“Ih, Uda curang. Pakai ngintip-ngintip segala,” untuk pertama kalinya terdengar rengek manja dari seorang Kintani pada sosok cowok. “Kalau nggak ngintip mana mungkin aku akan tahu benda yang paling kamu sukai, dan kebetulan kamu ultah aku memberikan kado itu buat kamu,” ulas Ridwan. “Hemmm, makasih ya Uda. Aku memang suka banget dengan boneka panda apalagi sebesar ini, tentu harganya mahal ya Uda?” Kintani tersenyum riang dan gemes memeluk boneka panda besar itu. “Lumayan mahal, akan tetapi aku kan belinya di toko yang pernah juga memakai jasaku di pasar jadi hanya membayar modalnya saja,” ujar Ridwan balas tersenyum, para tamu undangan kembali melanjutkan menikmati catering yang disajikan di ruangan terbuka itu. “Besok sore Uda ada waktu nggak?” tanya Kintani. “Memangnya ada apa? Kamu pengen ditemani belanja lagi di pasar?” “Nggak, aku hanya ingin ngajak Uda jalan aja. Kan besok malam minggu pasti di luar sangat ramai,” ujar Kintani sambil menaruh boneka panda kado ulang tahun
“Jika aku katakan, nanti kuatir kalau kamu akan marah. Tapi jika aku pendam saja hal itu akan membuatku selalu gelisah,” ujar Ridwan kembali layangkan pandangannya ke tengah lautan. “Katakan saja Uda jangan ragu, aku janji apapun itu nggak akan marah kok.” “Begini Kintani, akhir-akhir ini aku dibuat gelisah akan perasaan yang tiba-tiba hadir di hatiku. Aku sudah berusaha untuk menepis semua itu dengan menyadari hal itu tidak pantas aku ungkapkan padamu, tapi tetap saja aku dibuat serba salah,” Ridwan hentikan bicaranya, sementara Kintani makin penasaran menunggu kata-kata yang akan di ucapkan pria tampan yang duduk di sampingnya itu. “Perasaan? Maksud Uda apa? Aku benar-benar tak mengerti,” Kintani belum faham ke arah mana pembicaraan Ridwan itu. “Maafkan aku Kintani, kalau semua yang akan aku katakan ini sesuatu yang kurang ajar dan tak patut aku ucapkan sebagai pria yang hanya bekerja serabutan di pasar. Aku..Aku menyanyangimu Kintani,” ucap Ridwan terbata-bata dan badannya geme
“Nggak kenapa-kenapa sih, aku hanya heran aja kenapa kali ini kamu terima cowok bertamu ke kos-kosan. Dulu hanya Bang Ridwan yang kamu terima, apa benar dugaan Dila bahwa kamu juga memiliki perasaan pada Iptu Yoga itu?” ujar Eva ikut menduga. “Hemmm, Eva..Eva. Jangan ikut-ikutan Dila yang suka ngaco itu, kan kamu tahu sendiri aku sama Bang Yoga hanya berteman biasa saja,” Kintani geleng-geleng kepala karena Eva mulai ikut-ikutan menduga yang tidak-tidak antara dia dan Iptu Yoga. “Aku sih nggak masalah kalau memang di antara kalian nantinya muncul perasaan saling menyanyangi, karena memang hubunganmu dengan Bang Ridwan sudah tidak lagi berjalan seperti dulu semenjak pertunangan kalian dibatalkan,” seketika Kintani dibuat terdiam mendengar penuturan Eva itu. “Hubunganku dengan Uda Ridwan memang sudah tak ada kejelasannya hingga saat ini, tapi bukan berarti aku punya perasaan lain pada Bang Yoga selain persahabatan aja hingga aku terima dia bertamu ke kos-kosan ini,” tutur Kintani. “
“Oh, jadi ada yang memasak dan mencuci sendiri?” “Ya Bang, seperti aku dan Eva memilih memasak dan mencuci sendiri pakaian kami.” “Hemmm, berarti kalian berdua termasuk cewek-cewek yang rajin. Nggak tahu siap aja baik itu makanan maupun dari segi pakaian sehari-hari,” puji Iptu Yoga. “Kalau dari segi pakaian di loundry juga bersih dan rapi Bang, tapi kalau dari segi makanan kita memilih lebih baik memasak sendiri karena bisa gonta-ganti menu yang kita sukai. Kalau beli di rumah makan terkadang menu yang kita sukai nggak ada atau habis,” tutur Kintani. “Benar juga apa yang kamu katakan itu, Kintani. Aku sering ke rumah makan yang terdekat dari rumah dinas kehabisan menu yang aku sukai hingga aku musti mencarinya ke tempat lain yang jaraknya cukup jauh,” jelas Iptu Yoga. “Nah, itulah alasannya kenapa kami memilih untuk memasak sendiri di kos-kosan. Lagi pula di samping lebih hemat, kita dapat mengisi waktu luang yang ada dengan kegiatan yang cukup bermanfaat.” “Betul Kintani.” “B
“Ada apa Bang?” tanya Ridwan membuka obrolan mereka di teras rumah di lantai atas itu. “Dari tadi pagi aku lihat kamu berbeda dari hari-hari sebelumnya, kamu terlihat lebih semangat. Makanya aku mengajakmu ngobrol di teras ini karena merasa penasaran ingin mengetahui apa penyebabnya,” ujar Randi. “Hemmm, nggak ada apa-apa kok Bang,” Ridwan tersenyum berusaha menyembunyikan penyebab sikapnya yang terlihat lebih bersemangat itu. “Kamu mungkin bisa saja menyembunyikan semua itu pada orang lain tapi aku nggak bisa Ridwan, ayo bicaralah.” “Malam jum’at kemarin entah kenapa aku tiba-tiba kangen sama Kintani, hingga membawaku melamunkan semua yang telah terjadi di antara kami. Mulai awal bertemu, berkenalan dan menjalin hubungan asmara,” tutur Ridwan. “Oh, pantas saja kamu terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Lebih fress dan energik rupanya karena itu penyebabnya? He..he..he..!” Randi tertawa karena dia tahu persis hal itu dapat membangkitkan semangat dan gairah dalam menjalani
“Seperti yang aku katakan tadi ciri-ciri cewek yang mungkin memiliki perasaan kepada kita, diajak jalan dia tidak menolak begitu pula di telpon dan di chat melalui handphone dia selalu angkat dan balas. Apakah Kintani seperti itu juga terhadap kamu?” “Ya Rama, dia jarang menolak jika aku ajak jalan begitu juga selalu ngangkat dan balas bila aku telpon dan chat di handphone,” jawab Iptu Yoga. “Nah, apalagi yang kamu sangsikan. Sesegera mungkin kamu ungkapkan perasaanmu padanya, nggak mungkinlah dia yang duluan nyatakan rasa sayangnya ke kamu Yoga,” ujar Iptu Rama. “Bagaimana kalau dugaan itu salah dan Kintani tak menerima ungkapan perasaanku itu?” “Loh, kamu harus siap menerima segala konsekuensinya. Kalau di tolak kamu harus bisa berlapang dada,” jelas Iptu Rama. “Wah, berat juga resikonya ya? Aku sepertinya belum siap jika nanti perasaanku di tolaknya.” “Kalau begitu kamu harus bersabar dan musti benar-benar siap untuk segala kemungkinan yang terjadi, karena urusan cinta terkad
“Jadi besok kita nggak bisa jalan ya, Kintani?” tanya Iptu Yoga saat berada di halaman kos-kosan mengantar Kintani pulang. “Nggak Bang, soalnya besok aku ada perlu dengan Dila dan Eva. Nggak jelas dari jam berapa kami pergi dan jam berapa pulanya nanti kami kembali ke kos-kosan,” jawab Kintani. “Oh ya udah kalau gitu, kapan-kapan lagi aja kita jalan lagi.” “Iya Bang, aku turun ya. Hati-hati di jalan,” ujar Kintani turun dari mobil fortuner itu, lalu Iptu Yoga memutar mobilnya dan berlalu pergi dari halaman kos-kosan itu. Pagi itu cuaca Kota Padang terlihat cerah, sekitar jam 9 pagi Kintani dan kedua sahabatnya itu ke luar dari kos-kosan menuju pasar raya dengan menggunakan mobil jazz milik mahasiswi cantik itu. Lebih kurang 15 menit mereka pun tiba di tempat parkir kendaraan roda 4 di kawasan pasar raya itu, mereka pun turun dan langsung menuju toko bahan dasar pakaian yang berada di dalam los pasar raya tempat dulu Ridwan mengajak Kintani belanja bahan dasar untuk seragam kuliah
Atau mungkin karena dia tadi pagi membawa Dila ke toko dan tailor yang pernah Ridwan tunjukan kepadanya itu? Entahlah yang pasti saat ini muncul kembali kerinduan yang beberapa minggu belakangan ini dapat ia tepis. “Ya Allah, kenapa tiba-tiba saja bayangan Uda Ridwan hadir dan membuatku sulit untuk memejamkan mata? Apa yang terjadi dengannya di sana? Pada siapa aku musti bertanya tentang dia, sementara tak satupun orang yang aku kenali tinggal di Jakarta,” gumam Kintani dalam hati masih dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya memeluk bantal. “Uda, aku bukannya melupakanmu. Aku berusaha untuk tidak mengingat-ingat karena kuatir hari-hariku akan selalu di rundung kesedihan yang mendalam, sampai kapan pun rasanya aku takan bisa menghapus rasa sayang ini kepadamu. Meskipun kelak kita memang tak di takdirkan hidup bersama oleh yang kuasa,” kembali Kintani bergumam kali ini sembari menatap langit-langit kamarnya. Kintani kembali rebahkan tubuhnya dan berusaha untuk menenangkan hati, h
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu