Mahendra berdiri di depan jendela ruangannya, menatap gedung-gedung pencakar langit yang membentang di hadapannya. Rahangnya mengeras, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Siapa yang berani menantangnya seperti ini?Aku duduk di sofa, masih memegang ponsel dengan email mengancam yang baru saja kami terima. Jantungku berdegup lebih kencang. Ini bukan lagi ancaman biasa—seseorang benar-benar mencoba menghancurkan Mahendra.Damar masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. “Kami sudah melacak IP peretasnya, tapi mereka sangat profesional. Mereka menggunakan server yang berpindah-pindah lokasi.”Mahendra mendecakkan lidah. “Brengsek. Mereka bukan amatiran.”Aku menggigit bibir, merasa semakin tidak nyaman. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Mahendra menoleh padaku, matanya penuh keyakinan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang.”Kami berangkat ke sebuah tempat rahasia—sebuah ruangan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekat Mahendra. Ruangan ini penuh dengan l
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan gelisah. Mahendra sudah pergi lebih awal untuk mengurus sesuatu, meninggalkanku di penthouse dengan penjagaan ketat. Aku mencoba menenangkan diri, tapi pikiranku terus memutar ulang ancaman yang kuterima kemarin.Saat aku berjalan ke dapur untuk membuat teh, ponselku tiba-tiba bergetar.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Selamat pagi, cantik,” suara seorang pria terdengar di seberang sana. Suaranya santai, tapi ada nada mengancam di dalamnya.Aku menelan ludah. “Siapa ini?”Pria itu tertawa pelan. “Kau tak perlu tahu namaku. Tapi kau harus tahu satu hal: permainan ini baru dimulai.”Jantungku berdebar. “Apa yang kau inginkan?”“Aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku bisa melihatmu sekarang.”Mata kulihat ke sekeliling ruangan dengan panik. “Bohong.”“Apa kau yakin?” Pria itu terkekeh. “Kau memakai piyama satin warna biru, bukan?”Darahku langsung membeku. Bagaimana dia tahu?Aku berlari ke jendela, mencoba mencari sesuatu yang
Pikiranku masih kacau. Video itu… bagaimana bisa tersebar? Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini bisa terjadi.Mahendra menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkanku. “Kita akan menemukan pelakunya.”Tapi aku tahu, ini bukan sekadar soal mencari siapa yang melakukannya. Ini tentang bagaimana aku menghadapi dampaknya.Telepon Mahendra berdering. Ia menjawabnya dengan ekspresi dingin.“Aku tahu ini ulahmu, Dimas,” katanya tanpa basa-basi.Suara tawa terdengar dari seberang. “Kau menganggapku terlalu rendah, Mahendra. Aku hanya memberikan dunia sedikit hiburan. Lagi pula, wanita kecilmu itu sudah jadi perhatian publik sekarang.”Aku menegang.Mahendra mengepalkan tinjunya. “Jangan sentuh dia.”Dimas tertawa lagi. “Aku bahkan belum mulai menyentuhnya.”Telepon terputus.Mahendra menoleh ke arah Damar. “Segera cari tahu siapa yang meretas CCTV penthouse.”Damar mengangguk cepat, lalu pergi dengan wajah serius.Mahendra menoleh padaku, matanya penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan
Mahendra berjalan dengan penuh percaya diri ke dalam ruang rapat perusahaan. Aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari di mana segalanya akan berubah.Di depan kami, Dimas sudah duduk dengan senyum penuh kemenangan. Di sampingnya, sahabat pengkhianatku tampak angkuh, seolah mereka sudah memastikan kejatuhanku.Mahendra duduk dengan tenang, lalu mengetuk mejanya sekali. “Dimas, kita perlu bicara.”Dimas menyeringai. “Tentang apa? Tentang bagaimana gadis desa itu akhirnya akan meninggalkanmu?”Aku mengepalkan tangan di bawah meja.Mahendra hanya tersenyum tipis. “Bukan. Tentang bagaimana ini akan menjadi akhir dari permainan kotormu.”Dimas tertawa. “Dan siapa yang bisa menghentikanku? Kau?”Mahendra tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat pada Damar yang berdiri di sudut ruangan.Damar menekan tombol di ponselnya, dan layar besar di belakang kami menyala.Video rekaman percakapan Dimas dan sahabat pengkhianatku mulai diputar.Aku
Keesokan harinya, aku kembali bekerja seperti biasa. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian semalam, tapi itu hampir mustahil. Setiap kali aku mengingat cara Mahendra menatapku, suaranya yang dalam, dan—oh Tuhan—cara dia memanggilku ‘Sayang,’ aku merasa seakan tubuhku meleleh.“Apa kau sedang jatuh cinta?”Aku hampir menjatuhkan tumpukan dokumen yang sedang kubawa ketika Rina, rekan kerjaku, tiba-tiba menatapku dengan tatapan menggoda.“Apa?” Aku mencoba bersikap biasa.Rina menyeringai. “Kau terlihat… berbeda hari ini. Lebih cerah, lebih berseri-seri.”Aku terkesiap. “Tidak! Aku hanya…”“Jangan menyangkal,” Rina memotong cepat. “Aku yakin ini ada hubungannya dengan Tuan Mahendra.”Aku menegang. “Dari mana kau tahu?”“Aku tidak buta, Sayang.” Rina terkikik. “Dia selalu memperlakukanmu berbeda dibanding karyawan lain. Bahkan kemarin aku melihat dia mengantarmu pulang. Itu bukan hal yang biasa dilakukan seorang CEO pada pegawainya.”Aku terdiam, menggigit bibir.“Jadi? Apa dia
Malam itu, aku merasa gelisah. Perkataan Mahendra terus terngiang-ngiang di kepalaku."Aku tidak ingin kehilanganmu."Apa maksudnya? Apakah dia benar-benar mulai memiliki perasaan padaku?Aku menggelengkan kepala. Tidak, aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Dia seorang CEO, pria sempurna yang bisa memiliki wanita mana pun yang dia inginkan. Aku hanya gadis biasa dari desa…Ponselku bergetar, mengganggu lamunanku.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Halo?”Tidak ada suara di seberang. Hanya desahan napas pelan yang terdengar menyeramkan.“Halo? Siapa ini?” ulangku, sedikit waspada.Tiba-tiba, suara dingin itu terdengar.“Kau milikku, Sayang. Jangan pernah lupa itu.”Jantungku berdegup kencang. Aku langsung tahu siapa pemilik suara itu.Dimas.Tanganku gemetar saat aku buru-buru mematikan panggilan itu.Tidak… Dia benar-benar belum menyerah.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak boleh panik. Aku tidak boleh takut.Ponselku kembal
Angin pagi kota besar terasa berbeda dari desaku. Tidak ada aroma sawah yang basah oleh embun, tidak ada suara ayam berkokok atau ibu-ibu bercengkrama di depan rumah. Yang ada hanya suara kendaraan yang tak henti-hentinya menderu, hiruk-pikuk manusia, serta gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar tak karuan. Di hadapanku, berdiri Mahendra Group, salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Gedungnya begitu megah, dengan dinding kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aku mendongak, merasa begitu kecil di tengah kemegahan ini. "Jangan ragu, Alya," gumamku pada diri sendiri. "Ini demi Ibu dan Adik." Aku merapatkan genggamanku pada tali tas selempang kecil yang kubawa. Aku datang ke kota ini bukan karena ingin, tetapi karena keadaan memaksaku. Hutang keluarga kami menumpuk setelah Ayah meninggal, dan satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah dengan bekerja. Dan hari ini, aku mendapat kes
Aku masih berdiri mematung di trotoar, menatap mobil hitam mengilap yang semakin menjauh. Dadaku terasa sesak, pikiranku dipenuhi tanda tanya. Lebih dari yang kau kira. Kata-kata pria itu terngiang di kepalaku. Aku tidak mengerti. Aku baru pertama kali datang ke kota ini. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin dia mengenalku? Aku menghela napas panjang dan memijat pelipisku. Jangan dipikirkan, Alya. Fokus pada tujuanmu. Aku melangkah menuju halte bus, berencana kembali ke tempat kos sederhana yang kusewa di pinggiran kota. Aku masih harus mencari pekerjaan lain jika wawancara tadi tidak membuahkan hasil. Aku tidak bisa menggantungkan harapan pada satu kesempatan saja. Namun, sebelum aku sempat naik ke dalam bus, ponselku bergetar di dalam tas. Nomor tidak dikenal. Aku mengernyit. Siapa yang meneleponku? "Hallo?" "Sore, Nona Alya. Ini dari Mahendra Group." Aku langsung menegakkan punggung. "I-iya, Pak?" "Kami ingin menginformasikan bahwa Anda
Malam itu, aku merasa gelisah. Perkataan Mahendra terus terngiang-ngiang di kepalaku."Aku tidak ingin kehilanganmu."Apa maksudnya? Apakah dia benar-benar mulai memiliki perasaan padaku?Aku menggelengkan kepala. Tidak, aku tidak boleh berharap terlalu tinggi. Dia seorang CEO, pria sempurna yang bisa memiliki wanita mana pun yang dia inginkan. Aku hanya gadis biasa dari desa…Ponselku bergetar, mengganggu lamunanku.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Halo?”Tidak ada suara di seberang. Hanya desahan napas pelan yang terdengar menyeramkan.“Halo? Siapa ini?” ulangku, sedikit waspada.Tiba-tiba, suara dingin itu terdengar.“Kau milikku, Sayang. Jangan pernah lupa itu.”Jantungku berdegup kencang. Aku langsung tahu siapa pemilik suara itu.Dimas.Tanganku gemetar saat aku buru-buru mematikan panggilan itu.Tidak… Dia benar-benar belum menyerah.Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak boleh panik. Aku tidak boleh takut.Ponselku kembal
Keesokan harinya, aku kembali bekerja seperti biasa. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari kejadian semalam, tapi itu hampir mustahil. Setiap kali aku mengingat cara Mahendra menatapku, suaranya yang dalam, dan—oh Tuhan—cara dia memanggilku ‘Sayang,’ aku merasa seakan tubuhku meleleh.“Apa kau sedang jatuh cinta?”Aku hampir menjatuhkan tumpukan dokumen yang sedang kubawa ketika Rina, rekan kerjaku, tiba-tiba menatapku dengan tatapan menggoda.“Apa?” Aku mencoba bersikap biasa.Rina menyeringai. “Kau terlihat… berbeda hari ini. Lebih cerah, lebih berseri-seri.”Aku terkesiap. “Tidak! Aku hanya…”“Jangan menyangkal,” Rina memotong cepat. “Aku yakin ini ada hubungannya dengan Tuan Mahendra.”Aku menegang. “Dari mana kau tahu?”“Aku tidak buta, Sayang.” Rina terkikik. “Dia selalu memperlakukanmu berbeda dibanding karyawan lain. Bahkan kemarin aku melihat dia mengantarmu pulang. Itu bukan hal yang biasa dilakukan seorang CEO pada pegawainya.”Aku terdiam, menggigit bibir.“Jadi? Apa dia
Mahendra berjalan dengan penuh percaya diri ke dalam ruang rapat perusahaan. Aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari di mana segalanya akan berubah.Di depan kami, Dimas sudah duduk dengan senyum penuh kemenangan. Di sampingnya, sahabat pengkhianatku tampak angkuh, seolah mereka sudah memastikan kejatuhanku.Mahendra duduk dengan tenang, lalu mengetuk mejanya sekali. “Dimas, kita perlu bicara.”Dimas menyeringai. “Tentang apa? Tentang bagaimana gadis desa itu akhirnya akan meninggalkanmu?”Aku mengepalkan tangan di bawah meja.Mahendra hanya tersenyum tipis. “Bukan. Tentang bagaimana ini akan menjadi akhir dari permainan kotormu.”Dimas tertawa. “Dan siapa yang bisa menghentikanku? Kau?”Mahendra tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat pada Damar yang berdiri di sudut ruangan.Damar menekan tombol di ponselnya, dan layar besar di belakang kami menyala.Video rekaman percakapan Dimas dan sahabat pengkhianatku mulai diputar.Aku
Pikiranku masih kacau. Video itu… bagaimana bisa tersebar? Aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini bisa terjadi.Mahendra menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkanku. “Kita akan menemukan pelakunya.”Tapi aku tahu, ini bukan sekadar soal mencari siapa yang melakukannya. Ini tentang bagaimana aku menghadapi dampaknya.Telepon Mahendra berdering. Ia menjawabnya dengan ekspresi dingin.“Aku tahu ini ulahmu, Dimas,” katanya tanpa basa-basi.Suara tawa terdengar dari seberang. “Kau menganggapku terlalu rendah, Mahendra. Aku hanya memberikan dunia sedikit hiburan. Lagi pula, wanita kecilmu itu sudah jadi perhatian publik sekarang.”Aku menegang.Mahendra mengepalkan tinjunya. “Jangan sentuh dia.”Dimas tertawa lagi. “Aku bahkan belum mulai menyentuhnya.”Telepon terputus.Mahendra menoleh ke arah Damar. “Segera cari tahu siapa yang meretas CCTV penthouse.”Damar mengangguk cepat, lalu pergi dengan wajah serius.Mahendra menoleh padaku, matanya penuh kekhawatiran. “Aku tidak akan
Pagi itu, aku bangun dengan perasaan gelisah. Mahendra sudah pergi lebih awal untuk mengurus sesuatu, meninggalkanku di penthouse dengan penjagaan ketat. Aku mencoba menenangkan diri, tapi pikiranku terus memutar ulang ancaman yang kuterima kemarin.Saat aku berjalan ke dapur untuk membuat teh, ponselku tiba-tiba bergetar.Nomor tak dikenal.Aku ragu sejenak sebelum mengangkatnya.“Selamat pagi, cantik,” suara seorang pria terdengar di seberang sana. Suaranya santai, tapi ada nada mengancam di dalamnya.Aku menelan ludah. “Siapa ini?”Pria itu tertawa pelan. “Kau tak perlu tahu namaku. Tapi kau harus tahu satu hal: permainan ini baru dimulai.”Jantungku berdebar. “Apa yang kau inginkan?”“Aku hanya ingin kau tahu… bahwa aku bisa melihatmu sekarang.”Mata kulihat ke sekeliling ruangan dengan panik. “Bohong.”“Apa kau yakin?” Pria itu terkekeh. “Kau memakai piyama satin warna biru, bukan?”Darahku langsung membeku. Bagaimana dia tahu?Aku berlari ke jendela, mencoba mencari sesuatu yang
Mahendra berdiri di depan jendela ruangannya, menatap gedung-gedung pencakar langit yang membentang di hadapannya. Rahangnya mengeras, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Siapa yang berani menantangnya seperti ini?Aku duduk di sofa, masih memegang ponsel dengan email mengancam yang baru saja kami terima. Jantungku berdegup lebih kencang. Ini bukan lagi ancaman biasa—seseorang benar-benar mencoba menghancurkan Mahendra.Damar masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. “Kami sudah melacak IP peretasnya, tapi mereka sangat profesional. Mereka menggunakan server yang berpindah-pindah lokasi.”Mahendra mendecakkan lidah. “Brengsek. Mereka bukan amatiran.”Aku menggigit bibir, merasa semakin tidak nyaman. “Lalu apa yang harus kita lakukan?”Mahendra menoleh padaku, matanya penuh keyakinan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menang.”Kami berangkat ke sebuah tempat rahasia—sebuah ruangan khusus yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekat Mahendra. Ruangan ini penuh dengan l
Malam yang seharusnya menjadi momen romantis kini berubah menjadi sesuatu yang menegangkan. Mahendra meremas amplop hitam di tangannya, ekspresi wajahnya begitu gelap dan tajam. Damar berdiri di dekatnya, waspada, seolah siap menghadapi bahaya kapan saja.Aku sendiri masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Ancaman ini… ditujukan kepada siapa? Kepada Mahendra, atau kepadaku?“Ayo kita pergi dari sini,” kata Damar tegas.Mahendra menoleh ke arahku, matanya penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja?”Aku menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungku yang masih berpacu cepat. “Aku… aku baik-baik saja.”Mahendra menggenggam tanganku erat dan membawaku masuk ke dalam mobil. Damar duduk di kursi depan bersama sopir, sementara aku dan Mahendra di belakang.Saat mobil mulai melaju, aku menoleh ke luar jendela, merasa waspada dengan setiap kendaraan yang melintas. Siapa pun yang mengirimkan ancaman ini pasti tidak main-main.“Kau kenal seseorang yang mungkin ingin menyakitimu?” t
Aku masih terduduk di sofa ruang kerja Mahendra, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Raisa benar-benar kehilangan kendali tadi. Tapi yang lebih menggangguku adalah ucapannya. "Gadis itu tidak akan pernah bisa menggantikan aku." Kenapa dia begitu yakin bahwa Mahendra masih punya perasaan untuknya? Apakah aku hanya pengganti sementara? Aku menatap Mahendra yang kini berdiri di depan jendela, menatap kota dengan ekspresi serius. Aku ingin bertanya, ingin mendapatkan kepastian, tapi sebelum aku sempat bicara, dia lebih dulu berbalik. "Mulai hari ini, kau akan mendapatkan perlindungan ekstra," katanya. Aku mengernyit. "Maksudmu?" "Aku sudah menyewa pengawal pribadi untukmu," katanya tanpa ragu. Aku terkejut. "Mahendra, aku tidak butuh pengawal!" Dia mendekat, menatapku tajam. "Aku tidak akan mengambil risiko. Setelah berita ini menyebar, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang membencimu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu." Aku menggig
Aku menggenggam ponselku erat. Meskipun aku sudah mematikan layar, kata-kata dalam pesan itu seolah masih berkelebat di pikiranku."Kau pikir dia benar-benar mencintaimu? Kau hanya mainannya untuk saat ini."Siapa yang mengirim pesan itu? Raisa? Atau seseorang yang bahkan lebih berbahaya?Aku mencoba mengabaikannya, tapi rasa gelisah menyelimutiku sepanjang malam. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan nyenyak.Keesokan paginya, aku memutuskan untuk tidak menceritakan hal ini kepada Mahendra. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau malah memunculkan pertengkaran antara dia dan Raisa jika memang dia pelakunya.Namun, rasa penasaran itu terus mengusik pikiranku.Siapa pun yang mengirim pesan ini… dia pasti tahu tentang hubunganku dengan Mahendra.---Saat aku tiba di kantor pagi itu, suasana terasa sedikit berbeda. Beberapa karyawan menatapku dengan cara yang aneh—seolah-olah mereka tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.Aku berjalan menuju meja kerjaku, tapi sebelum aku sempat duduk, Rina—r