Aku menatap Mahendra dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya barusan masih terngiang di kepalaku.“Dimas tidak hanya mengincarmu. Dia juga punya hubungan dengan sesuatu yang lebih berbahaya.”Tanganku mencengkeram ujung sofa, mencoba meredam kegelisahan yang merayapi dadaku.“Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara nyaris bergetar.Mahendra menatapku tajam, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Aku menyuruh seseorang menyelidiki Dimas, dan hasilnya... dia terlibat dalam bisnis gelap.”Aku membelalakkan mata. “Bisnis gelap?”Mahendra mengangguk. “Dia terhubung dengan jaringan pinjaman ilegal dan perdagangan wanita. Ada banyak perempuan yang menjadi korbannya.”Jantungku berdegup kencang. Aku tidak menyangka Dimas sejahat itu.“Dan dia menginginkanku?” suaraku bergetar.Mahendra mengepalkan tangannya. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”Aku menunduk, mencoba menenangkan diri. Namun, kepalaku dipenuhi bayangan menakutkan tentang apa yang bisa terjadi jika Dimas benar-benar mendapatkan a
Aku duduk di dalam mobil Mahendra, jantungku berdebar tak karuan. Hari ini, untuk pertama kalinya, aku akan memasuki kantor pusat perusahaan milik pria itu—bukan sebagai tamu biasa, tetapi sebagai seseorang yang ingin dia lindungi… atau lebih tepatnya, seseorang yang ingin dia tunjukkan pada dunia.“Kenapa aku harus ikut?” tanyaku pelan, mencoba mengendalikan kegugupanku.Mahendra, yang duduk di sebelahku, menatap ke depan dengan ekspresi tenang. “Karena ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang menunjukkan kepada Dimas bahwa dia tidak bisa menyentuhmu lagi.”Aku menelan ludah. “Tapi kalau dia makin marah?”Mahendra tersenyum tipis, seakan pertanyaanku adalah hal yang lucu. “Kalau dia berani, maka dia sudah menandatangani hukuman untuk dirinya sendiri.”Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat bulu kudukku meremang. Aku tahu Mahendra bukan pria yang main-main. Jika dia sudah berkata seperti itu, berarti dia benar-benar siap menghancurkan Dimas.Mobil berhenti di depan gedung pencakar
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Kata-kata Aditya terus berputar di kepalaku. Apa yang dia maksud dengan "bermain api"? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan Mahendra dariku?Aku berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Rasanya ada yang mengganjal. Selama ini, aku percaya Mahendra, tapi semakin banyak orang yang mencoba memperingatkanku. Kakaknya, sekretarisnya, bahkan beberapa karyawan di perusahaannya yang pernah secara tidak langsung memberi isyarat.Akhirnya, aku duduk di tepi ranjang, menghembuskan napas berat. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mencari tahu sendiri.Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel dan mulai mencari informasi tentang keluarga Mahendra. Ada banyak berita tentang keberhasilan perusahaan mereka, namun ada satu artikel lama yang menarik perhatianku."Skandal Lama Keluarga Wijaya: Persaingan Kakak-Adik yang Penuh Intrik"Jantungku berdebar saat membukanya.Aditya Wijaya dan Mahendra Wijaya, dua pewaris utama Wijaya Corp, dikabarkan sempat be
