“Bapak dan Ibu telah dulu bertanam budi baik kepadaku dengan tidak memperpanjang urusan kejadian kemarin dan mau diselesaikan secara damai.” “Ya Nak, tapi rasanya kami merasa kurang pantas aja menerima semua kebaikan ini,” ujar Pak Lukman. “Aku iklas, Pak. Dan hatikupun merasa terketuk untuk membantu usaha Bapak.” “Terima kasih ya, Nak,” Bu Lasmi tak tahan dengan rasa harunya, ia tiba-tiba memeluk Kintani seperti memeluk putrinya sendiri. “Kami berdo’a agar Allah SWT. Membalas kebaikan Nak Kintani, dilancarkan kuliahnya serta diwujudkan segala cita-cita dan keinginannya,” ucap Pak Lukman. “Amin,” Kintani, Eva dan Dila serentak mengamini. “Baiklah Pak, Bu. Karena hari udah sore, kami mohon pamit untuk pulang ke kos-kosan,” sambung Kintani. “Ya Nak, sekali lagi terima kasih. Hati-hati di jalan, jika ada waktu jangan sungkan-sungkan untuk singgah lagi di rumah ini,” ujar Pak Lukman. “Ya Pak, assalamu alaikum.” “Waalaikum salam,” balas Pak Lukman dan Bu Lasmi sembari mengiringi m
“Oh, jadi dari upah per tokonya kamu kumpulkan hingga kadang sampai Rp. 200.000,- per hari?” “Iya Kak.” “Cukup besar juga pendapatanmu di sana, dan wajar jika kamu tak perlu diajari lagi dalam melayani pelanggan di toko,” ujar Gita. “Itu setiap hari kamu ke pasarnya, Ridwan?” kali ini Randi yang bertanya. “Benar Bang, kadang aku pulang ke rumah udah menjelang waktu sholat isya.” “Oh begitu?” “Iya Bang, itu biasanya kalau hari minggu saat pengunjung pasar ramai dan toko buka hingga malam,” tutur Ridwan. “Tuh kapan kamu liburnya kalau setiap hari ke pasar untuk kerja?” Gita yang bertanya. “Kalau pengen libur sih gampang, Kak. Kapan aku mau aja karena memang aku nggak terikat oleh toko manapun di pasar raya itu.” “Hemmm, enak juga kerja nggak terikat seperti itu. Nggak seperti aku masuk dan pulang kantor harus di jam yang telah ditetapkan,” kali ini Aldi yang berbicara. “Iya Bang, tapi Bang Aldi kan kerjanya di kantor perusahaan yang dari segi apapun jua jauh lebih baik dari pe
Iptu Yoga dan kedua sahabat Kintani itupun saling bersalaman dan memperkenalkan diri mereka masing-masing, lalu Iptu Yoga mempersilahkan mereka untuk memesan minuman dan menu yang tersedia di cafe kemudian duduk di bangku yang memanjang di dalam cafe itu mengarah ke pantai. “Kalian sering ya datang ke sini?” tanya Iptu Yoga. “Nggak juga Bang, kebetulan aja kita bertemu kedua kalinya di sini,” jawab Kintani. “Kalian udah kenal sebelumnya dengan Bang Yoga?” tanya Dila. “Iya Dila, Bang Yoga inilah petugas yang menangani saat Kintani menabrak gerobak Pak Lukman minggu yang lalu,” jawab Eva. “Oh, pantas aja begitu kita masuk ke cafe ini Bang Yoga langsung menyapa kalian,” ujar Dila diiringi senyumnya. “Bang Yoga nggak setiap hari bertugas di kawasan pantai ini?” tanya Eva. “Nggak setiap hari cuma sering, dan hari ini temanku yang bertugas di ujung jalan jalur pinggiran pantai ini,” jawab Iptu Yoga. “Kalau boleh tahu apa penyebabnya, sampai kamu menabrak gerobak milik Pak Lukman min
Mereka tiba di kos-kosan sekitar jam setengah 8 malam, sebelumnya mereka singgah dulu di sebuah rumah makan untuk makan malam bersama. Bagi Eva dan Dila diajak ke tepian pantai tadi menyaksikan panorama matahari tenggelam sangat menyenangkan, namun bagi Kintani hal itu membuat hatinya dilanda kemelut di antara rindu dan sedih. “Oh ya Kintani, orang tuamu di kampung udah kamu kasih tahu tentang kejadian minggu lalu kamu nabrak gerobak Pak Lukman?” tanya Eva saat mereka duduk rehat sejenak di depan kos-kosan. “Belum, aku kuatir Ayah dan Ibu akan cemas jika aku kasih tahu. Walaupun kecelakaan itu nggak begitu parah dan dapat diselesaikan secara damai,” jawab Kintani. “Jika kamu merasa kuatir mereka akan cemas, sebaiknya nggak usah kamu kasih tahu kedua orang tuamu itu,” saran Dila. “Ya, sebaiknya aku simpan aja dulu. Suatu saat nanti baru aku akan ceritakan pada mereka.” “Oh ya Kintani, menurutmu bagaimana dengan Bang Yoga tadi orangnya?” tanya Dila mulai membahas tentang polantas
