“Jika aku katakan, nanti kuatir kalau kamu akan marah. Tapi jika aku pendam saja hal itu akan membuatku selalu gelisah,” ujar Ridwan kembali layangkan pandangannya ke tengah lautan. “Katakan saja Uda jangan ragu, aku janji apapun itu nggak akan marah kok.” “Begini Kintani, akhir-akhir ini aku dibuat gelisah akan perasaan yang tiba-tiba hadir di hatiku. Aku sudah berusaha untuk menepis semua itu dengan menyadari hal itu tidak pantas aku ungkapkan padamu, tapi tetap saja aku dibuat serba salah,” Ridwan hentikan bicaranya, sementara Kintani makin penasaran menunggu kata-kata yang akan di ucapkan pria tampan yang duduk di sampingnya itu. “Perasaan? Maksud Uda apa? Aku benar-benar tak mengerti,” Kintani belum faham ke arah mana pembicaraan Ridwan itu. “Maafkan aku Kintani, kalau semua yang akan aku katakan ini sesuatu yang kurang ajar dan tak patut aku ucapkan sebagai pria yang hanya bekerja serabutan di pasar. Aku..Aku menyanyangimu Kintani,” ucap Ridwan terbata-bata dan badannya geme
“Nggak kenapa-kenapa sih, aku hanya heran aja kenapa kali ini kamu terima cowok bertamu ke kos-kosan. Dulu hanya Bang Ridwan yang kamu terima, apa benar dugaan Dila bahwa kamu juga memiliki perasaan pada Iptu Yoga itu?” ujar Eva ikut menduga. “Hemmm, Eva..Eva. Jangan ikut-ikutan Dila yang suka ngaco itu, kan kamu tahu sendiri aku sama Bang Yoga hanya berteman biasa saja,” Kintani geleng-geleng kepala karena Eva mulai ikut-ikutan menduga yang tidak-tidak antara dia dan Iptu Yoga. “Aku sih nggak masalah kalau memang di antara kalian nantinya muncul perasaan saling menyanyangi, karena memang hubunganmu dengan Bang Ridwan sudah tidak lagi berjalan seperti dulu semenjak pertunangan kalian dibatalkan,” seketika Kintani dibuat terdiam mendengar penuturan Eva itu. “Hubunganku dengan Uda Ridwan memang sudah tak ada kejelasannya hingga saat ini, tapi bukan berarti aku punya perasaan lain pada Bang Yoga selain persahabatan aja hingga aku terima dia bertamu ke kos-kosan ini,” tutur Kintani. “
“Oh, jadi ada yang memasak dan mencuci sendiri?” “Ya Bang, seperti aku dan Eva memilih memasak dan mencuci sendiri pakaian kami.” “Hemmm, berarti kalian berdua termasuk cewek-cewek yang rajin. Nggak tahu siap aja baik itu makanan maupun dari segi pakaian sehari-hari,” puji Iptu Yoga. “Kalau dari segi pakaian di loundry juga bersih dan rapi Bang, tapi kalau dari segi makanan kita memilih lebih baik memasak sendiri karena bisa gonta-ganti menu yang kita sukai. Kalau beli di rumah makan terkadang menu yang kita sukai nggak ada atau habis,” tutur Kintani. “Benar juga apa yang kamu katakan itu, Kintani. Aku sering ke rumah makan yang terdekat dari rumah dinas kehabisan menu yang aku sukai hingga aku musti mencarinya ke tempat lain yang jaraknya cukup jauh,” jelas Iptu Yoga. “Nah, itulah alasannya kenapa kami memilih untuk memasak sendiri di kos-kosan. Lagi pula di samping lebih hemat, kita dapat mengisi waktu luang yang ada dengan kegiatan yang cukup bermanfaat.” “Betul Kintani.” “B
“Ada apa Bang?” tanya Ridwan membuka obrolan mereka di teras rumah di lantai atas itu. “Dari tadi pagi aku lihat kamu berbeda dari hari-hari sebelumnya, kamu terlihat lebih semangat. Makanya aku mengajakmu ngobrol di teras ini karena merasa penasaran ingin mengetahui apa penyebabnya,” ujar Randi. “Hemmm, nggak ada apa-apa kok Bang,” Ridwan tersenyum berusaha menyembunyikan penyebab sikapnya yang terlihat lebih bersemangat itu. “Kamu mungkin bisa saja menyembunyikan semua itu pada orang lain tapi aku nggak bisa Ridwan, ayo bicaralah.” “Malam jum’at kemarin entah kenapa aku tiba-tiba kangen sama Kintani, hingga membawaku melamunkan semua yang telah terjadi di antara kami. Mulai awal bertemu, berkenalan dan menjalin hubungan asmara,” tutur Ridwan. “Oh, pantas saja kamu terlihat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Lebih fress dan energik rupanya karena itu penyebabnya? He..he..he..!” Randi tertawa karena dia tahu persis hal itu dapat membangkitkan semangat dan gairah dalam menjalani
