"Selamat siang. Mau pesan apa? Silahkan," ucap Natasha ramah. Sambil membungkuk ia meletakkan dua buku menu di depan kedua insan itu. Dan saat ia menegakkan badannya lagi. Tiba-tiba matanya pun terbelalak. Menatap kedua sosok yang tak asing lagi di matanya.
"Mas Zul?" ujar Natasha setengah tidak percaya.
"Natasha," gumam Zul dengan ekspresi yang sama.
"Jadi benarkan kamu ada main dengan perempuan ini," kata Natasha dengan nada yang bergetar. Sambil menunjuk ke arah perempuan di samping suaminya itu.
"Eh, nggak usah tunjuk-tunjuk ya," sahut wanita tadi sambil menepis tangan Natasha yang sedang menunjuk ke arahnya. Ia pun segera beranjak dari duduknya dengan cukup keras. Makanya kursi yang baru didudukinya sampai mundur beberapa sentimeter. "Loe itu siapa? Loe cuma mantan istri Mas Zul yang udah ditendang jauh-jauh tau nggak. Karena cinta Mas Zul sekarang udah buat aku doang," tambah wanita itu dengan gaya sombongnya. Bahkan, dengan sengaja ia memamerkan cincin pernikahan mereka yang berada di jari manisnya.
"Apa?! Kalian sudah menikah? Kapan? Kapan, Mas? Apa setelah kita cerai kamu langsung menikahi perempuan ini?!" tanya Natasha dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi. Zul pun tak menjawab. Ia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Mas. Ayo, jawab!!" kata Natasha dengam nada yang meninggi. Sampai-sampai suaranya itu menarik perhatian para tamu yang lain.
"Iya, Nat. Dua hari setelah kita resmi pisah. Aku sama Karina menikah," jawab Mas Zul lirih. Nyaris tak terdengar. Namun, bagi Natasha pengakuan itu bak sambaran petir di siang bolong. Sungguh, ia tidak menyangka jika lelaki yang dulu sangat dicintainya bisa dengan gampang melupakan cinta Natasha begitu saja. "Nat, Maaf. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Kalau aku mencintai Karina, Nat. Maaf."
"Cukup, Mas. Kalau memang kamu ingin menyingkirkan aku di hidupmu. Kenapa Karen ikut kamu fitnah, Mas? Dia salah apa?" tanya Natasha dengan berderaian air mata.
"Dia memang tidak salah apa-apa. Tapi, gue nggak suka sama anak penyakitan itu. Bikin repot tau nggak," balas Karina dengan nada sewotnya.
Karen memang menderita penyakit lemah jantung sejak lahir. Makanya, kadang penyakitnya itu kambuh tiba-tiba. Jika Karen kaget akan sesuatu hal. Natasha pun belum menceritakan perpisahannya pada gadis kecil itu sampai sekarang. Selain Karen masoh kecil, Natasha juga takut penyakit Karen akan kambuh lagi.
"Kenapa kita pergi dari rumah Ayah, Bunda?" tanya Karen saat ia dan Natasha pergi dari rumah itu. Dengan sedikit terpaksa, Natasha pun menarik kedua ujung bibirnya bersamaan.
"Sayang, kita harus mengungsi yang jauh dari rumah ini. Sebab, rumah ini akan terjadi bencana besar," jawab Natasha dengan suara yang bergetar. Seakan tak kuat mengatakannya pada sang putri tercinta.
"Terus ayah kok nggak diajak sih, Bun? Kan kasihan ayah sendirian."
"Ayah kan kepala rumah tangga. Jadi, ayah harus bisa bertahan di rumah itu. Kita yang harus menyelamatkan diri. Kamu nggak papa kan hidup berdua dengan Bunda?"
"Mau dong Bunda. Karen kan sayaaaang sekali sama Bunda," balas putri kecil Natasha itu sambil memeluk sang Bunda.
"Bunda juga sayang sama kamu, Nak," sahut Natasha sambil membalas pelukan putrinya. Begitu sepenggal memori yang terlintas di benak Natasha.
"Bikin repot?!! Terus kenapa loe rebut suami gue. Kalau loe nggak bisa terima anak suami gue?!!" bentak Natasha mulai memanas hatinya.
"Ada apa ini? Ada apa ini?" tanya Pak Haji Mahmud sambil berjalan tergopoh-gopoh ke arah sumber keributan di dalam restorannya.
"Pecat dia sekarang juga, Pak," kata Karina sambil menunjuk tepat di depan wajah Natasha. "Atau saya tidak mau lagi makan di restoran ini," ancamnya. Pak Haji Mahmud pun menatap Natasha yang sudah beruraian ait mata sekilas.
"Ehm…. Tunggu-tunggu. Memangnya apa yang sudah dilakukan pegawai saya? Sehingga membuat Mbak tidak nyaman makan di tempat ini?" tanya Pak Haji Mahmud sambil sesekali melirik Natasha yang masih menundukkan kepalanya takut-takut.
"Heh." Karina pun tersenyum meremehkan. "Karena dia sudah membuat mood makan saya jadi hilang. Padahal, makanan disini enak-enak. Tapi kalau pelayannya model beginian. Siapapun jadi malas makan kesini lagi," ujarnya menghina. Sedangkan Zul pun hanya terdiam. Seakan dia tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di depannya.
Natasha pun kembali menundukkan kepalanya saat matanya tak sengaja beradu dengan tatapan Pak Haji Mahmud yang terlihat merah. 'Sepertinya Pak Haji Mahmud marah deh sama gue. Sebab, gue yakin belum pernah ada pegawainya yang bikin ribut kaya gini disini. Apalagi, di hari pertama mereka kerja. Duh, udah pasti gue bakal segera dipecat,' batin Natasha pesimis.
"Ehms…. Maaf sebelumnya, Mbak. Jika pegawai saya ini sudah membuat Mbak tidak nyaman. Tapi, sebenarnya apapun masalah kalian. Selesaikanlah dengan cara baik-baik. Jangan seperti ini. Untuk pegawai saya. Itu sudah menjadi urusan saya. Dan, kalau urusan dipecat. Saya akan…." Ucapan Pak Haji Mahmud pun terhenti. Lagi-lagi ia melirik wajah Natasha yang semakin menunduk. Menutupi matanya yang sudah mengalir dengan derasnya. Mengingat semua ketidakadilan dunia ini yang selalu saja tidak berpihak kepadanya. Di seberang meja Karina pun tersenyum penuh kemenangan. Karena untuk kesekian kalinya ia bisa menginjak-injak wanita yang sudah berhasil ia rebut suaminya itu.
"Saya akan memilih mempertahankan dia menjadi pegawai disini," lanjut Pak Haji Mahmud yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya tidak percaya. Sedang Karina malah membuka mulutnya lebar-lebar.
"Apa?! Kenapa anda lebih memilih wanita tidak becus ini ketimbang saya yang bisa menjadi pelanggan setia restoran anda?!" cerca Karina tidak terima. Pak Haji Mahmud pun tersenyum sekilas.
"Seperti yang anda katakan tadi. Jika makanan kami memang enak. Sudah pasti banyak pelanggan yang datang dan bersedia menjadi pelanggan setia. Apalagi, saya kira cara kerja Natasha benar-benar bagus. Jadi, untuk apa saya memecat dia hanya untuk satu pelanggan seperti anda," jelas Pak Haji Mahmud jujur.
"Huh. Awas ya kalian. Saya bisa bikin restoran ini sepi. Bahkan nggak ada yang beli," cerocos Karina sambil menyambar tas tangannya yang ia letakkan di atas meja. "Yuk, sayang! Kita cari restoran yang jauh lebih baik dan lebih mahal." Tak lupa Karina pun menarik Zul yang sedari tadi hanya jadi tembok penonton. Agar segera keluar dari restoran itu. Zul pun hanya menurut, bak kerbau yang dicucuk hidungnya.
Setelah keduanya pergi. Natasha pun bisa bernafas lega. Akhirnya ia tidak jadi dipecat. Dan ini berkat Pak Haji Mahmud yang sangat baik padanya.
"Bos Haji. Makasih ya tidak jadi memecat saya. Jujur, saya membutuhkan uang biaya hidup dengan anak saya," ucap Natasha dengan penuh rasa bersyukur.
"Iya, tidak apa-apa. Kamu jangan khawatir ya. Ayo lanjutkan kerjaanmu," titah sang atasan Natasha.
"Baik, Bos Haji."
Hari pun telah berganti. Minggu pun telah berlalu. Tak terasa Natasha sudah dua bulan bekerja di restoran itu. Ia pun bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Sebab, Natasha tidak mau mengecewakan Pak Haji Boim dan Bosnya, Pak Haji Mahmud. Makanya, Natasha selalu bekerja dengan sepenuh hatinya. Apalagi hari ini, hari yang sudah ditunggu oleh Natasha dan semua karyawan di restoran Leckeres Essen sejak satu bulan yang lalu. Jadi, semua karyawan bekerja dengan lebih giat dan semangat.Begitu pula dengan Natasha. Dengan berjalan tegak ia membawa nampan berisi dua porsi Apfelstrudel
"Pasti Karen bakalan seneng banget nih. Aku bawain kue ini pulang," gumam Natasha sambil mengangkat bungkusan tadi sampai ke depan wajahnya. Lalu Natasha pun melanjutkan jalannya dengan lebih semangat. Tak sabar melihat gadis kecilnya itu tersenyum bahagia. Karena ia sudah membawakan kue kesukaannya. Namun, seketika langkah Natasha melambat. Keningnya pun berkerut sempurna. Ketika matanya menatap pintu kosannya yang sudah terbuka lebar dan dipenuhi banyak orang."Karen?!!" teriak Natasha sambil melepaskan bungkusan yang ditenteng di tangannya. Ia pun segera berlari sekencang yang ia bisa. Lalu seperti orang yang tidak sadarkan diri. Ia menerobos orang-orang di depan pintu rumahnya begitu saja. "Karen?!!!" teriak Natasha saat memandangi tubuh kecil Karen yang terlihat kejang-kejang. Natasha pun langsung berlari mendekati tubuh k
Tok. Tok. Tok. Tok. Tok. Tok."Siapa sih? Hujan-hujan gini bikin ribut," ujar seseorang sambil membukakan pintu kayu itu. Hingga saat pintu terbuka lebar. Mata keduanya pun membulat sempurna."Elo?!!!" ucap keduanya bersamaan."Ngapain elo disini?" tanya Karina dengan nada penuh curiga. Sambil memandangi dengan sinis wajah Natasha yang basah kuyup oleh air hujan."Gue nggak ada urusan sama elo. Gue mau ketemu sama Mas Zul," jawab Natasha sambil berusaha menerobos masuk ke dalam rumah itu. Namun, belum sempat ia berhasil masuk tangan kanannya sudah dicengkram K
Natasha terus berlari sambil menyesali rasa cintanya yang pernah tercurah hanya untuk lelaki brengsek itu. Natasha berlari, berlari dan terus berlari. Tanpa memperhatikan jalan sekitar yang sudah memasuki kawasan jalanan besar. Hingga beberapa menit kemudian terdengar suara klakson cukup dekat dan keras.Tiiiiiinnnn…. Lalu disusul dengan sebuah teriakan."Aaaarrgg…."Brak!!!! Mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan Natasha pun langsung menabrak pohon. Setelah menghindari Natasha yang tiba-tiba muncul di antara derasnya hujan. Melihat kejadian mengenaskan itu. Tanpa membuang waktu Natasha segera berlari mendekat.
Natasha sudah kembali bekerja seperti biasa. Ia pun bingung harus mencari uang dimana untuk membayar biaya rumah sakit Karen yang tidak sedikit itu. Belum lagi biaya untuk pindah rumah sakit. Sungguh, kepala Natasha terasa mau pecah saat mengingatnya saja.Sempat terlintas di benak Natasha untuk kembali ke kantor Growber. Lalu menyerahkan diri untuk diapa-apakan Pak Raymond. Dengan catatan Pak Raymond akan membayar semua biaya rumah sakit Karen berikut ongkos untuk pindah ke rumah sakit Jantung Kita. Namun, belum sampai berangkat. Rasa ketakutannya pun meningkat teringat kejadian malam itu. Badannya saja terasa gemetar saat hendak ia langkahkan ke tempat itu.Makanya, yang bisa Natasha lakukan saat ini adalah datang ke restora
Seperti yang dijanjikan Shelin. Setelah ia makan di restoran tempat Natasha bekerja. Natasha pun meminta izin pada Pak Haji Mahmud untuk pulang lebih awal. Dan mendengar penjelasan Natasha, dengan senang hati Pak Haji Mahmud mengabulkan permintaannya."Iya, Mbak Natasha. Selesaikan dulu urusan anakmu. Semoga dia cepat sembuh," pesan Pak Mahmud saat Natasha meminta izin tadi."Iya, Nat. Kami disini juga akan selalu mendoakan kesembuhan anakmu. Semoga cepat sembuh ya," ujar Kayla dengan senyum manisnya."Iya, Kay. Makasih ya. Aku pergi dulu," balas Natasha kemudian berlalu bersama Shelin.
Natasha dan Shelin pun berjalan beriringan menuju kamar rawat Karen. Langkah mereka pun terlihat cepat bahkan seakan terburu-buru. Sebab, Natasha sudah tidak sabar lagi membawa Karen ke rumah sakit yang lebih memadai.Setelah beberapa kali melewati anak tangga dan berputar-putar di koridor rumah sakit. Akhirnya Natasha dan Shelin sampai di bangsal khusus penyakit jantung. Baru saja melewati pintu utama ruangan itu. Mata Natasha pun menangkap kejanggalan di salah satu ruangan."Karen?!" pekik Natasha lalu ia segera berlari ke arah ruangan tadi. Ia pun segera mendekati pintu ruang rawat Karen yang tengah terbuka lebar-lebar. Belum sempat sampai di depan pintu, terlihat beberapa orang Suster tengah mendorong tempat tidur pasien yan
Chit!!!! Motor Jo pun berhenti tepat di tempat yang tadi sudah diberitahu Soni. Melihat Jo datang Soni yang sedari tadi hanya mampu bersembunyi di balik pohon langsung berjalan mendekat."Wah! Pahlawan kesiangan dateng nih," sindir salah satu dari segerombolan anak seusia Jo yang sedang memukuli Rafael di tengah jalan."Lepasin dia!" titah Jo dengan menunjukkan tampang sangarnya. Namun, bukannya takut cowok tadi malah tersenyum sambil memalingkan wajahnya."Kalau loe nggak tau apa-apa. Mending loe nggak usah ikut campur," balasnya dengan nada penuh penekanan. Jo pun melempar senyuman khasnya.
Pagi itu Natasha masuk ke dalam ruang makan untuk mengambil jatah makanannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti saat melihat Jo tengah melahap sarapannya dengan begitu nikmat. Natasha yang teringat akan kejadian semalam jadi merasa canggung. Makanya ia memilih memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu."Natasha," panggil Jo yang sudah melihat wanita itu duluan sebelum badannya berhasil pergi. Natasha pun tak punya pilihan lain selain menoleh."Ada apa?" tanya Natasha dengan suara bergetar."Bukannya loe selalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kenapa loe malah pergi?" sindir Jo."Ehms…. Gue… gue cuma mau liat Eriko. Kayaknya dia udah jemput gue di luar. Jadi, gue mau langsung be
"Heh. Gue nggak mau! Kalau dia udah nggak kuat punya murid kayak gue. Ngundurin diri aja. Gampang kan?" Jo kembali berjalan ke arah yang sama. Dan pada detik itu pula, Natasha kembali menarik kerah baju Jo dengan cukup kuat. Saking kesalnya.Jo pun melangkah mundur beberapa langkah. Dan tanpa disadari kakinya sudah melewati batas kolam renang. Sedetik kemudian….Byur!!! Tak bisa dielakkan lagi. Jo pun terjatuh ke dalam kolam renang itu."To… tolong!!! Tolong!!! Gue nggak bisa berenang!!" teriak Jo sambil berusaha mengangkat kepalanya ke permukaan air."Heh. Loe pikir gue bodoh. Loe punya kolam renang, tapi nggak bisa berenang. Ck. Ck. Ck. Kali ini loe bener-bener pinter ngeles." Natasha membalikkan badannya lalu berniat pergi. Tetapi, langk
Pulang dari sekolah Natasha tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk menjenguk Karen di rumah sakit khusus jantung yang baru beberapa minggu ini merawat Karen. Natasha merasa senang melihat kondisi Karen yang jauh lebih baik dari pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu."Gimana enak?" tanya Natasha saat melihat sang anak memakan sate lontong Madura yang dibawanya. Karen langsung mengangguk mantap."Enak banget Bunda. Karen suka," balasnya dengan mulut penuh. Senyum Natasha semakin mengembang. Tangan kanannyanya terulur untuk mengacak rambut putri semata wayangnya itu."Kalau lagi makan, jangan sambil ngomong ya sayang. Nanti kamu tersedak." Natasha mengingatkan dengan pelan. Karen pun segera mengunyah lalu menelannya dengan cepat.
Jo berdiri tegap di tengah-tengah lapangan basket. Kedua tangannya melipat di depan dadanya yang bidang dan terlihat kokoh. Wajahnya yang putih bersih dan berkharisma, menunjukkan raut wajah siap mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan mata elangnya, menatap lurus sosok wanita berbusana formal dengan blazer dan celana katun yang berwarna sama dengan guru-guru di sekolahan ini.Di seberang sana Natasha berdiri dengan raut wajah tak kalah serius. Matanya yang bening menatap Jo dari balik kacamata tebal. Sementara kedua tangannya juga terlipat di depan dada."Bu. Bu Natasha yakin, beneran bisa main basket?" tanya Bu Elena tepat di depan telinga Natasha. Wanita yang terlihat anggun dengan rambutnya yang digelung itu pun menoleh."Bu Elena nggak usah khawatir. Saya sudah berlatih cukup keras," balas Natasha sambil men
Pagi ini Jo mengemas dirinya dengan begitu rapi. Entah mengapa ia ingin sekali tampil maksimal di pertandingannya dengan Natasha nanti. Saat sedang menyisir rambutnya sambil bersiul-siul riang. Tiba-tiba di benaknya terlintas sesuatu."Ehms…. Apa nanti gue pura-pura kalah aja ya sama Natasha?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan sisir ke dagunya yang terbelah. Senyumnya pun mengembang saat ia teringat kejadian semalam.Tin…. Tin….Senyuman Jo pun menghilang saat mendengar sebuah klakson mobil berada tak jauh dari rumahnya. Segera Jo pun mendekati jendela. Disibaknya tirai yang masih menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Mobil siapa itu?" tanya Jo pada dirinya sendiri. Matanya pun me
Tepat pukul sebelas malam Natasha baru saja sampai di rumah Jo. Badannya terasa sangat letih sekali. Sampai-sampai jalannya pun sempoyongan tak tentu arah. Untung saja ia membawa kunci sendiri. Jadi, dia bisa pulang sewaktu-waktu. Krek! Krek! Krek! Natasha memutar kunci itu di dalam lubangnya. Hingga tak butuh waktu lama pintu pun langsung terbuka lebar dan menampakkan kegelapan ruangan karena semua lampu sudah dimatikan.Sejenak Natasha menahan langkahnya. Tiba-tiba saja rasa takut menggelayuti wanita berparas cantik itu. Bahkan, bulu kuduknya berdiri seketika. Dan reflek tangan kanannya pun mengusap tengkuknya begitu saja. 'Aduh. Kok gelap banget ya,' batinnya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan. Huft. Ia pun menghembuskan nafas beratnya."Nggak ada papa, Natasha. Jangan takut! Nggak punya uang itu hal yang lebih
"Huhuhu…. Gimana dong Shel kalau gue kalah. Huhuhu…. Gue bakal kehilangan gaji dan jaminan pengobatan Karen. Huhuhu…." Natasha pun menangis sesenggukan sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja restoran yang sedang didatanginya untuk menemui Shelin."Ck. Elo juga sih, Nat. Udah tau kalau loe nggak bisa main basket. Kenapa langsung iyain aja permintaan aneh tuh anak songong," cibir Shelin yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya."Terus gue harus gimana dong?" tanyanya nelangsa. Sambil menunjukkan tampangnya yang amburadul.Huft. Shelin pun menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia meraih pundak Natasha agar masuk ke dalam pelukan."Loe juga sih. Kenapa sih nggak bilang aja sama gue. Kala
"Aaarghh…," teriak Natasha. Para siswi pun berteriak histeris. Sedangkan hampir semua Guru menutup matanya dengan takut. Hanya ada satu orang yang berani berlari. Lalu segera menangkap tubuh Natasha sebelum terjatuh ke lantai. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Guru itu dengan suara bass-nya yang sangat khas. Merasa badannya tidak jadi jatuh ke atas tatanan paving yang keras. Natasha pun perlahan membuka matanya satu per satu. Matanya pun langsung terpaku menatap sosok laki-laki berwajah tampan dengan hiasan alis tebal, hidung mancung, lesung pipi, rahang tegas serta jambang halus yang membuatnya semakin terlihat maskulin. "Kamu tidak apa-apa?" ulang lelaki itu yang lang
Hari ini Jo berniat bolos sekolah. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temannya melihat Natasha tidak jadi mengundurkan diri. Ditambah lagi, sekarang dia juga menjadi pengasuhnya di rumah."Huh. Ini semua gara-gara bokap sialan itu," gerutunya lalu menggebrak setir mobilnya sendiri. Ia yang sedang berada di pertigaan menuju SMA Bunga Bangsa pun memutuskan berhenti di pinggir jalan. Bisikan setan pun mengajaknya bolos sekolah daripada harus menanggung malu pada semua anak-anak di sekolah. 'Tapi, sampai kapan gue mau lari dari kenyataan ini. Besok-besok juga tuh Guru nggak akan pergi dari hidup gue. Jadi, walaupun gue bolos hari ini. Besok gue tetap jadi bahan tertawaan di sekolahan. Apa bedanya? Cuma menunda penderitaan yang tidak mungkin terlewatkan,' cibir Jo dalam hati.Huft. Jo pun menghembuskan nafas beratnya.