“Oh, kalau begitu sih kami juga setuju, Ramli. Aku pikir kamu melepas Ridwan begitu aja tampa kejelasan, kalau sama anaknya Pak Hendra dan Bu Indri ya sama juga berarti dengan tinggal bersama kamu dan saudara kita yang lain,” nada bicara Bu Suci melunak setelah tadi sempat bernada keras memarahi Paman Ramli. “Makanya aku belum berani memberitahukan itu kemarin pada Uni, kuatir kalau Uni dan Uda Rustam akan salah faham. Meskipun Ridwan tinggal bersama mereka, bukan berarti aku lepas tanggung jawab sebagai Pamannya di sini.” “Iya Ramli, kami mengerti. Tapi kenapa ya, sejak Ridwan di Jakarta nggak sekalipun menghubungi kami di sini?” Bu Suci merasa heran. “Barangkali karena dia belum bisa menerima kenyataan akan kejadian dibatalkan pertunangannya dengan gadis itu, harap Uni memakluminya dan suatu saat jika perasaannya udah sedikit mereda, pasti Ridwan akan menelpon Uni di sana,” ujar Paman Ramli. “Iya juga sih apa yang kamu katakan itu, Ramli. Ridwan memang begitu, kadang dia hanya d
“Yuk kita rehat, malam udah semakin larut,” sambung Randi mengajak Ridwan beristirahat.“Ya Bang,” Ridwan nampak semangat karena keresahannya tadi seperti terjawab dengan solusi yang diberikan Randi mengajaknya untuk pulang ke Padang bulan depan.Hari sabtu sore di kantor tempat Iptu Yoga bertugas, dia dan beberapa orang temannya duduk di sebuah ruangan terbuka, dari gaya mereka ngobrol jelas bukan tengah membahas hal serius berkaitan dengan tugas mereka.“Gimana Yoga, kamu udah ada pasangan belum untuk menghadiri pesta pernikahan Rudi besok siang?” tanya salah seorang temannya sesama polantas.“Belum tuh, Rama. Emangnya harus ya dengan pasangan ke acara pesta itu?” Iptu Yoga balik bertanya.“Harus sih nggak, cuma nggak srek aja dipandang jika kita ke sana tampa membawa pasangan. Kalaupun bukan istri atau kekasih minimal teman wanitalah,” jawab temannya yang dipanggil Rama itu.“Siapa ya, cewekmu itu ada nggak temannya yang bisa aku ajak jadi pendamping besok siang?”“Ada sih tapi mer
Setelah berpamitan pada Eva, Kintani pun turun dari kos-kosannya yang berada di lantai paling atas dari tiga lantai bangunan kos-kosan itu menghampiri pria tampan pemilik mobil fortuner itu. Kintani yang hanya mengenakan gaun pesta sederhana itu nampak perpect sekali kecantikannya, pria pemilik mobil fortuner yang tidak lain adalah Iptu Yoga dibuat terkesima dan grogi saat mahasiswi kedokteran itu telah berada di halaman kos-kosan berjalan ke arahnya. Kintani sendiri sempat risih, saat ditatap sedemikian lekat oleh Iptu Yoga ketika ia tiba di depan mobil fortuner itu. “Jadi berangkat sekarang, Bang?” tanya Kintani. “I..iya jadi Kintani, mari,” Iptu Yoga tergagap dan tersadar akan terkesimanya memandang Kintani. “Tempat pestanya jauh ya Bang dari kos-kosan ini?” Kintani kembali bertanya saat dia telah berada di dalam mobil di samping Iptu Yoga yang akan mengemudi mobilnya. “Nggak jauh kok, palingan 15 menit perjalanan juga kita sampai di sana,” jawab Iptu Yoga seakan tak berani m
“Iya juga sih, semuanya datang berpasangan.” “Nah, karena itulah aku minta bantuanmu kemarin untuk menemaniku datang ke acara ini. Segan rasanya jika datang sendirian,” ujar Iptu Yoga. “Ya aku mengerti alasan Bang Yoga mengajakku ke sini.” Seperti yang telah dijanjikan Iptu Yoga, sebelum waktu magrib datang ia mengantar Kintani pulang ke kos-kosan. Karena di waktu sore hari itu para penghuni kos hampir seluruhnya berada di kos-kosan tentu terlihat ramai, ada yang duduk di depan ruangan kos-kosan di setiap tingkatnya, ada pula yang duduk di tempat khusus menerima tamu di sisi kanan depan bangunan kos-kosan itu. Kintani dan Iptu Yoga pun tak luput dari perhatian dari penghuni kos-kosan, saat mereka turun dari mobil fortuner itu. Tapi Kintani dan Iptu Yoga bersikap santai saja, seolah-olah mereka tidak memperdulikan banyaknya pasang mata yang tengah tertuju ke arah mereka berdua. “Mampir dulu, Bang,” tawar Kintani. “Nggak usah Kintani, lain kali aja bentar lagi magrib. Terima kasih
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu