Aku duduk di dalam mobil Mahendra, jantungku berdebar tak karuan. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan memasuki kantor pusat perusahaan milik pria itu—bukan sebagai tamu biasa, tetapi sebagai seseorang yang ingin dia lindungi… atau lebih tepatnya, seseorang yang ingin dia tunjukkan pada dunia.“Kenapa aku harus ikut?” tanyaku pelan, mencoba mengendalikan kegugupanku.Mahendra, yang duduk di sebelahku, menatap ke depan dengan ekspresi tenang. “Karena ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang menunjukkan kepada Dimas bahwa dia tidak bisa menyentuhmu lagi.”Aku menelan ludah. “Tapi kalau dia makin marah?”Mahendra tersenyum tipis, seakan pertanyaanku adalah hal yang lucu. “Kalau dia berani, maka dia sudah menandatangani hukuman untuk dirinya sendiri.”Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang. Aku tahu Mahendra bukan pria yang main-main. Jika dia sudah berkata seperti itu, berarti dia benar-benar siap menghancurkan Dimas.Mobil berhenti di depan gedung pencakar
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Aditya terus berputar di kepalaku. Apa yang dia maksud dengan "bermain api"? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan Mahendra dariku?Aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Rasanya ada yang mengganjal. Selama ini, aku percaya Mahendra, tapi semakin banyak orang yang mencoba memperingatkanku. Kakaknya, sekretarisnya, bahkan beberapa karyawan di perusahaannya yang pernah secara tidak langsung memberi isyarat.Akhirnya, aku duduk di tepi ranjang, menghembuskan napas berat. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mencari tahu sendiri.Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel dan mulai mencari informasi tentang keluarga Mahendra. Ada banyak berita tentang keberhasilan perusahaan mereka, namun ada satu artikel lama yang menarik perhatianku."Skandal Lama Keluarga Wijaya: Persaingan Kakak-Adik yang Penuh Intrik"Jantungku berdebar saat membukanya.Aditya Wijaya dan Mahendra Wijaya, dua pewaris utama Wijaya Corp, dikabarkan sempat be
Malam itu, setelah percakapan intens dengan Mahendra, aku merasa pikiranku tidak bisa tenang. Aku terus memikirkan Aditya. Apakah benar dia ingin menghancurkan hubungan kami? Ataukah ini hanya ketakutan Mahendra semata?Aku berdiri di balkon kamar, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, memberikan pemandangan yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.Ponselku bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Nikmati waktumu dengan Mahendra selagi bisa. Segera, semuanya akan berubah."Jantungku berdegup kencang. Tanganku sedikit gemetar saat aku membaca ulang pesan itu. Siapa yang mengirim ini? Aditya? Ataukah seseorang yang lain?Tanpa berpikir panjang, aku segera menelepon Mahendra."Liana?" Suaranya terdengar waspada."Aku baru saja menerima pesan aneh," kataku cepat. "Seseorang mengancamku. Aku tidak tahu siapa."Mahendra langsung serius. "Kirimkan padaku. Aku akan menyelidikinya."Aku segera mengirim tangkap
Aku masih memandangi tulisan itu dengan tangan gemetar. Pikiranku berputar-putar, mencoba memahami bagaimana seseorang dari masa laluku bisa kembali dan meninggalkan pesan menakutkan seperti ini.Mahendra mengambil kertas itu dari tanganku, matanya menyelidiki setiap detail. “Liana, siapa yang menulis ini?”Aku menggigit bibirku, hatiku terasa berat untuk mengucapkannya. “Aku… aku tidak yakin, tapi aku punya firasat.”Mahendra menghela napas, lalu menggenggam tanganku dengan lembut. “Katakan padaku, siapa yang kau curigai?”Aku menatapnya, keraguan memenuhi dadaku. “Seseorang dari masa laluku… seseorang yang dulu sangat mencintaiku, tapi juga menghancurkanku.”Wajah Mahendra mengeras. “Kau pernah dianiaya oleh seseorang?”Aku mengangguk pelan. “Dulu, aku pernah bertunangan dengan seorang pria bernama Radit. Awalnya, dia tampak baik dan penuh perhatian, tapi seiring waktu, dia menjadi obsesif. Dia mengontrol hidupku, membatasi pergaulanku, bahkan pernah mengancamku jika aku meninggalka
Aku berusaha mengabaikan tatapan para karyawan yang memandangku dengan penuh tanya saat Mahendra masih menggenggam tanganku di lobi. Jantungku masih berdebar kencang, bukan hanya karena genggamannya, tetapi juga karena perasaan tidak nyaman mengetahui bahwa Radit sudah menemukan tempat kerjaku.Mahendra menoleh padaku, lalu mengecilkan suaranya agar hanya aku yang bisa mendengar. “Mulai sekarang, kau harus selalu berada dalam pengawasanku. Jika ada hal mencurigakan, segera beri tahu aku.”Aku menelan ludah dan mengangguk.Saat itu juga, Rani—teman sekantorku—berjalan mendekat dengan ekspresi penuh selidik. “Liana… kau datang bersama Pak Mahendra?” bisiknya.Aku belum sempat menjawab, Mahendra sudah mendahuluiku. “Ya, dan dia akan tinggal di tempatku sementara waktu.”Rani membelalakkan mata. “APA?”Aku hampir tersedak mendengar cara Mahendra mengatakannya. “M-Mahen! Jangan bicara seperti itu, nanti orang-orang salah paham!”Mahendra malah tersenyum tipis. “Biar saja.”Aku menutup waja
Malam itu, aku merasa lebih waspada dari sebelumnya. Mahendra memutuskan untuk membawaku ke penthouse-nya, dengan alasan bahwa tempat itu jauh lebih aman daripada apartemenku.“Aku punya sistem keamanan yang ketat di sini,” katanya saat kami masuk ke dalam lift. “Radit tidak akan bisa mendekat tanpa ketahuan.”Aku hanya mengangguk, meski jauh di dalam hati, aku masih merasa gelisah. Radit bukan orang yang mudah menyerah. Jika dia bisa menemukan tempat kerjaku, maka bukan tidak mungkin dia juga akan menemukan tempat ini.Sesampainya di penthouse, aku terkejut melihat betapa luas dan mewahnya tempat itu. Dinding kaca besar menampilkan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya bernuansa monokrom dengan furnitur mahal yang tertata rapi.“Mulai sekarang, kau tinggal di sini,” ujar Mahendra dengan nada tegas.Aku menoleh padanya. “Tapi… aku tidak bisa terus bergantung padamu, Mahen.”Dia mendekat, menatapku dalam. “Kau bukan bergantung padaku, Liana. Kau sedang kulindungi.”
Pagi datang lebih cepat dari yang kuharapkan. Aku masih belum bisa tidur setelah kejadian semalam. Bayangan sosok ber-hoodie itu masih menghantui pikiranku. Mahendra pun terlihat sama gelisahnya, meskipun dia berusaha menyembunyikannya dariku.Saat aku melangkah ke ruang makan, aroma kopi menguar di udara. Mahendra sudah duduk di kursi, dengan laptop terbuka di depannya. Dia tampak serius, sesekali mengetik sesuatu sambil menyeruput kopinya."Apa yang kau lakukan?" tanyaku sambil menarik kursi di depannya."Memeriksa rekaman CCTV," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Aku ingin tahu bagaimana dia bisa masuk ke area apartemen ini tanpa terdeteksi."Aku menggigit bibir. "Apakah kau menemukannya?"Mahendra menghela napas panjang, lalu memutar laptop ke arahku. "Lihat ini."Di layar, terlihat sosok pria ber-hoodie hitam berjalan menyusuri koridor dengan hati-hati. Dia menundukkan kepala, menghindari sorotan kamera. Tapi saat dia berhenti sejenak di depan pintuku, aku bisa mel
Aku duduk di tepi ranjang Mahendra, masih memegang ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari Radit terasa seperti bayangan gelap yang terus mengintai di setiap langkahku.Mahendra berjalan mondar-mandir di depan jendela kamar, kedua tangannya terkepal erat. Aku tahu dia sedang berusaha menahan amarahnya."Kita tidak bisa membiarkan dia berkeliaran bebas," katanya akhirnya. "Aku akan mencari tahu dari mana pesan ini dikirim."Aku hanya mengangguk, masih merasa ketakutan. Mahendra mendekat dan berlutut di depanku, tangannya menggenggam tanganku erat."Kau aman di sini," katanya lembut. "Aku akan memastikan itu."Aku ingin percaya padanya, tapi Radit selalu punya cara untuk membuatku merasa tak berdaya.~~*Keesokan paginya, suasana di rumah Mahendra terasa lebih tegang. Mahendra sibuk dengan panggilan telepon, sementara beberapa pria berbadan tegap datang dan pergi, berbicara dalam nada serius.Aku duduk di ruang makan bersama ibunya, yang tampak lebih tenang meskipun aku bisa melihat so
Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.”*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahu… bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya—hanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k