Malam itu, setelah percakapan intens dengan Mahendra, aku merasa pikiranku tidak bisa tenang. Aku terus memikirkan Aditya. Apakah benar dia ingin menghancurkan hubungan kami? Ataukah ini hanya ketakutan Mahendra semata?Aku berdiri di balkon kamar, membiarkan angin malam menyapu wajahku. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, memberikan pemandangan yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.Ponselku bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Nikmati waktumu dengan Mahendra selagi bisa. Segera, semuanya akan berubah."Jantungku berdegup kencang. Tanganku sedikit gemetar saat aku membaca ulang pesan itu. Siapa yang mengirim ini? Aditya? Ataukah seseorang yang lain?Tanpa berpikir panjang, aku segera menelepon Mahendra."Liana?" Suaranya terdengar waspada."Aku baru saja menerima pesan aneh," kataku cepat. "Seseorang mengancamku. Aku tidak tahu siapa."Mahendra langsung serius. "Kirimkan padaku. Aku akan menyelidikinya."Aku segera mengirim tangkap
Aku masih memandangi tulisan itu dengan tangan gemetar. Pikiranku berputar-putar, mencoba memahami bagaimana seseorang dari masa laluku bisa kembali dan meninggalkan pesan menakutkan seperti ini.Mahendra mengambil kertas itu dari tanganku, matanya menyelidiki setiap detail. “Liana, siapa yang menulis ini?”Aku menggigit bibirku, hatiku terasa berat untuk mengucapkannya. “Aku… aku tidak yakin, tapi aku punya firasat.”Mahendra menghela napas, lalu menggenggam tanganku dengan lembut. “Katakan padaku, siapa yang kau curigai?”Aku menatapnya, keraguan memenuhi dadaku. “Seseorang dari masa laluku… seseorang yang dulu sangat mencintaiku, tapi juga menghancurkanku.”Wajah Mahendra mengeras. “Kau pernah dianiaya oleh seseorang?”Aku mengangguk pelan. “Dulu, aku pernah bertunangan dengan seorang pria bernama Radit. Awalnya, dia tampak baik dan penuh perhatian, tapi seiring waktu, dia menjadi obsesif. Dia mengontrol hidupku, membatasi pergaulanku, bahkan pernah mengancamku jika aku meninggalka
Aku berusaha mengabaikan tatapan para karyawan yang memandangku dengan penuh tanya saat Mahendra masih menggenggam tanganku di lobi. Jantungku masih berdebar kencang, bukan hanya karena genggamannya, tetapi juga karena perasaan tidak nyaman mengetahui bahwa Radit sudah menemukan tempat kerjaku.Mahendra menoleh padaku, lalu mengecilkan suaranya agar hanya aku yang bisa mendengar. “Mulai sekarang, kau harus selalu berada dalam pengawasanku. Jika ada hal mencurigakan, segera beri tahu aku.”Aku menelan ludah dan mengangguk.Saat itu juga, Rani—teman sekantorku—berjalan mendekat dengan ekspresi penuh selidik. “Liana… kau datang bersama Pak Mahendra?” bisiknya.Aku belum sempat menjawab, Mahendra sudah mendahuluiku. “Ya, dan dia akan tinggal di tempatku sementara waktu.”Rani membelalakkan mata. “APA?”Aku hampir tersedak mendengar cara Mahendra mengatakannya. “M-Mahen! Jangan bicara seperti itu, nanti orang-orang salah paham!”Mahendra malah tersenyum tipis. “Biar saja.”Aku menutup waja
Malam itu, aku merasa lebih waspada dari sebelumnya. Mahendra memutuskan untuk membawaku ke penthouse-nya, dengan alasan bahwa tempat itu jauh lebih aman daripada apartemenku.“Aku punya sistem keamanan yang ketat di sini,” katanya saat kami masuk ke dalam lift. “Radit tidak akan bisa mendekat tanpa ketahuan.”Aku hanya mengangguk, meski jauh di dalam hati, aku masih merasa gelisah. Radit bukan orang yang mudah menyerah. Jika dia bisa menemukan tempat kerjaku, maka bukan tidak mungkin dia juga akan menemukan tempat ini.Sesampainya di penthouse, aku terkejut melihat betapa luas dan mewahnya tempat itu. Dinding kaca besar menampilkan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya bernuansa monokrom dengan furnitur mahal yang tertata rapi.“Mulai sekarang, kau tinggal di sini,” ujar Mahendra dengan nada tegas.Aku menoleh padanya. “Tapi… aku tidak bisa terus bergantung padamu, Mahen.”Dia mendekat, menatapku dalam. “Kau bukan bergantung padaku, Liana. Kau sedang kulindungi.”
Pagi datang lebih cepat dari yang kuharapkan. Aku masih belum bisa tidur setelah kejadian semalam. Bayangan sosok ber-hoodie itu masih menghantui pikiranku. Mahendra pun terlihat sama gelisahnya, meskipun dia berusaha menyembunyikannya dariku.Saat aku melangkah ke ruang makan, aroma kopi menguar di udara. Mahendra sudah duduk di kursi, dengan laptop terbuka di depannya. Dia tampak serius, sesekali mengetik sesuatu sambil menyeruput kopinya."Apa yang kau lakukan?" tanyaku sambil menarik kursi di depannya."Memeriksa rekaman CCTV," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Aku ingin tahu bagaimana dia bisa masuk ke area apartemen ini tanpa terdeteksi."Aku menggigit bibir. "Apakah kau menemukannya?"Mahendra menghela napas panjang, lalu memutar laptop ke arahku. "Lihat ini."Di layar, terlihat sosok pria ber-hoodie hitam berjalan menyusuri koridor dengan hati-hati. Dia menundukkan kepala, menghindari sorotan kamera. Tapi saat dia berhenti sejenak di depan pintuku, aku bisa mel
Aku masih bisa merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhku. Mobil melaju kencang di jalanan gelap, meninggalkan gudang yang kini sudah pasti dikepung musuh."Mereka siapa sebenarnya?" aku bertanya dengan napas tersengal. "Dan kenapa mereka bisa menemukan kita?"Adrian menatap ke kaca spion dengan rahang mengeras. "Itu yang harus kita cari tahu."Reynand, yang duduk di kursi belakang dengan luka di lengannya, merintih pelan. Sierra merobek bagian bawah bajunya dan menekannya ke luka Reynand untuk menghentikan pendarahan."Kita butuh tempat untuk berlindung," kata Sierra dengan nada tegas. "Nggak mungkin kita terus melarikan diri tanpa rencana."Reynand mengangguk. "Aku tahu tempatnya."Adrian meliriknya sekilas melalui kaca spion. "Dimana?""Ada rumah aman di luar kota. Butuh waktu satu jam untuk sampai ke sana, tapi tempat itu benar-benar aman. Paling tidak untuk sementara."Aku bisa merasakan kelegaan kecil di dalam hatiku. Setidaknya kami punya tujuan.Mobil terus melaju di jalana
Mobil kami akhirnya melambat setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam. Udara malam mulai menusuk, dan aku bisa merasakan ketegangan di dalam mobil yang masih belum hilang. Reynand duduk diam di kursinya, matanya tajam menatap jalanan, sementara Sierra terlihat sibuk memeriksa pistolnya, memastikan setiap peluru siap digunakan.Aku menoleh ke Adrian. “Kita mau ke mana?” tanyaku, suaraku masih sedikit bergetar setelah kejaran brutal tadi.Adrian menatap ke kaca spion sebentar sebelum menjawab, “Reynand bilang dia tahu tempat aman. Aku percaya padanya.”Aku mengerutkan dahi, lalu menatap Reynand. “Kita bakal ke mana?”Reynand akhirnya menoleh padaku. “Sebuah tempat persembunyian. Hanya orang-orang tertentu yang tahu lokasinya.”Aku masih curiga, tapi mengangguk. Aku tahu, untuk saat ini, kami tidak punya pilihan lain.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya tampak terbengkalai, dengan dinding beton yang mulai retak dan p
