Sepeninggalnya Paman Ramli, mereka masih ngobrol di ruang tamu itu. Tampak sekali Ridwan seakan terlepas dari tempat yang dalam 2 bulan ini membuat batinnya tersiksa, begitupula dengan Gita sekeluarga mereka senang Ridwan berada di rumah itu. “Bi Sari..!” panggil Gita. “Iya Nyonya,” yang dipanggilpun menghampiri ke ruang tamu. “Tolong taruh barang-barang Ridwan ke kamar yang tadi udah Bi Sari bersihkan,” pinta Gita. “Oh, nggak usah Bi. Biar aku aja,” Ridwan mencegahnya, lalu ia berdiri dari duduk mohon pamit untuk mengantar barang-barangnya ke kamar yang dimaksud, Gita dan yang lain hanya tersenyum saja. “Ini kamarnya Mas,” ujar Bi Sari yang mengantar Ridwan ke kamar yang tadi sore ia rapikan. “Iya Bi, terima kasih,” ucap Ridwan lalu menaruh semua barang-barangnya di kamar itu, kemudian seiring dengan Bi Sari, Ridwan kembali turun ke lantai dasar menghampiri Gita dan keluarga di ruang tamu. “Terima kasih, Kak. Kamarnya sangat besar sekali,” ucap Ridwan sekaligus tak menyangka j
“Iya itu juga yang Ibu harapkan, kuliahmu harus dapat kamu selesaikan dengan baik.” “Ibu do’akan saja moga kuliah dan cita-citaku menjadi seorang dokter tercapai, hanya itu satu-satunya harapanku saat ini,” pinta Kintani. “Tentu Nak, Ibu akan selalu mendo’akanmu. Kamu udah sarapan pagi ini?” “Udah Bu, tadi aku beli lontong di warung sebelah kos-kosan.” “Ya sudah, Ibu nelpon hanya ingin nanya keadaanmu saja. Kalau memang kamu baik-baik saja di sana, Ibu pun merasa lega di sini.” “Iya Bu, aku baik-baik aja di sini.” “Assalamualaikum.” “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponsel dari Ibunya. Hampir setiap malam Kintani sulit pejamkan mata dan beristirahat seperti sebelum kejadian yang ia alami di kampung saat dibatalkan pertunangannya dengan Ridwan, mau tidak mau hal itu selalu muncul dalam pikirannya. Terlebih rasa sayangnya pada Ridwan sangat besar dan tulus, hingga takan mudah baginya untuk melupakan Ridwan begitu saja. Kesehariannya di kampuspun tidak seperti dulu
“Waktunya istirahat siang, Ridwan. Kamu mau makan siang di mana?” tanya Randi yang datang menghampirinya saat ia masih berjalan kian-kemari di seputaran toko melayani pembeli. “Nanti saja makan siangnya, Bang. Setelah aku melayani pembeli yang ini, aku mohon izin dulu untuk sholat zhuhur di masjid depan sana,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang berada di kawasan pasar tanah abang itu. “Oh ya udah kita bareng aja ke sana sekarang, biar mereka yang layani pelanggan itu,” ujar Randi meminta salah seorang karyawannya menggantikan Ridwan yang tengah melayani seorang pelanggan. Sekembalinya dari masjid Randi langsung mengajak Ridwan untuk makan siang di rumah makan Padang yang tidak jauh dari masjid itu, Randi memang selalu makan siang di luar tokonya setiap hari. Sementara karyawan yang saat ini masih bekerja melayani pelanggan secara bergantian makan siang dan istirahat, begitupula saat makan malam tiba dan berganti sif kerja. “Melihat caramu melayani pelanggan di toko, aku
Begitu pula di rumah saudara angkatnya itu, Ridwan semakin nyaman tinggal di sana. Terlebih Nisa yang mungkin telah merasakan tulusnya kasih sayang dari Ridwan, hingga bocah perempuan yang imut dan menggemaskan itu semakin dekat dan setiapkali Ridwan berada di rumah waktu Nisa lebih banyak dihabiskan bersama Om angkatnya itu. Ridwan juga tak mau menjawab saat Gita bertanya berapa gaji yang ia inginkan setiap bulannya bekerja di toko itu, baginya dapat tinggal dan berkumpul bersama mereka di rumah itu merupakan hal yang lebih penting dan membahagiakan. Akan tetapi tentunya Gita berinisiatif sendiri memberikan Adik angkatnya itu uang jerih payahnya bekerja di toko itu nanti, melalui perantara Randi yang juga bertugas membayar gaji para karyawan di toko itu setiap bulannya. Tak terasa seminggu sudah Ridwan berada di tempatnya yang baru itu, Ridwan berangsur-angsur dapat mengendalikan perasaannya yang sempat down akibat kejadian dibatalkannya pertunangan antara dia dan Kintani beberapa
“Terima kasih, kami mohon diri dulu,” ucap Kintani. “Ya sama-sama, lain kali berhati-hatilah dalam mengemudi,” saran petugas. “Baik Pak, permisi,” ujar Kintani, setelah bersalaman dengan petugas ia dan Pak Lukman keluar dari kantor itu. Sebelum melangkah tempat di parkirkan mobilnya, Kintani bertemu dengan polantas yang tadi menangani mereka di lokasi kejadian. “Apakah semua urusannya sudah selesai?” tanya polantas itu. “Sudah Pak, terima kasih telah membantu,” ucap Kintani diiringi senyumnya. “Sama-sama, oh ya ini kartu nama saya jika suatu diperlukan berkenaan dengan kejadian tadi, dan saya harap jika urusan kalian sudah benar-benar selesai untuk memberitahukannya kepada saya nanti,” tutur polantas itu dan menyerahkan selembar kartu namanya pada Kintani, mahasiswi cantik itu kembali tersenyum seraya menerima kartu nama itu. “Baik Pak, kami permisi dulu,” petugas polantas itu anggukan kepala balas tersenyum. Kintani, Eva dan Pak Lukman kembali ke pinggiran pantai tempat terja
“Terima kasih, Mas. Mari Pak Lukman aku antar Bapak pulang,” ucap Kintani pada Anto, lalu mengajak Pak Lukman untuk diantar pulang ke rumahnya. “Iya Kintani, Mari. Aku pamit ya, Mas Anto,” ujar Pak Lukman. “Iya Pak,” ulas Anto, Pak Lukman dan Kintani berlalu dari tempat usaha kerajinan itu. Apa yang dikatakan Pak Lukman jika rumah kontrakannya tidak jauh dari tempat usaha kerajinan itu memang benar adanya, mereka hanya butuh waktu 3 menit perjalanan untuk tiba di rumah kontrakan itu. “Mari masuk, Kintani,” ajak Pak Lukman. “Assalamualaikum,” ucap Kintani sambil mengikuti Pak Lukman masuk ke dalam rumahnya. “Waalaikum salam,” balas Pak Lukman dan beriringan dengan sahutan dari seorang wanita setengah baya yang berjalan dari ruang tengah rumah itu. “Loh kok cepat pulangnya, Pak? Dagangannya udah habis, ya?” tanya wanita setengah baya itu yang tidak lain adalah istri Pak Lukman bernama Lasmi. Pak Lukman tak segera menjawab, ia mempersilahkan Kintani dan Eva untuk duduk di deretan
“Loh, kok kamu malah nangis? Ada apa sih? Apa sebenarnya yang terjadi?” Dila semakin penasaran dan membuat Kintani makin terdesak akan pertanyaannya. “Maafin aku yang selama ini menyembunyikannya dari kalian berdua.” “Menyembunyikan? Emang kamu nyembunyiin apa ke kita?” kali ini Eva ikut penasaran. “Aku tadi nggak konsen nyetir gara-gara ngelamunin Uda Ridwan,” jawab Kintani. “Waduh, kalau kangen jangan dibawa ngelamun sambil nyetir. Bahaya Kintani,” ujar Dila. “Bukan masalah kangennya, tapi ada masalah yang lebih besar dari itu yang membuat hari-hariku sering kepikiran dan bermenung sendiri.” “Masalah besar gimana? Coba ceritain ke kita,” pinta Eva. “Sebenarnya hubunganku dan Uda Ridwan udah kandas, gara-gara orang tua kami membatalkan pertunangan saat libur semester kemarin,” “Apa? Jadi libur semester kemarin kalian berencana bertunangan?” Dila kaget. “Ya, dan acara pertunangan itu dibatalkan oleh orang tua kami. Penyebabnya karena kami sepesukuan, dan di dalam adat-istiada
“Ya itulah yang sebenarnya terjadi, Kak. Aku sendiri hingga kini masih trouma akan kejadian itu, tapi apa boleh buat begitulah kenyataannya yang musti aku terima,” Ridwan berusaha untuk iklas. “Berat memang jika dihadapkan dengan permasalahan yang sebelumnya nggak kita duga akan terjadi sebegitu pahitnya, namun semua itu tak lantas membuat kamu harus kehilangan semangat dan salah dalam membuat keputusan,” ujar Gita. “Maksud Kak Gita?” Ridwan seperti tak faham dengan maksud yang dikatakan Kakak angkatnya itu. “Maksudku apakah kamu telah memikirkan matang-matang untuk mengakhiri hubunganmu dengan gadis yang kamu cintai itu?” Gita balik bertanya. “Aku belum memberi keputusan apa-apa berkaitan dengan hubunganku dengan Kintani, aku hanya diminta untuk menjauhinya merantau ke kota ini.” “Jadi nama gadis itu Kintani? Siapa yang memintamu untuk ke Jakarta?” tanya Gita. “Ya Kak, yang meminta aku merantau kedua belah pihak keluarga kami, karena saat ini Kintani sedang kuliah di Kota Padan
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu