"Aaarghh…," teriak Natasha.
Para siswi pun berteriak histeris. Sedangkan hampir semua Guru menutup matanya dengan takut.
Hanya ada satu orang yang berani berlari. Lalu segera menangkap tubuh Natasha sebelum terjatuh ke lantai.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Guru itu dengan suara bass-nya yang sangat khas.
Merasa badannya tidak jadi jatuh ke atas tatanan paving yang keras. Natasha pun perlahan membuka matanya satu per satu. Matanya pun langsung terpaku menatap sosok laki-laki berwajah tampan dengan hiasan alis tebal, hidung mancung, lesung pipi, rahang tegas serta jambang halus yang membuatnya semakin terlihat maskulin.
"Kamu tidak apa-apa?" ulang lelaki itu yang langsung membuat Natasha tersadar.
"Oh, iya. Iya. Saya tidak apa-apa," balas Natasha sambil turun dari gendongan lelaki itu. "Terima kasih Pak…." Natasha menggantung kalimatnya. Karena ia memang belum mengetahui siapa nama lelaki itu.
"Eriko. Panggil saja saya Eriko. Saya Guru Olahraga di sekolahan ini," ucap lelaki sambil mengulurkan tangannya.
"Natasha. Nama saya Natasha. Guru BK baru di sekolah ini. Senang berkenalan dengan anda," balas Natasha cepat. Sambil menyambut tangan Eriko. Melihat hal itu Jo pun mendengus dengan sebal.
"Udah nggak asyik nih. Yuk! Kita balik aja ke kelas," ajak Jo pada teman-temannya. Sedang yang lain sudah mulai membubarkan diri dari tempat itu.
"Tunggu!" kata Natasha dengan tegas dan membuat Jo dan teman-temannya menghentikan langkah mereka. "Dua hal yang perlu saya luruskan disini," lanjut Natasha sambil berjalan mendekati anak-anak bandel itu. "Pertama, saya tidak butuh bantuan kalian dalam mendapatkan surat izin di sekolahan ini. Sebab, surat izin itu saya yang buat. Jadi, dimana pun saya berada. Saya tetap bisa mendapatkannya," ujar Natasha sambil berjalan mengelilingi mereka. "Dan yang kedua, asal kamu tau ya. Saya sampai sini tepat disaat bel berbunyi. Dan bel berbunyi tepat pukul enam lebih lima puluh delapan menit. Itu berarti, saya masih punya waktu dua menit lagi untuk dikatakan terlambat," tambahnya dengan berdiri tepat di depan Jo. Mata mereka pun saling menatap dengan tajam. "Jadi, bersiaplah mendapat hukuman yang setimpal," pungkas Natasha dengan nada penuh penekanan. Kemudian ia pun tersenyum penuh kemenangan sambil berjalan menjauh. Natasha terus saja berjalan. Sampai-sampai, ia pun tak lagi menghiraukan kakinya yang tidak memakai sepatu.
Di tempatnya berdiri Eriko menatap kepergian Natasha dengan kagum. Entah mengapa ia merasa tertarik dengan wanita tangguh itu meskipun mereka baru saja bertemu.
"Hei. Ngapain bengong? Sudah sana pergi ke lapangan," kata Jo dengan tidak sopan. Eriko pun tak membalas. Namun, kini ia berani melirik tajam Jo sambil melewatinya.
"Wah, Jo. Sepertinya Guru baru itu beneran bikin perubahan besar deh di sekolahan ini. Tapi, gue akui sih kalau dia memang keren. Cantik lagi," kata Bagas. Sambil senyam-senyum tak jelas.
"Iya. Siapa lagi yang berani menghukum Jo kalau bukan dia. Oh, iya. Ngomong-ngomong soal hukuman. Kira-kira kita mau dihukum apa ya? Jadi, serem deh gue bayangin wajah sangar ibu itu," timpal Soni.
"Hust…. Bisa nggak sih kalian diem. Bikin kepala gue tambah pusing tau nggak?!" bentak Jo sambil mengacak rambutnya sendiri. Kemudian ia pun berjalan mendahului kedua temannya.
"Eh, Jo. Tunggu!" teriak Soni sambil mengejar Jo. Bagas tak mau ketinggalan, ia segera menyusul kedua sahabatnya pergi.
Waktu pun terus berlalu. Bel istirahat pun akhirnya berbunyi juga. Sebagian besar anak-anak di kelas XI IPA 2 sudah berhamburan keluar. Ada yang ke kantin, ke perpustakaan, ke toilet ataupun menemui pacar di kelas sebelah. Namun, berbeda dengan Jo. Ia masih duduk dengan tenang di kursi kekuasaannya sambil meletakkan kepalanya di atas meja. Sementara tangannya sibuk menggambar abstrak seorang anak perempuan yang terlihat tengah berenang sambil mengulurkan tangannya ke depan.
"Tumben loe nggak buru-buru ke kantin?" sindir Bagas seraya mendekati meja sahabatnya.
"Gue lagi males," balas Jo tanpa mengalihkan perhatiannya. Matanya masih fokus menatap pulpen yang sedang menari-nari di atas lembar bukunya yang masih kosong.
Bagas pun melirik Sano yang ikutan mendekat. Mereka tau sikap Jo jadi begini karena memikirkan guru baru itu yang ternyata tak selemah yang ia kira, tapi mereka memilih diam daripada membuat mood Jo semakin buruk.
"Ya, udah. Kalau gitu kita ke kantin duluan ya. Loe mau dibawain makanan?" tawar Bagas dengan nada iba. Ia merasa kasihan juga pada Jo yang biasanya terlihat riang. Belum sempat menjawab tawaran Bagas, terdengar sebuah bunyi sirine yang terdengar semakin mendekat.
Jo pun segera mengangkat badannya karena penasaran. Dan tak butuh waktu lama, ia bisa menatap sosok Natasha masuk ke dalam ruang kelas itu.
"SELAMAT PAGI MENJELANG SIANG ANAK BANDEL," ujar Natasha lewat sebuah TOA.
Jo pun langsung membuang wajahnya ke samping. Sambil menggenggam erat pulpen tadi.
"GIMANA? SUDAH SIAP MENJALANKAN HUKUMAN?" tanya Natasha dengan seringainya yang membuat Jo semakin kesal.
"Ish. Sialan! Bener-bener pengen ngajak perang nih orang," gumam Jo.
"JONATHAN ALFAREZI. BAGASKARA SAPUTRA DAN SONI ADI WIJAYA. SILAHKAN TINGGALKAN KELAS DAN BERGEGAS MENUJU LAPANGAN SEKOLAH!" perintah Natasha. Tentu saja anak-anak yang lain sudah berkumpul di depan kelas itu. Karena mereka pun merasa sangat penasaran sekarang.
"Kita juga?" gumam Bagas.
"YA. TENTU SAJA KALIAN DIHUKUM. KALIAN KAN IKUT MENIKMATI LELUCON TADI," balas Natasha masih menggunakan TOA. "JADI CEPAT KELUAR ATAU SAYA TAMBAH HUKUMAN KALIAN MENJADI LEBIH BERAT LAGI."
"Aduh gimana nih, Jo?" rengek Soni.
"Udahlah. Mau tidak mau kita lakuin aja," sahut Bagas sambil berjalan mendahului Jo dan Soni. Namun, baru satu langkah Jo langsung meraih tangannya.
"Tunggu! Biar gue yang urus."
Jo beranjak dari duduknya. Lalu ia pun berjalan tegap mendekati Natasha ya berdiri di depan kelas.
"Apa yang loe mau dari gue?" tanya Jo mantap. Kakinya pun terus melangkah, melangkah dan melangkah. Sampai Natasha pun mundur beberapa kali untuk menghindarinya. Namun sayangnya, tembok berada tidak jauh di belakang Natasha. Sehingga, ia pun merasa terdesak. Mata elang Jo pun menatap tajam sosok Natasha. Seakan ingin mengurung tubuh Natasha bulat-bulat.
"Apa-apaan ini?" gumam Natasha. Lalu ia pun mengangkat TOA itu untuk menggertak Jo dengan suaranya yang lantang, tapi siapa sangka. Jo malah meraih pergelangan tangan kanan Natasha dengan cukup kuat. Sehingga TOA yang sedari tadi digenggamnya terlepas lalu terjatuh tak berdaya ke lantai. Tak hanya itu, Jo juga menarik tangan Natasha hingga sampai di atas kepala wanita itu dan menguncinya di tembok. Kemudian Jo menurunkan kepalanya hingga Natasha pun semakin memepetkan badannya ke tembok dengan mata yang tertutup rapat.
Tak hanya para siswa dan siswi yang syok melihat pemandangan itu. Sebagai wanita biasa. Apalagi, dia pernah merasakan hangatnya belaian lelaki. Tentu saja badan Natasha langsung bereaksi diperlakukan seperti itu. Dengarkan saja detak jantungnya yang berdebar-debar, darahnya yang berdesir hebat, serta nafasnya yang terasa semakin sesak. Pikirannya pun traveling kemana-mana.
"Apa yang elo mau dari gue?" ulang Jo dengan nada penuh penekanan. Matanya pun menatap lekat-lekat Natasha yang langsung membuka matanya lebar-lebar. Lalu membalas tatapannya yang terlihat teduh.
"Mak… maksud loe?" tanya Natasha tergagap.
"Kenapa loe terus gangguin hidup gue? Sebenarnya apa yang elo mau?" tanya Jo diperjelas. Wajahnya yang berada sangat dekat dengan Natasha pun dapat mencium aroma wangi dari tubuhnya. Dan yang membuat Jo sempat terpaku beberapa saat. Bibir Natasha yang terlihat ranum dengan warna merah menyala. Sungguh, terlihat sangat menggoda hasrat laki-lakinya. Dengan susah payah Jo menelan ludahnya sambil menahan keinginannya.
"Gue cuma pengen loe menjadi orang yang lebih baik, Jo," jawab Natasha tulus. Jo pun mendengus.
"Apa dengan melakukan semua yang loe mau gue bisa menjadi lebih baik?" tanya Jo dengan tatapan mengintimidasi.
"Iya," jawab Natasha mantap. Ia pun membalas tatapan Jo dengan pandangan menantang. Kedua insan itu pun terdiam sesaat. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Oke. Gue kasih loe satu tantangan. Kalau loe menang tanding basket sama gue. Gue bakal menuruti semua keinginan elo. Tapi, kalau gue yang menang. Loe yang harus segera enyah dari kehidupan gue. Gimana?" ujar Jo dengan seringai khasnya.
"Oke. Gue terima tantangan loe," timpal Natasha mantap.
"Huhuhu…. Gimana dong Shel kalau gue kalah. Huhuhu…. Gue bakal kehilangan gaji dan jaminan pengobatan Karen. Huhuhu…." Natasha pun menangis sesenggukan sambil menenggelamkan wajahnya di atas meja restoran yang sedang didatanginya untuk menemui Shelin."Ck. Elo juga sih, Nat. Udah tau kalau loe nggak bisa main basket. Kenapa langsung iyain aja permintaan aneh tuh anak songong," cibir Shelin yang langsung membuat Natasha mengangkat kepalanya."Terus gue harus gimana dong?" tanyanya nelangsa. Sambil menunjukkan tampangnya yang amburadul.Huft. Shelin pun menghembuskan nafas beratnya. Lalu ia meraih pundak Natasha agar masuk ke dalam pelukan."Loe juga sih. Kenapa sih nggak bilang aja sama gue. Kala
Tepat pukul sebelas malam Natasha baru saja sampai di rumah Jo. Badannya terasa sangat letih sekali. Sampai-sampai jalannya pun sempoyongan tak tentu arah. Untung saja ia membawa kunci sendiri. Jadi, dia bisa pulang sewaktu-waktu. Krek! Krek! Krek! Natasha memutar kunci itu di dalam lubangnya. Hingga tak butuh waktu lama pintu pun langsung terbuka lebar dan menampakkan kegelapan ruangan karena semua lampu sudah dimatikan.Sejenak Natasha menahan langkahnya. Tiba-tiba saja rasa takut menggelayuti wanita berparas cantik itu. Bahkan, bulu kuduknya berdiri seketika. Dan reflek tangan kanannya pun mengusap tengkuknya begitu saja. 'Aduh. Kok gelap banget ya,' batinnya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan. Huft. Ia pun menghembuskan nafas beratnya."Nggak ada papa, Natasha. Jangan takut! Nggak punya uang itu hal yang lebih
Pagi ini Jo mengemas dirinya dengan begitu rapi. Entah mengapa ia ingin sekali tampil maksimal di pertandingannya dengan Natasha nanti. Saat sedang menyisir rambutnya sambil bersiul-siul riang. Tiba-tiba di benaknya terlintas sesuatu."Ehms…. Apa nanti gue pura-pura kalah aja ya sama Natasha?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan sisir ke dagunya yang terbelah. Senyumnya pun mengembang saat ia teringat kejadian semalam.Tin…. Tin….Senyuman Jo pun menghilang saat mendengar sebuah klakson mobil berada tak jauh dari rumahnya. Segera Jo pun mendekati jendela. Disibaknya tirai yang masih menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Mobil siapa itu?" tanya Jo pada dirinya sendiri. Matanya pun me
Jo berdiri tegap di tengah-tengah lapangan basket. Kedua tangannya melipat di depan dadanya yang bidang dan terlihat kokoh. Wajahnya yang putih bersih dan berkharisma, menunjukkan raut wajah siap mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan mata elangnya, menatap lurus sosok wanita berbusana formal dengan blazer dan celana katun yang berwarna sama dengan guru-guru di sekolahan ini.Di seberang sana Natasha berdiri dengan raut wajah tak kalah serius. Matanya yang bening menatap Jo dari balik kacamata tebal. Sementara kedua tangannya juga terlipat di depan dada."Bu. Bu Natasha yakin, beneran bisa main basket?" tanya Bu Elena tepat di depan telinga Natasha. Wanita yang terlihat anggun dengan rambutnya yang digelung itu pun menoleh."Bu Elena nggak usah khawatir. Saya sudah berlatih cukup keras," balas Natasha sambil men
Pulang dari sekolah Natasha tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk menjenguk Karen di rumah sakit khusus jantung yang baru beberapa minggu ini merawat Karen. Natasha merasa senang melihat kondisi Karen yang jauh lebih baik dari pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu."Gimana enak?" tanya Natasha saat melihat sang anak memakan sate lontong Madura yang dibawanya. Karen langsung mengangguk mantap."Enak banget Bunda. Karen suka," balasnya dengan mulut penuh. Senyum Natasha semakin mengembang. Tangan kanannyanya terulur untuk mengacak rambut putri semata wayangnya itu."Kalau lagi makan, jangan sambil ngomong ya sayang. Nanti kamu tersedak." Natasha mengingatkan dengan pelan. Karen pun segera mengunyah lalu menelannya dengan cepat.
"Heh. Gue nggak mau! Kalau dia udah nggak kuat punya murid kayak gue. Ngundurin diri aja. Gampang kan?" Jo kembali berjalan ke arah yang sama. Dan pada detik itu pula, Natasha kembali menarik kerah baju Jo dengan cukup kuat. Saking kesalnya.Jo pun melangkah mundur beberapa langkah. Dan tanpa disadari kakinya sudah melewati batas kolam renang. Sedetik kemudian….Byur!!! Tak bisa dielakkan lagi. Jo pun terjatuh ke dalam kolam renang itu."To… tolong!!! Tolong!!! Gue nggak bisa berenang!!" teriak Jo sambil berusaha mengangkat kepalanya ke permukaan air."Heh. Loe pikir gue bodoh. Loe punya kolam renang, tapi nggak bisa berenang. Ck. Ck. Ck. Kali ini loe bener-bener pinter ngeles." Natasha membalikkan badannya lalu berniat pergi. Tetapi, langk
Pagi itu Natasha masuk ke dalam ruang makan untuk mengambil jatah makanannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti saat melihat Jo tengah melahap sarapannya dengan begitu nikmat. Natasha yang teringat akan kejadian semalam jadi merasa canggung. Makanya ia memilih memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu."Natasha," panggil Jo yang sudah melihat wanita itu duluan sebelum badannya berhasil pergi. Natasha pun tak punya pilihan lain selain menoleh."Ada apa?" tanya Natasha dengan suara bergetar."Bukannya loe selalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kenapa loe malah pergi?" sindir Jo."Ehms…. Gue… gue cuma mau liat Eriko. Kayaknya dia udah jemput gue di luar. Jadi, gue mau langsung be
Tap. Tap. Tap. Bunyi langkah mantap seorang wanita menapaki sebuah koridor hotel. Kakinya yang jenjang terlihat sempurna dengan high heel maroon yang terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Di badannya sebuah dress berwarna senada membalut sempurna tubuh rampingnya yang seperti gitar Spanyol. Walaupun tinggi wanita itu hanya seratus empat puluh sembilan. Namun, tak menyurutkan kecantikan yang terbentuk di wajahnya yang tampak seperti gadis belasan tahun itu.