Share

Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric
Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric
Penulis: Adriana

Bagian 1

Di sebuah desa yang terletak di kaki bukit, bersebelahan dengan Hutan Halimun yang selalu diselimuti kabut tipis, seorang gadis bernama Ayu melangkah pelan menyusuri jalan setapak menuju perkebunan pinus.

Angin sore menyapu wajahnya dengan lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.

Matahari mulai condong ke barat dan sinarnya yang kemerahan menyelinap di antara pohon-pohon tinggi, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak mengikuti setiap langkahnya.

“Aku harus cepat-cepat mengumpulkan kayu bakar sebelum hari menjelang malam.” Gumamnya pelan.

Sambil memunguti ranting-ranting kering yang berserakan, perasaan cemas mulai merayap. Sudah berkali-kali ia mendengar cerita tentang hewan buas yang berkeliaran di Hutan Halimun, dari penduduk desa yang mengaku pernah mendengar erangan menakutkan di dalam kabut tebal.

Ayu menepis ketakutan itu, berpikir bahwa cerita-cerita tersebut hanya bualan untuk menakut-nakuti anak-anak desa.

“Grrrrr, grrrrr!”

Namun, ketika senja semakin turun dan bayangan semakin pekat, sebuah suara erangan samar terdengar dari kejauhan.

“Eh, suara apa itu?” Ucapnya sambil menghentikan kegiatannya dan menoleh ke belakang.

“Grrrr, grrrrr!”

Lagi-lagi suara erangan itu kembali terdengar, seperti itu hewan buas yang menggeram di antara pepohonan.

Jantungnya mulai berdetak kencang dan tubuhnya menegang. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin hanya suara angin yang mendesir di antara batang pinus, tetapi suara itu terdengar semakin jelas.

Kakinya mulai bergerak lebih cepat, langkahnya tergesa menuju arah pulang. "Haruskah aku kembali dan meninggalkan kayu-kayu ini?" pikirnya.

Di satu sisi, dia tahu bahwa keluarganya sangat membutuhkan kayu bakar untuk memasak malam ini. Di sisi lain, bayangan tentang sesuatu yang mengintai dari balik kabut di dalam hutan membuat tubuhnya gemetar.

Ayu merasa seolah-olah di setiap sudut matanya, ada sesuatu yang mengawasinya, siap menerkam kapan saja.

Ketika suara erangan itu terdengar semakin dekat, Ayu berhenti lagi, kali ini tubuhnya bergetar.

"Apakah ini saatnya aku harus berlari?" batinnya bergolak. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya.

Beberapa saat kemudian dari balik pohon pinus yang paling besar, muncul sesosok bayangan hitam yang besar dan bergerak perlahan.

Suara erangan tadi kini bergema lebih keras, dan dari sela-sela pepohonan itu dan seekor serigala besar muncul. Matanya berkilat merah dalam cahaya senja yang memudar, taringnya mencuat keluar dari mulutnya yang sedikit terbuka.

Mata Ayu membulat sempurna, napasnya tercekat. Mulutnya menganga, tapi tak satu pun kata bisa keluar.

Kayu bakar yang ia kumpulkan sepanjang sore itu jatuh berhamburan dari genggamannya, berderak di atas tanah. Tangannya bergetar hebat, hampir tak bisa ia rasakan lagi.

"Se-serigala…" ucapnya hampir tanpa suara, bibirnya bergerak pelan.

Ayu mundur beberapa langkah, tapi tubuhnya terasa seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak bisa bergerak lebih cepat.

Ketika ia akan berbalik untuk lari, suara ranting patah terdengar dari belakang. Ayu menoleh dan matanya semakin terbelalak ketika melihat banyaknya kawanan serigala lain yang muncul dari balik pepohonan, mengitari dirinya.

Mereka lebih kecil daripada serigala besar di depannya, tetapi sorot mata mereka sama ganasnya. Sekarang Ayu terjebak dan tak ada jalan keluar.

"A-aku... harus... bagaimana? Lari, ya aku harus lari." pikirnya.

Tubuhnya gemetar hebat dan tatapan serigala-serigala itu membuat darahnya seakan membeku di dalam tubuhnya.

Kawanan serigala itu mulai mendekatinya, hal itu membuat Ayu panik. "Jangan mendekat… jangan mendekat..." Ayu berbisik, lebih kepada dirinya sendiri.

Dia tahu hewan-hewan buas itu tak mungkin memahami kata-katanya. Napasnya semakin pendek, sementara keringat dingin terus mengalir deras dari pelipisnya.

Serigala besar yang pertama kali muncul mulai melangkah maju. Telinganya tegak, ekornya rendah, dan mulutnya mengeluarkan erangan rendah yang terdengar lebih menyeramkan daripada sebelumnya.

"Ti-tidak…," Ayu memohon dengan suara yang semakin melemah.

Saat dirinya mencoba mengambil langkah mundur lagi, kakinya terantuk batu, dan tubuhnya terhempas ke tanah.

Matanya mulai kabur oleh ketakutan yang melumpuhkan. Serigala-serigala itu semakin mendekat, membentuk lingkaran di sekelilingnya.

Saat dunia di sekitarnya mulai memudar dan suara serigala hanya tinggal gema di telinganya, tubuh Ayu terasa lemah.

Tanpa sadar, dia mulai tenggelam dalam kegelapan. Napas terakhirnya yang tersendat dan sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, pandangannya benar-benar hilang.

Ayu jatuh pingsan, terbaring di antara kayu-kayu bakar yang berserakan dan dikelilingi oleh kawanan serigala di dekatnya.

Serigala besar itu perlahan mendekat, matanya yang tadi berkilat merah kini tampak lebih tenang. Sesaat kemudian, tubuh serigala tersebut mulai berubah, bergetar dan memanjang.

Bulu tebalnya menghilang dan yang muncul di tempatnya adalah sosok pria bertubuh tinggi dengan setelan jas rapi.

Wajahnya tampan namun dingin, dengan garis-garis wajah yang tegas dan kulit putih pucat. sementara rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahi yang lebar. Mata yang tadinya berkilat merah kini berubah menjadi warna gelap, tapi tetap tajam seperti mata predator yang waspada.

Pria itu adalah Kaelan, seorang manusia serigala keturunan terakhir Wolfric (Raja serigala) yang sudah lama punah. Usianya mencapai seribu tahun, tetapi wajahnya tampak awet muda seperti berusia 20 tahunan.

Dia menatap gadis yang tergeletak di tanah dengan sorot mata yang sulit dibaca. Beberapa detik kemudian, dua serigala kecil yang tadi mengelilingi Ayu ikut berubah wujud, menjadi dua pria berbadan kekar. Mereka menunduk hormat pada Kaelan dan menunggu instruksi.

"Bawa dia pulang," perintah Kaelan singkat, suaranya dingin dan tajam.

Kedua pria itu saling pandang. Salah satu dari mereka, yang lebih muda, mengerutkan kening dan bertanya ragu, "Bawa pulang ke mana, Tuan?"

Kaelan berhenti sejenak, matanya menyipit dan kilat kemarahan tampak di sana.

"Ke mana lagi kalau bukan ke rumahku, bodoh?" geramnya, suaranya bergetar dengan nada tajam yang membuat kedua pria itu menelan ludah.

"T-tapi, Tuan... rumah yang mana? Rumah yang di kota atau...?" salah satu pria lain memberanikan diri untuk bertanya, meski jelas-jelas dia tahu risiko menantang kesabaran Kaelan.

Mendengar itu, Kaelan langsung kehilangan kesabaran. "Kalian berdua benar-benar bodoh!" bentaknya, suaranya keras dan menggelegar seperti halilintar yang menyambar.

Tanpa memberi kesempatan untuk protes lebih lanjut, Kaelan berjongkok mengulurkan tangannya yang kuat, lalu mengangkat tubuh Ayu dengan mudah seolah gadis itu tidak memiliki berat sama sekali.

"Sungguh tidak berguna," desisnya sambil melirik sinis pada kedua pria tersebut. "Aku yang akan membawanya sendiri."

Sebelum salah satu dari mereka bisa merespons, Kaelan melesat dengan kecepatan yang tak terlihat oleh mata manusia biasa.

Dalam hitungan detik, ia sudah berada di tepian hutan, di depan mobil mewahnya yang terparkir di antara pepohonan.

Mobil itu berkilau dalam cahaya senja yang mulai meredup, menambah kesan cukup misterius pada sosoknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status