rencana kita." “Terserah padamu saja. Aku hanya takut para manusia akan mengetahui keberadaan kita dan membantai bangsa kita lagi.” Ujarnya sebelum pergi meninggalkan Kaelan. Keesokan harinya Ayu mengerjapkan matanya, mencob
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan serius, napasnya masih tersengal setelah mendengar tuntutan aneh itu. Dia tahu tak ada gunanya berdebat terlalu lama, dan dia harus memikirkan cara untuk pulang secepat mungkin. Dengan suara lembut namun penuh ketegasan, dia akhirnya berkata, “Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukan sesuatu untukku.”Kaelan mengangkat alis, tampak tertarik. “Apa itu?”Ayu menelan ludah, berusaha keras menahan kegugupannya. “Kau harus mengantarkanku pulang ke keluargaku dulu. Aku tidak bisa mengambil keputusan sebesar itu tanpa berbicara dengan orangtuaku. Kau harus mendapatkan restu mereka dan memintanya dengan baik-baik.”Kaelan diam sejenak, menatap Ayu dengan sorot mata penuh perhitungan. “Restu orangtua?” gumamnya pelan. “Kau serius?”Ayu mengangguk tegas, meskipun hatinya berdebar keras. “Ya, aku serius. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluargaku. Jika kau benar-benar ingin menikahiku, kau harus melakukannya dengan cara yang benar.”Kaelan
Ayu berlari tersengal-sengal menuju rumahnya, napasnya tersendat-sendat, keringat bercucuran di dahinya. Kakinya yang lelah nyaris tersandung bebatuan di jalan setapak, namun ia terus memaksakan diri untuk berlari. Rumah Ayu terlihat samakin dekat dengan dinding kayunya yang mulai usang berdiri kokoh di ujung jalan kecil.Di teras, Ratna yang sedang menatap ke kejauhan, terkejut saat melihat sosok putrinya muncul dari balik pepohonan. "Ayu?" suaranya hampir bergetar. Rasa tak percaya menguasai dirinya.Sudah dua hari penuh Ratna diliputi kecemasan, tak tahu harus berbuat apa ketika Ayu hilang begitu saja. Meskipun warga desa sudah berbondong-bondong mencari Ayu ke segala penjuru, termasuk hutan Halimun yang gelap dan penuh misteri, jejak gadis itu tetap tak ditemukan. Namun kini, Ayu berdiri di hadapannya, tubuhnya penuh debu dan luka kecil, namun matanya tampak hidup meski lelah.“Ibu…ibu!” Teriaknya.Ratna segera berlari ke arah putrinya, memeluknya erat-erat, seolah memastikan A
"Auuuuu... auuuuuu!" Suara lolongan serigala yang panjang dan mencekam terdengar dari dalam hutan, memecah keheningan malam.Ayu terperenjat dari tidurnya, duduk tegak dengan napas tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang. Dari seberang meja belajar, Darma menoleh dengan ekspresi khawatir. Ia berhenti menulis dan menatap kakaknya.“Kak, kenapa?” tanyanya.Ayu menggeleng pelan, masih terpaku pada jendela yang tertutup rapat. "Serigala itu... suaranya... sangat dekat," ucapnya berbisik, seolah takut mengundang sesuatu yang lebih mengerikan dari balik kegelapan.Darma menatap Ayu dengan tenang, meskipun sedikit heran melihat kakaknya begitu terguncang. Setelah beberapa detik keheningan, ia mendesah pelan, meletakkan pensilnya di meja.“Sudah biasa, Kak,” ucap Darma, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. “Kita kan tinggal di tepian hutan jadi itu hal wajar. Serigala-serigala itu sering terdengar, apalagi kalau bulan penuh.”Ayu menoleh perlahan, masih dengan napas yang belum sepenu
Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di
“Aaaaaaa!” Ayu terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengatur napas. Kamar yang gelap terasa mencekam setelah mimpi buruk yang baru saja menghantuinya."Ayu, ada apa?" Kaelan langsung terbangun mendengar teriakan Ayu. Matanya menyipit karena baru saja terjaga, tapi kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.Ayu tidak langsung menjawab. Ia hanya bisa menatap lurus ke depan, berusaha menenangkan dirinya. Kaelan semakin cemas dan duduk lebih dekat, meraih tangan Ayu."Kamu mimpi buruk, ya?" tanyanya lembut.Ayu mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Kaelan dengan mata masih dipenuhi rasa takut. "Iya, mimpi aneh dan menyeramkan...""Memangnya kamu mimpi apa? Ceritakan padaku," Kaelan mencoba menenangkan dengan suara pelan.Ayu menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kencang. "Aku... aku mimpi melahirkan 3 bayi setigala sekaligus.”
Ayu menatap Kaelan dengan pandangan kosong, kata-kata yang baru saja diucapkan lelaki itu berputar-putar dalam pikirannya. Dia terdiam, tak tahu harus merespons apa. Di balik sinar matahari sore yang menerobos masuk melalui jendela, wajah Kaelan tampak tegang, penuh dengan beban yang tak terlihat sebelumnya. “Kau tak perlu bertanya. Aku akan menjelaskannya,” ujar Kaelan, suaranya rendah namun penuh keyakinan. Dia melangkah ke arah jendela, menatap ke luar seolah mencari kekuatan dari dunia yang terbentang di depannya. Ayu hanya bisa diam, menunggu penjelasan lebih lanjut yang terasa seperti pisau yang sebentar lagi akan menghujam ke dalam hidupnya. “Bangsaku... kami dalam bahaya besar,” lanjut Kaelan, suaranya terdengar berat. Dia menoleh, matanya yang gelap bertemu dengan Ayu. “Aku harus melakukan sesuatu. Kita….Harus segera memiliki keturunan sebanyak mungkin agar keturunan Wolfric tetap ada di dunia ini.” Ayu merasa dadanya sesak, dia masih mencoba memahami apa yang baru
Ayu terdiam, terpaku dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Kaelan. Sebelum sempat menjawab, Kaelan sudah melangkah mendekat. Tanpa bicara lagi, dia menarik Ayu ke dalam dekapannya. “Apa yang kau lakukan?” Tanya Ayu. “Sttt…diamlah!” Jawabnya. Wush! Dalam sekejap, Ayu merasakan tubuh mereka bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah terangkat oleh angin. Dunia di sekeliling mereka berubah menjadi bayangan yang kabur. Detik demi detik berlalu, kini mereka sudah berdiri di depan rumahnya. Ayu mengerjapkan mata, jantungnya masih berdetak kencang. “Kau…bagaimana jika ada yabg melihatnya.” Gerutu Ayu membuat Karlan tersenyum tipis. “Kau tenang saja tidak akan ada yang melihatnya!” Kaelan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Ayu yang masih menggerutu di belakangnya. "Dasar makhluk jadi-jadian!" seru Ayu, meskipun suaranya sedikit pelan. Kaelan hanya menoleh sebentar dengan senyum tipis, tak menghiraukan keluhan Ayu. "Aku mau mandi," katanya santai, lalu melangk