“Iya itu juga yang Ibu harapkan, kuliahmu harus dapat kamu selesaikan dengan baik.” “Ibu do’akan saja moga kuliah dan cita-citaku menjadi seorang dokter tercapai, hanya itu satu-satunya harapanku saat ini,” pinta Kintani. “Tentu Nak, Ibu akan selalu mendo’akanmu. Kamu udah sarapan pagi ini?” “Udah Bu, tadi aku beli lontong di warung sebelah kos-kosan.” “Ya sudah, Ibu nelpon hanya ingin nanya keadaanmu saja. Kalau memang kamu baik-baik saja di sana, Ibu pun merasa lega di sini.” “Iya Bu, aku baik-baik aja di sini.” “Assalamualaikum.” “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponsel dari Ibunya. Hampir setiap malam Kintani sulit pejamkan mata dan beristirahat seperti sebelum kejadian yang ia alami di kampung saat dibatalkan pertunangannya dengan Ridwan, mau tidak mau hal itu selalu muncul dalam pikirannya. Terlebih rasa sayangnya pada Ridwan sangat besar dan tulus, hingga takan mudah baginya untuk melupakan Ridwan begitu saja. Kesehariannya di kampuspun tidak seperti dulu
“Waktunya istirahat siang, Ridwan. Kamu mau makan siang di mana?” tanya Randi yang datang menghampirinya saat ia masih berjalan kian-kemari di seputaran toko melayani pembeli. “Nanti saja makan siangnya, Bang. Setelah aku melayani pembeli yang ini, aku mohon izin dulu untuk sholat zhuhur di masjid depan sana,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang berada di kawasan pasar tanah abang itu. “Oh ya udah kita bareng aja ke sana sekarang, biar mereka yang layani pelanggan itu,” ujar Randi meminta salah seorang karyawannya menggantikan Ridwan yang tengah melayani seorang pelanggan. Sekembalinya dari masjid Randi langsung mengajak Ridwan untuk makan siang di rumah makan Padang yang tidak jauh dari masjid itu, Randi memang selalu makan siang di luar tokonya setiap hari. Sementara karyawan yang saat ini masih bekerja melayani pelanggan secara bergantian makan siang dan istirahat, begitupula saat makan malam tiba dan berganti sif kerja. “Melihat caramu melayani pelanggan di toko, aku
Begitu pula di rumah saudara angkatnya itu, Ridwan semakin nyaman tinggal di sana. Terlebih Nisa yang mungkin telah merasakan tulusnya kasih sayang dari Ridwan, hingga bocah perempuan yang imut dan menggemaskan itu semakin dekat dan setiapkali Ridwan berada di rumah waktu Nisa lebih banyak dihabiskan bersama Om angkatnya itu. Ridwan juga tak mau menjawab saat Gita bertanya berapa gaji yang ia inginkan setiap bulannya bekerja di toko itu, baginya dapat tinggal dan berkumpul bersama mereka di rumah itu merupakan hal yang lebih penting dan membahagiakan. Akan tetapi tentunya Gita berinisiatif sendiri memberikan Adik angkatnya itu uang jerih payahnya bekerja di toko itu nanti, melalui perantara Randi yang juga bertugas membayar gaji para karyawan di toko itu setiap bulannya. Tak terasa seminggu sudah Ridwan berada di tempatnya yang baru itu, Ridwan berangsur-angsur dapat mengendalikan perasaannya yang sempat down akibat kejadian dibatalkannya pertunangan antara dia dan Kintani beberapa
“Terima kasih, kami mohon diri dulu,” ucap Kintani. “Ya sama-sama, lain kali berhati-hatilah dalam mengemudi,” saran petugas. “Baik Pak, permisi,” ujar Kintani, setelah bersalaman dengan petugas ia dan Pak Lukman keluar dari kantor itu. Sebelum melangkah tempat di parkirkan mobilnya, Kintani bertemu dengan polantas yang tadi menangani mereka di lokasi kejadian. “Apakah semua urusannya sudah selesai?” tanya polantas itu. “Sudah Pak, terima kasih telah membantu,” ucap Kintani diiringi senyumnya. “Sama-sama, oh ya ini kartu nama saya jika suatu diperlukan berkenaan dengan kejadian tadi, dan saya harap jika urusan kalian sudah benar-benar selesai untuk memberitahukannya kepada saya nanti,” tutur polantas itu dan menyerahkan selembar kartu namanya pada Kintani, mahasiswi cantik itu kembali tersenyum seraya menerima kartu nama itu. “Baik Pak, kami permisi dulu,” petugas polantas itu anggukan kepala balas tersenyum. Kintani, Eva dan Pak Lukman kembali ke pinggiran pantai tempat terja
“Terima kasih, Mas. Mari Pak Lukman aku antar Bapak pulang,” ucap Kintani pada Anto, lalu mengajak Pak Lukman untuk diantar pulang ke rumahnya. “Iya Kintani, Mari. Aku pamit ya, Mas Anto,” ujar Pak Lukman. “Iya Pak,” ulas Anto, Pak Lukman dan Kintani berlalu dari tempat usaha kerajinan itu. Apa yang dikatakan Pak Lukman jika rumah kontrakannya tidak jauh dari tempat usaha kerajinan itu memang benar adanya, mereka hanya butuh waktu 3 menit perjalanan untuk tiba di rumah kontrakan itu. “Mari masuk, Kintani,” ajak Pak Lukman. “Assalamualaikum,” ucap Kintani sambil mengikuti Pak Lukman masuk ke dalam rumahnya. “Waalaikum salam,” balas Pak Lukman dan beriringan dengan sahutan dari seorang wanita setengah baya yang berjalan dari ruang tengah rumah itu. “Loh kok cepat pulangnya, Pak? Dagangannya udah habis, ya?” tanya wanita setengah baya itu yang tidak lain adalah istri Pak Lukman bernama Lasmi. Pak Lukman tak segera menjawab, ia mempersilahkan Kintani dan Eva untuk duduk di deretan
“Loh, kok kamu malah nangis? Ada apa sih? Apa sebenarnya yang terjadi?” Dila semakin penasaran dan membuat Kintani makin terdesak akan pertanyaannya. “Maafin aku yang selama ini menyembunyikannya dari kalian berdua.” “Menyembunyikan? Emang kamu nyembunyiin apa ke kita?” kali ini Eva ikut penasaran. “Aku tadi nggak konsen nyetir gara-gara ngelamunin Uda Ridwan,” jawab Kintani. “Waduh, kalau kangen jangan dibawa ngelamun sambil nyetir. Bahaya Kintani,” ujar Dila. “Bukan masalah kangennya, tapi ada masalah yang lebih besar dari itu yang membuat hari-hariku sering kepikiran dan bermenung sendiri.” “Masalah besar gimana? Coba ceritain ke kita,” pinta Eva. “Sebenarnya hubunganku dan Uda Ridwan udah kandas, gara-gara orang tua kami membatalkan pertunangan saat libur semester kemarin,” “Apa? Jadi libur semester kemarin kalian berencana bertunangan?” Dila kaget. “Ya, dan acara pertunangan itu dibatalkan oleh orang tua kami. Penyebabnya karena kami sepesukuan, dan di dalam adat-istiada
“Ya itulah yang sebenarnya terjadi, Kak. Aku sendiri hingga kini masih trouma akan kejadian itu, tapi apa boleh buat begitulah kenyataannya yang musti aku terima,” Ridwan berusaha untuk iklas. “Berat memang jika dihadapkan dengan permasalahan yang sebelumnya nggak kita duga akan terjadi sebegitu pahitnya, namun semua itu tak lantas membuat kamu harus kehilangan semangat dan salah dalam membuat keputusan,” ujar Gita. “Maksud Kak Gita?” Ridwan seperti tak faham dengan maksud yang dikatakan Kakak angkatnya itu. “Maksudku apakah kamu telah memikirkan matang-matang untuk mengakhiri hubunganmu dengan gadis yang kamu cintai itu?” Gita balik bertanya. “Aku belum memberi keputusan apa-apa berkaitan dengan hubunganku dengan Kintani, aku hanya diminta untuk menjauhinya merantau ke kota ini.” “Jadi nama gadis itu Kintani? Siapa yang memintamu untuk ke Jakarta?” tanya Gita. “Ya Kak, yang meminta aku merantau kedua belah pihak keluarga kami, karena saat ini Kintani sedang kuliah di Kota Padan
“Nggak-nggak, kalian musti ada liburnya. Nggak baik juga setiap hari kerja tampa rehat, apalagi kalian berdua yang memang adik-adikku bukan seperti karyawan-karyawan lainnya di toko. Kalian harus libur satu hari dalam seminggu untuk kebugaran tubuh kalian,” tutur Gita. “Benar apa yang dikatakan Gita, mulai minggu depan kalian harus mengambil hari libur itu untuk beristirahat dan merefres pikiran,” tambah Aldi. “Iya Bang, kami akan libur setiap hari jum’at,” ujar Randi. Selama ini Gita memang kerap meminta Randi untuk meliburkan diri satu hari dalam seminggu terutama di hari jum’at saat aktifitas pasar tidak seramai hari-hari biasanya, akan tetapi entah kenapa hal yang diusulkan Kakaknya itu tidak pernah diindahkan oleh Randi, dia tetap ke toko setiap harinya. Berhubung Ridwan telah bergabung dengan mereka bekerja di toko itu, maka Randi bersedia untuk libur satu hari dalam seminggu terutama di hari jum’at. Gita juga tidak menetapkan hari libur yang mereka ambil harus hari jum’at s