“Terima kasih, kami mohon diri dulu,” ucap Kintani. “Ya sama-sama, lain kali berhati-hatilah dalam mengemudi,” saran petugas. “Baik Pak, permisi,” ujar Kintani, setelah bersalaman dengan petugas ia dan Pak Lukman keluar dari kantor itu. Sebelum melangkah tempat di parkirkan mobilnya, Kintani bertemu dengan polantas yang tadi menangani mereka di lokasi kejadian. “Apakah semua urusannya sudah selesai?” tanya polantas itu. “Sudah Pak, terima kasih telah membantu,” ucap Kintani diiringi senyumnya. “Sama-sama, oh ya ini kartu nama saya jika suatu diperlukan berkenaan dengan kejadian tadi, dan saya harap jika urusan kalian sudah benar-benar selesai untuk memberitahukannya kepada saya nanti,” tutur polantas itu dan menyerahkan selembar kartu namanya pada Kintani, mahasiswi cantik itu kembali tersenyum seraya menerima kartu nama itu. “Baik Pak, kami permisi dulu,” petugas polantas itu anggukan kepala balas tersenyum. Kintani, Eva dan Pak Lukman kembali ke pinggiran pantai tempat terja
“Terima kasih, Mas. Mari Pak Lukman aku antar Bapak pulang,” ucap Kintani pada Anto, lalu mengajak Pak Lukman untuk diantar pulang ke rumahnya. “Iya Kintani, Mari. Aku pamit ya, Mas Anto,” ujar Pak Lukman. “Iya Pak,” ulas Anto, Pak Lukman dan Kintani berlalu dari tempat usaha kerajinan itu. Apa yang dikatakan Pak Lukman jika rumah kontrakannya tidak jauh dari tempat usaha kerajinan itu memang benar adanya, mereka hanya butuh waktu 3 menit perjalanan untuk tiba di rumah kontrakan itu. “Mari masuk, Kintani,” ajak Pak Lukman. “Assalamualaikum,” ucap Kintani sambil mengikuti Pak Lukman masuk ke dalam rumahnya. “Waalaikum salam,” balas Pak Lukman dan beriringan dengan sahutan dari seorang wanita setengah baya yang berjalan dari ruang tengah rumah itu. “Loh kok cepat pulangnya, Pak? Dagangannya udah habis, ya?” tanya wanita setengah baya itu yang tidak lain adalah istri Pak Lukman bernama Lasmi. Pak Lukman tak segera menjawab, ia mempersilahkan Kintani dan Eva untuk duduk di deretan
“Loh, kok kamu malah nangis? Ada apa sih? Apa sebenarnya yang terjadi?” Dila semakin penasaran dan membuat Kintani makin terdesak akan pertanyaannya. “Maafin aku yang selama ini menyembunyikannya dari kalian berdua.” “Menyembunyikan? Emang kamu nyembunyiin apa ke kita?” kali ini Eva ikut penasaran. “Aku tadi nggak konsen nyetir gara-gara ngelamunin Uda Ridwan,” jawab Kintani. “Waduh, kalau kangen jangan dibawa ngelamun sambil nyetir. Bahaya Kintani,” ujar Dila. “Bukan masalah kangennya, tapi ada masalah yang lebih besar dari itu yang membuat hari-hariku sering kepikiran dan bermenung sendiri.” “Masalah besar gimana? Coba ceritain ke kita,” pinta Eva. “Sebenarnya hubunganku dan Uda Ridwan udah kandas, gara-gara orang tua kami membatalkan pertunangan saat libur semester kemarin,” “Apa? Jadi libur semester kemarin kalian berencana bertunangan?” Dila kaget. “Ya, dan acara pertunangan itu dibatalkan oleh orang tua kami. Penyebabnya karena kami sepesukuan, dan di dalam adat-istiada
“Ya itulah yang sebenarnya terjadi, Kak. Aku sendiri hingga kini masih trouma akan kejadian itu, tapi apa boleh buat begitulah kenyataannya yang musti aku terima,” Ridwan berusaha untuk iklas. “Berat memang jika dihadapkan dengan permasalahan yang sebelumnya nggak kita duga akan terjadi sebegitu pahitnya, namun semua itu tak lantas membuat kamu harus kehilangan semangat dan salah dalam membuat keputusan,” ujar Gita. “Maksud Kak Gita?” Ridwan seperti tak faham dengan maksud yang dikatakan Kakak angkatnya itu. “Maksudku apakah kamu telah memikirkan matang-matang untuk mengakhiri hubunganmu dengan gadis yang kamu cintai itu?” Gita balik bertanya. “Aku belum memberi keputusan apa-apa berkaitan dengan hubunganku dengan Kintani, aku hanya diminta untuk menjauhinya merantau ke kota ini.” “Jadi nama gadis itu Kintani? Siapa yang memintamu untuk ke Jakarta?” tanya Gita. “Ya Kak, yang meminta aku merantau kedua belah pihak keluarga kami, karena saat ini Kintani sedang kuliah di Kota Padan
“Nggak-nggak, kalian musti ada liburnya. Nggak baik juga setiap hari kerja tampa rehat, apalagi kalian berdua yang memang adik-adikku bukan seperti karyawan-karyawan lainnya di toko. Kalian harus libur satu hari dalam seminggu untuk kebugaran tubuh kalian,” tutur Gita. “Benar apa yang dikatakan Gita, mulai minggu depan kalian harus mengambil hari libur itu untuk beristirahat dan merefres pikiran,” tambah Aldi. “Iya Bang, kami akan libur setiap hari jum’at,” ujar Randi. Selama ini Gita memang kerap meminta Randi untuk meliburkan diri satu hari dalam seminggu terutama di hari jum’at saat aktifitas pasar tidak seramai hari-hari biasanya, akan tetapi entah kenapa hal yang diusulkan Kakaknya itu tidak pernah diindahkan oleh Randi, dia tetap ke toko setiap harinya. Berhubung Ridwan telah bergabung dengan mereka bekerja di toko itu, maka Randi bersedia untuk libur satu hari dalam seminggu terutama di hari jum’at. Gita juga tidak menetapkan hari libur yang mereka ambil harus hari jum’at s
“Bapak dan Ibu telah dulu bertanam budi baik kepadaku dengan tidak memperpanjang urusan kejadian kemarin dan mau diselesaikan secara damai.” “Ya Nak, tapi rasanya kami merasa kurang pantas aja menerima semua kebaikan ini,” ujar Pak Lukman. “Aku iklas, Pak. Dan hatikupun merasa terketuk untuk membantu usaha Bapak.” “Terima kasih ya, Nak,” Bu Lasmi tak tahan dengan rasa harunya, ia tiba-tiba memeluk Kintani seperti memeluk putrinya sendiri. “Kami berdo’a agar Allah SWT. Membalas kebaikan Nak Kintani, dilancarkan kuliahnya serta diwujudkan segala cita-cita dan keinginannya,” ucap Pak Lukman. “Amin,” Kintani, Eva dan Dila serentak mengamini. “Baiklah Pak, Bu. Karena hari udah sore, kami mohon pamit untuk pulang ke kos-kosan,” sambung Kintani. “Ya Nak, sekali lagi terima kasih. Hati-hati di jalan, jika ada waktu jangan sungkan-sungkan untuk singgah lagi di rumah ini,” ujar Pak Lukman. “Ya Pak, assalamu alaikum.” “Waalaikum salam,” balas Pak Lukman dan Bu Lasmi sembari mengiringi m
“Oh, jadi dari upah per tokonya kamu kumpulkan hingga kadang sampai Rp. 200.000,- per hari?” “Iya Kak.” “Cukup besar juga pendapatanmu di sana, dan wajar jika kamu tak perlu diajari lagi dalam melayani pelanggan di toko,” ujar Gita. “Itu setiap hari kamu ke pasarnya, Ridwan?” kali ini Randi yang bertanya. “Benar Bang, kadang aku pulang ke rumah udah menjelang waktu sholat isya.” “Oh begitu?” “Iya Bang, itu biasanya kalau hari minggu saat pengunjung pasar ramai dan toko buka hingga malam,” tutur Ridwan. “Tuh kapan kamu liburnya kalau setiap hari ke pasar untuk kerja?” Gita yang bertanya. “Kalau pengen libur sih gampang, Kak. Kapan aku mau aja karena memang aku nggak terikat oleh toko manapun di pasar raya itu.” “Hemmm, enak juga kerja nggak terikat seperti itu. Nggak seperti aku masuk dan pulang kantor harus di jam yang telah ditetapkan,” kali ini Aldi yang berbicara. “Iya Bang, tapi Bang Aldi kan kerjanya di kantor perusahaan yang dari segi apapun jua jauh lebih baik dari pe
Iptu Yoga dan kedua sahabat Kintani itupun saling bersalaman dan memperkenalkan diri mereka masing-masing, lalu Iptu Yoga mempersilahkan mereka untuk memesan minuman dan menu yang tersedia di cafe kemudian duduk di bangku yang memanjang di dalam cafe itu mengarah ke pantai. “Kalian sering ya datang ke sini?” tanya Iptu Yoga. “Nggak juga Bang, kebetulan aja kita bertemu kedua kalinya di sini,” jawab Kintani. “Kalian udah kenal sebelumnya dengan Bang Yoga?” tanya Dila. “Iya Dila, Bang Yoga inilah petugas yang menangani saat Kintani menabrak gerobak Pak Lukman minggu yang lalu,” jawab Eva. “Oh, pantas aja begitu kita masuk ke cafe ini Bang Yoga langsung menyapa kalian,” ujar Dila diiringi senyumnya. “Bang Yoga nggak setiap hari bertugas di kawasan pantai ini?” tanya Eva. “Nggak setiap hari cuma sering, dan hari ini temanku yang bertugas di ujung jalan jalur pinggiran pantai ini,” jawab Iptu Yoga. “Kalau boleh tahu apa penyebabnya, sampai kamu menabrak gerobak milik Pak Lukman min