“Hemmm, apa sebaiknya aku minta tolong sama Uda Ridwan aja ya, buat nemani aku mencari bahan seragam kuliah itu?” pikir Kintani sambil meraih ponselnya. “Jangan ah, nggak enak. Karena dia pasti lagi sibuk kerja,” gumam Kintani yang merasa ragu untuk menelpon ataupun mengirim pesan pada Ridwan. Rasa ragu dan ingin sekedar menyapa seperti bertarung dalam hatinya, akhirnya rasa ragu itu kalah dan ia pun mencoba untuk menghubungi nomor Ridwan. “Hallo, assalamualaikum,” Ridwan mengangkat panggilan darinya. “Waalaikum salam, maaf ya Uda Ridwan kalau aku mengganggu,” ujar Kintani yang mulai merasa tak enak hati. “Nggak ganggu kok, ada apa Kintani?” “Uda lagi sibuk, ya?” Kintani balik bertanya. “Nggak sibuk-sibuk amat kok, nih baru aja selesai menata barang-barang di toko. Apa ada yang perlu dibantu?” “Kalau Uda ada waktu, boleh nggak temani aku di pasar itu mencari bahan untuk seragam kuliah sekalian nunjukin tempat menjahitnya?” “Boleh, sekarang juga bisa kok. Datanglah aku tunggu
“Berapa Kak untuk dua stel bahan dasar pakaian ini?” tanya Kintani sambil menjinjing bungkusan dua stel bahan dasar pakaian yang tadi dikemas rapi oleh Ria. “Hemmm, kamu cukup membayar modalnya aja,” jawab Ria diiringi senyumnya. “Loh, nggak bisa begitu dong Kak. Kak Ria kan berdagang jika dibayar modalnya aja, gimana Kak Ria akan dapatkan keuntungannya?” “Kan nanti aku masih bisa dapatkan keuntungan berdagang dari pelanggan lainnya, udahlah nggak usah kamu pikirkan itu. Teman Ridwan berarti temanku juga,” tutur Ria sambil menghitung berapa jumlah uang yang harus dibayar berupa modalnya saja untuk dua stel bahan dasar pakaian seragam kuliah Kintani itu. Kintani terpaksa membayar sejumlah uang yang Ria sebutkan, walaupun beberapa kali Kintani berusaha melebihkannya tetapi Ria tak pernah mau menerima. “Gimana Kintani, udah selesai belanjanya?” tanya Ridwan datang menghampiri. “Udah Uda, tapi Kak Ria hanya memintaku untuk membayar modalnya aja,” jawab Kintani merasa tidak enak. “O
“Ada Kintani, di ujung los pasar ini terdapat masjid. Tepatnya di seberang jalan tempat kamu memarkirkan mobil tadi,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang ia maksud. “Oh, ya udah kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Tuh, azan udah terdengar sekalian aku akan mengambil mukenah yang aku taruh di mobil,” ajak Kintani. “Ya baiklah, kami pamit dulu Tante,” ujar Ridwan. “Iya Ridwan, Kintani. Makasih udah berkunjung kemari,” ucap Winda. “Sama-sama, Tante. Assalamualaikum,” tutur Kintani dan Ridwan berbarengan. “Waalaikum salam,” Ridwan dan Kintani segera meninggalkan taylor itu menuju masjid yang berada di seberang jalan di ujung los pasar raya tak jauh dari tempat parkiran. Seusai sholat zhuhur berjama’ah, Ridwan dan Kintani kembali bertemu di halaman masjid itu. “Nah, karena Uda udah membantuku mencari bahan dasar pakaian dan menunjukan taylor untuk menjahit seragam kuliahku, sekarang aku akan traktir Uda Ridwan makan siang. Di mana tempat makan yang enak di sekitar pa
Kintani mengajak Ridwan duduk di salah satu deretan kursi-kursi yang berhadapan langsung dengan pantai Padang, di depan mereka juga tersedia berbagai macam minum botol di atas meja, akan tetapi karena Ridwan meminta pada pelayan cafe es kelapa muda, Kintani juga ikut memesan hal yang sama. “Di sinilah aku sering duduk bareng teman-teman jika pergi ke pantai ini,” Kintani mengawali percakapan mereka di tepi pantai itu. “Kalau aku lebih seringnya duduk di tumpukan batu-batu itu, akan tetapi sore menjelang tibanya waktu magrib. Kalau sekarang terik matahari masih panas,” tutur Ridwan sambil menunjuk ke arah tumpukan batu-batu besar yang sengaja dibuat menjorok ke pantai. “Emangnya seru ya duduk di tumpukan batu-batu itu?” “Seru Kintani, apalagi melihat panorama saat matahari akan tenggelam.” “Wah, aku juga mau melihat momen saat terbenamnya matahari itu Uda.” “Tapi bisa-bisa nanti kamu kembali ke kosnya udah malam selepas magrib,” ujar Ridwan. “Nggak apa-apa, Uda. Kita kan bisa sh
“Oh, tadi siang aku nelpon teman untuk aku ajak nemani cari bahan dasar seragam kuliah sekalian minta ditunjukin tempat menjahitnya di pasar raya,” tutur Kintani. “Teman? Emang siapa yang kamu ajak? Biasanya kalau nggak aku, kamu ngajak Eva,” ujar Dila. “Namanya Ridwan.” “Ridwan? Kok kamu nggak pernah cerita ke kita, kalau kamu punya teman cowok bernama Ridwan?” tanya Dila kembali. “Maaf, soalnya kami baru saja kenal minggu yang lalu saat itu ia menolongku menggantikan ban mobilku yang bocor di perjalanan, aku juga belum sempat ceritakan itu pada kalian” tutur Kintani. “Baik benar dia, jadi seharian tadi kamu ditemaninya membeli bahan dasar seragam kuliah dan mencari tailor di pasar raya itu?” kali ini Eva yang bertanya. “Iya Eva.” “Masa dari seharian hanya ditemani mencari bahan dasar seragam kuliah dan tailor aja?” Dila merasa tak percaya yang dituturkan Kintani itu. “Hemmm, cari bahan dasar seragam dan tailor itu hanya beberapa menit aja kok. Setelah itu kami jalan-jalan ke
“Oh, syukurlah kalau memang kamu udah tiba di kos-kosan. Aku hanya ingin memastikan itu aja, ya udah dilanjut deh ngobrol dengan teman-temannya,” tutur Ridwan. “Iya Uda, sekali lagi terima kasih ya udah bersedia nemeni aku tadi belanja dan jalan-jalan?” ucap Kintani. “Ya sama-sama, Kintani. Assalamualaikum,” “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponselnya. “Siapa Uda itu, Kintani?” Dila langsung saja bertanya karena sejak tadi tak kuasa menahan rasa penasarannya. “Mulai deh, kepo!” seru Eva diiringi tawa kecilnya. “Ridwan yang tadi nemani aku belanja dan jalan-jalan, dia hanya ingin memastikan aku udah sampai di kos-kosan atau belum,” jawab Kintani diiringi senyum manisnya. “Wah, perhatian banget. Cowokku Irfan nggak pernah sekalipun nanya begitu walaupun terkadang aku pulang ke kos-kosan nggak diantarnya melainkan dengan taksi ataupun gocar,” ujar Dila. “Masa sih kamu pernah nggak diantar Irfan pulang setelah diajaknya jalan?” “Sering banget, Kintani. Sama seperti
Seperti biasanya setiap tahun Kintani selalu mengadakan acara ulang tahunnya di kos-kosan dengan mengundang para sahabat serta seluruh penghuni kos-kosan itu tentunya, acara itu sendiri akan dilaksanakan di ruangan terbuka tempat biasa digunakan para penghuni kos-kosan itu menyambut tamu. Tepat hari itu hari jum’at di mana Kintani dan para mahasiswa lainnya pulang lebih cepat dari kampus, acara ulang tahunnya itu pun dilaksanakan tepat jam 4 sore di ruangan terbuka di sisi kanan halaman kos-kosan. Acara itu cukup ramai karena bukan hanya penghuni kos-kosan yang memang keseluruhannya wanita yang hadir di sana, melainkan juga diperbolehkan membawa cowok atau teman cowok mereka. Dila tentu saja mengundang Irfan, sementara Kintani dan Dila mengundang teman-teman cowok di kampus mereka serta Ridwan yang memang beberapa bulan ini telah menjadi teman yang paling akrab bagi Kintani. “Nah, sekarang waktunya Kintani memotong kue ultahnya. Kita saksikan bersama-sama pada siapa potongan kue u
“Ih, Uda curang. Pakai ngintip-ngintip segala,” untuk pertama kalinya terdengar rengek manja dari seorang Kintani pada sosok cowok. “Kalau nggak ngintip mana mungkin aku akan tahu benda yang paling kamu sukai, dan kebetulan kamu ultah aku memberikan kado itu buat kamu,” ulas Ridwan. “Hemmm, makasih ya Uda. Aku memang suka banget dengan boneka panda apalagi sebesar ini, tentu harganya mahal ya Uda?” Kintani tersenyum riang dan gemes memeluk boneka panda besar itu. “Lumayan mahal, akan tetapi aku kan belinya di toko yang pernah juga memakai jasaku di pasar jadi hanya membayar modalnya saja,” ujar Ridwan balas tersenyum, para tamu undangan kembali melanjutkan menikmati catering yang disajikan di ruangan terbuka itu. “Besok sore Uda ada waktu nggak?” tanya Kintani. “Memangnya ada apa? Kamu pengen ditemani belanja lagi di pasar?” “Nggak, aku hanya ingin ngajak Uda jalan aja. Kan besok malam minggu pasti di luar sangat ramai,” ujar Kintani sambil menaruh boneka panda kado ulang tahun