Mobil melesat di jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat melewati kaca jendela yang sebagian retak akibat tembakan. Aku masih berusaha mengatur napas, sementara tangan Reynand tetap menggenggam pergelangan tanganku erat, seolah takut aku akan menghilang begitu saja.“Tahan setirnya sebentar!” teriak Reynand pada Adrian, lalu dengan sigap ia membuka jendela dan mengarahkan pistolnya ke belakang.DOR! DOR! DOR!Aku melihat salah satu mobil yang mengejar kami kehilangan kendali dan menabrak trotoar, tapi dua mobil lainnya masih memburu tanpa ampun.“Brengsek, mereka tidak mau menyerah!” geram Adrian sambil membanting setir ke kanan, memasuki jalan kecil yang nyaris kosong.Sierra mengetuk layar ponselnya dengan cepat. “Aku akan mencoba mematikan lampu lalu lintas di jalur utama, bikin kekacauan, mungkin mereka kehilangan jejak kita.”Aku menggigit bibirku, merasa sedikit lega karena Sierra selalu punya cara untuk membuat segalanya lebih kacau bagi musuh.Tapi harapa
Aku tidak bisa tidur malam itu. Pikiranku berputar-putar memikirkan semua yang baru saja terungkap. Om Martin… orang yang selama ini kuanggap sebagai pelindung ternyata menyembunyikan sesuatu dariku.Aku duduk di balkon kamar hotel tempat kami menginap. Kota di bawah sana masih hidup dengan cahaya lampu dan suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Tapi bagiku, semuanya terasa hening.“Aku tahu kau tidak akan bisa tidur.”Aku menoleh. Reynand berdiri di ambang pintu, bersandar dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Cahaya dari kamar menerangi wajahnya yang penuh perhatian.Aku memaksakan senyum. “Bagaimana aku bisa tidur setelah semua ini?”Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. Angin malam menyentuh wajahku, tapi kehadirannya membuatku merasa sedikit lebih hangat.“Kau masih ragu?” tanyanya pelan.Aku menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin semua ini tidak nyata. Aku ingin percaya kalau Om Martin benar-benar menyayangiku… bukan karena ada sesuatu yang dise
Aku masih berdiri terpaku, memandangi Sierra dengan mata membelalak.“Saudara kembar?” suaraku nyaris berbisik.Sierra mengangguk pelan, ekspresinya tenang, seolah dia sudah siap menghadapi reaksiku. “Ya, Laura. Aku adalah saudaramu. Dan sudah waktunya kau mengetahui semuanya.”Aku berusaha memproses kata-katanya, tapi rasanya seperti otakku menolak untuk menerimanya. Ini tidak masuk akal. Jika aku punya saudara kembar, mengapa aku tidak pernah tahu?Reynand tampak tidak percaya. “Aku tidak pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya. Dan aku sudah menyelidiki latar belakang Laura cukup lama.”Sierra tersenyum kecil. “Karena ini adalah rahasia yang dijaga ketat oleh orang-orang yang ingin mengendalikan hidupnya.”Aku menggelengkan kepala, mencoba mencari kepastian. “Bagaimana… bagaimana aku bisa mempercayaimu?”Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu lagi—sebuah foto lama yang sudah agak pudar. Dia menyerahkannya padaku dengan pelan.Tanganku gemetar saat aku menerimanya.Itu ada
Pertarungan masih berlangsung sengit. Ruangan penuh dengan suara tembakan, dentingan besi bertemu, dan jeritan kesakitan. Aku menekan kain ke luka Selena, mencoba menghentikan pendarahannya.“Apa kau bisa bertahan?” tanyaku.Dia mengangguk lemah. “Aku tidak mau mati di sini…”Aku menoleh, mencari Reynand dan yang lainnya. Liam dan Tristan bertarung berdampingan, masing-masing melumpuhkan lawan dengan cepat dan efisien. Reynand berada di sudut ruangan, menahan seseorang dengan tangan kosong, wajahnya penuh amarah.Tiba-tiba, sesuatu bergerak di pinggir penglihatanku.Seseorang sedang berusaha kabur.Dan aku mengenali siluet itu.Adrian.Darahku mendidih. Setelah semua yang terjadi, dia masih berusaha melarikan diri? Tidak akan!Aku berlari, menerobos medan pertempuran, mengabaikan teriakan Reynand di belakangku. “Jangan gegabah, Laura!”Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.Aku mengikuti Adrian ke lorong gelap, napasku memburu. Aku bisa mendengar langkah kakinya di depan, cepat dan te
Malam semakin larut, tapi ketegangan di dalam rumah ini terasa begitu pekat. Kami semua bersiap menghadapi serangan yang akan datang, tapi ada sesuatu yang terasa… aneh.Aku berdiri di dekat Reynand, sementara ayah, Tristan, dan Selena sibuk berdiskusi tentang strategi. Aku bisa melihat wajah-wajah mereka yang serius, penuh kewaspadaan. Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.“Laura, kau baik-baik saja?” Reynand berbisik di sampingku.Aku menoleh dan mengangguk. “Aku hanya merasa ada sesuatu yang janggal.”Reynand menatapku dalam, lalu menoleh ke arah ayah dan yang lainnya. Sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu belakang. Semua orang langsung menegang.“Siapa itu?” bisik Selena.Tristan memberi isyarat agar kami tetap diam. Dengan gerakan hati-hati, dia berjalan menuju pintu belakang, mengintip melalui celah kecil di jendela.Lalu, sebelum kami bisa bereaksi…BRAK!Pintu itu didobrak dari luar, dan dala
Aku masih terpaku, jantungku berdetak kencang saat menatap pria yang berdiri di hadapanku. Ayah. Aku tak pernah menyangka akan melihatnya lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.Reynand masih menggenggam tanganku erat, seolah takut aku akan runtuh sewaktu-waktu. Aku bisa merasakan ketegangannya, begitu juga dengan Tristan, Arya, dan Selena yang menatap ayahku dengan waspada.“Apa maksudmu aku dalam bahaya?” suaraku nyaris bergetar.Ayah menghela napas panjang, lalu menatap sekeliling. “Ini bukan tempat yang aman untuk membicarakannya. Kita harus pergi.”Aku ragu. Bertahun-tahun aku hidup tanpa kehadiran ayah, dan sekarang dia datang begitu saja, menyuruhku mengikutinya?Selena tampak tidak percaya. “Tunggu dulu, bagaimana kami bisa yakin bahwa kau bisa dipercaya?”Ayah menatapnya tajam. “Aku adalah satu-satunya alasan kalian masih hidup sekarang.”Selena membuka mulut, tapi tidak ada yang keluar. Dia jelas tidak menyukai sikap ayahku, tapi dia juga tidak bisa menyangkal bahwa polisi
Aku masih memeluk Reynand erat, merasakan kehangatan tubuhnya yang meski lemah, tetap memberi ketenangan. Tapi aku sadar, ini belum selesai.Selena menendang pistol Adrian menjauh, memastikan dia tidak bisa bergerak lagi. Tristan dan Arya juga berjaga-jaga, tapi ekspresi mereka masih penuh kewaspadaan.“Apa kita harus menunggu polisi?” Arya berbisik.Selena menggeleng. “Tidak. Kita harus pergi sekarang.”Aku menatapnya dengan bingung. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika Adrian ditangkap?”Selena menghela napas. “Kalau kita menunggu polisi, kita bisa terjebak dalam permainan ini lebih lama. Adrian punya banyak orang di luar sana, dan aku tidak yakin mereka tidak akan mencoba menyelamatkannya sebelum polisi datang.”Aku menggigit bibir. Itu masuk akal.Reynand menatapku dengan mata setengah terbuka. “Kita harus pergi, Laura.”Aku tidak ingin meninggalkannya di sini. Tapi aku juga tahu, kami harus bertahan.Akhirnya, aku mengangguk. “Baiklah. Kita keluar dari sini.”Tristan dan Arya memban