“Seperti yang aku katakan tadi ciri-ciri cewek yang mungkin memiliki perasaan kepada kita, diajak jalan dia tidak menolak begitu pula di telpon dan di chat melalui handphone dia selalu angkat dan balas. Apakah Kintani seperti itu juga terhadap kamu?” “Ya Rama, dia jarang menolak jika aku ajak jalan begitu juga selalu ngangkat dan balas bila aku telpon dan chat di handphone,” jawab Iptu Yoga. “Nah, apalagi yang kamu sangsikan. Sesegera mungkin kamu ungkapkan perasaanmu padanya, nggak mungkinlah dia yang duluan nyatakan rasa sayangnya ke kamu Yoga,” ujar Iptu Rama. “Bagaimana kalau dugaan itu salah dan Kintani tak menerima ungkapan perasaanku itu?” “Loh, kamu harus siap menerima segala konsekuensinya. Kalau di tolak kamu harus bisa berlapang dada,” jelas Iptu Rama. “Wah, berat juga resikonya ya? Aku sepertinya belum siap jika nanti perasaanku di tolaknya.” “Kalau begitu kamu harus bersabar dan musti benar-benar siap untuk segala kemungkinan yang terjadi, karena urusan cinta terkad
“Jadi besok kita nggak bisa jalan ya, Kintani?” tanya Iptu Yoga saat berada di halaman kos-kosan mengantar Kintani pulang. “Nggak Bang, soalnya besok aku ada perlu dengan Dila dan Eva. Nggak jelas dari jam berapa kami pergi dan jam berapa pulanya nanti kami kembali ke kos-kosan,” jawab Kintani. “Oh ya udah kalau gitu, kapan-kapan lagi aja kita jalan lagi.” “Iya Bang, aku turun ya. Hati-hati di jalan,” ujar Kintani turun dari mobil fortuner itu, lalu Iptu Yoga memutar mobilnya dan berlalu pergi dari halaman kos-kosan itu. Pagi itu cuaca Kota Padang terlihat cerah, sekitar jam 9 pagi Kintani dan kedua sahabatnya itu ke luar dari kos-kosan menuju pasar raya dengan menggunakan mobil jazz milik mahasiswi cantik itu. Lebih kurang 15 menit mereka pun tiba di tempat parkir kendaraan roda 4 di kawasan pasar raya itu, mereka pun turun dan langsung menuju toko bahan dasar pakaian yang berada di dalam los pasar raya tempat dulu Ridwan mengajak Kintani belanja bahan dasar untuk seragam kuliah
Atau mungkin karena dia tadi pagi membawa Dila ke toko dan tailor yang pernah Ridwan tunjukan kepadanya itu? Entahlah yang pasti saat ini muncul kembali kerinduan yang beberapa minggu belakangan ini dapat ia tepis. “Ya Allah, kenapa tiba-tiba saja bayangan Uda Ridwan hadir dan membuatku sulit untuk memejamkan mata? Apa yang terjadi dengannya di sana? Pada siapa aku musti bertanya tentang dia, sementara tak satupun orang yang aku kenali tinggal di Jakarta,” gumam Kintani dalam hati masih dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya memeluk bantal. “Uda, aku bukannya melupakanmu. Aku berusaha untuk tidak mengingat-ingat karena kuatir hari-hariku akan selalu di rundung kesedihan yang mendalam, sampai kapan pun rasanya aku takan bisa menghapus rasa sayang ini kepadamu. Meskipun kelak kita memang tak di takdirkan hidup bersama oleh yang kuasa,” kembali Kintani bergumam kali ini sembari menatap langit-langit kamarnya. Kintani kembali rebahkan tubuhnya dan berusaha untuk menenangkan hati, h
Pagi-pagi sekali Ridwan dan Randi telah bangun dan mempersiapkan barang-barang bawaan mereka berupa pakaian dan oleh-oleh yang kemarin sore mereka beli, setelah sarapan bersama Gita dan suaminya Ridwan dan Randi pun bersiap berangkat karena jemputan ke bandara telah tiba.“Om..! Om..Ridwan..!” panggil si kecil Nisa saat Ridwan dan Randi telah berada di halaman rumah hendak menuju pagar.“Eh..Nisa..!” Ridwan membalikan tubuhnya kemudian berjongkok menyambut si kecil yang berlari menghampirinya.“Om Ridwan jangan lama-lama ya di tempat Opa dan Oma..!” seru manja si kecil itu.“Iya, Om Ridwan dan Om Randi hanya 3 hari di sana. Om akan kembali lagi ke sini, oh ya nanti Nisa mau dibawain oleh-oleh apa dari Padang?” Ridwan menjelaskan sembari membelai-belai rambut Nisa yang saat itu berada di pelukannya.“Nggak tahu,” ujar Nisa menggelengkan kepalanya.“Oh ya udah, nanti Om pilihin aja ya oleh-olehnya. Sekarang Om pamit dulu pergi ke rumah Oma dan Opa, jangan nakal sama Mama dan Papa di rum