“Boleh aja Bang, tapi kalau mau ke sini Bang Yoga harus kasih tahu dulu soalnya bisa jadi aku lagi di kampus atau lagi di luar,” jawab Kintani. “Oh, tentu saja. Aku paling ke sana di jam-jam istirahat tugas atau hari di mana aku memang libur bertugas.” “Aku juga paling hari minggu ada di kos-kosan seharian dari pagi hingga sore Bang, kalau siangnya nggak jalan bareng teman-teman keluar,” ujar Kintani. “Ya udah, kalau mau bertamu ke sana nanti, aku akan kasih tahu. Assalamualaikum,” ucap Iptu Yoga. “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponselnya. “Ehem, aku bilang juga apa Bang Yoga itu pasti ada rasa sama kamu, Kintani. Kalau nggak mana mungkin dia pengen datang segala bertamu ke kos-kosan ini,” Dila mulai menggoda sahabatnya itu. “Loh, masa aku tolak teman yang akan bertamu ke sini?” ulas Kintani. “Masalahnya kamu selama ini nggak pernah tuh terima tamu cowok di kos-kosan ini, terkecuali Bang Ridwan. Hemmm, pasti kamu juga ada rasa ya sama Bang Yoga?” tebak Dila. “A
Toko Gita di samping besar dan luas juga bertingkat, di dalam ruangan toko itu juga terdapat toilet yang bisa digunakan oleh para karyawan dan pengunjung. Begitupun di lantai atas juga ada toilet dan kamar mandi yang biasa digunakan Randi dan Ridwan menjelang waktu magrib datang. Di lantai 2 itu tempat stok barang-barang yang sebelumnya diantar oleh pemasok, sebenarnya di sana dapat juga digunakan jika sekedar untuk tempat sholat karena masih tersedia ruang kosong, akan tetapi karena masjid tidak jauh dari toko Randi dan Ridwan lebih mengutamakan sholat berjama’ah di masjid itu dibandingkan di lantai atas toko. Jika Pak Rustam sebelum lebaran kemarin kerja sebagai pemanen di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di kenagarian MK hingga jam 5 sore, namun sejak Ridwan membeli lahan untuk perkebunan seluas 2 hektar dari hasil kerjanya di pasar raya Padang yang ia simpan beberapa tahun, Pak Rustam kini pulang dari perusahaan itu lebih awal antara jam 12 hingga jam 1 siang. Seba
“Hemmm, luar biasa idemu. Aku yakin mereka makin senang berlangganan ke toko kita,” puji Gita. “Mudah-mudahan aja, Kak. Kalau kita melayani mereka dengan sangat baik, aku rasa mereka akan senang berkunjung dan berbelanja di toko Kak Gita itu,” tutur Ridwan. “Oh ya Kak, aku mau minta izin untuk pulang ke Padang lihat Papa dan Mama. Karena memang lebaran yang dulu, aku dan juga Kak Gita nggak bisa pulang,” ujar Randi. “Kapan rencananya kamu mau pulang?” tanya Gita. “Bulan depan, Kak. Tentang harinya nanti akan aku cari di mana hari-hari itu pelanggan yang berkunjung ke toko nggak terlalu ramai, aku juga minta izin untuk membawa Ridwan ikut serta denganku pulang ke Padang,” pinta Randi lagi. “Mengajak Ridwan juga? Untuk apa?” Gita merasa heran dan penasaran. “Di samping untuk nemani aku pulang, Ridwan juga ingin bertemu dengan Kintani. Katanya sih Ridwan udah membuat keputusan untuk memperjuangkan cinta mereka, jadi dengan mengajak Ridwan ke Padang dia bisa bertemu Kintani dan tent
Kamis malam tepat jam 9 Ridwan dan Randi seperti biasa pulang dari toko, setelah ngobrol beberapa menit menjelang waktu istirahat bersama Gita dan suaminya di ruang depan yang kebetulan saat itu si kecil Nisa sudah terlelap tidur di kamarnya, Ridwan dan Randi pun menuju kamar mereka masing-masing. Entah karena besok libur tidak pergi ke toko seperti hari-hari sebelumnya malam itu Ridwan belum juga pejamkan matanya, ia bahkan sengaja membuka pintu kamar saat ia berdiri dari posisi tubuhnya tadi berbaring di ranjang. Sebatang rokok ia keluar dari bungkusnya lalu disulut menikmati sambil duduk di kursi yang ada di kamar itu, pandangannya tertuju ke langit-langit kamar beriring asap yang ia hembuskan dari mulut. Ridwan ternyata tengah mengingat kembali awal pertemuannya hingga menjalin kasih dengan Kintani, ia semakin larut dalam lamunannya. Beberapa Tahun yang lalu........... Minggu pagi Ridwan yang telah siap untuk menuju pasar raya Padang tempat keseha
“Wah, sama dong. Aku juga berasal dari Pasaman Barat di kenagarian P,” Kintani menjelaskan di tengah rasa terkejutnya, karena dia dan Ridwan ternyata berasal dari daerah yang sama hanya saja berbeda kenagarian. “Oh ya? Kamu di kota ini juga bekerja Kintani?” “Nggak, aku kuliah di sini.” “Kuliah? Kuliah di mana?” kembali Ridwan bertanya. “Di Falkutas Kedokteran Universitas A. Dan sekarang aku udah masuk semester 3.” “Hemmm, calon dokter dong,” ujar Ridwan dengan senyumnya. “Ya, mudah-mudahan cita-citaku itu nantinya tercapai,” harapan Kintani seraya balas tersenyum. “Amin,” ucap Ridwan. Saking asyiknya ngobrol di dalam mobil jazz yang dikemudikan Kintani, tak terasa mereka pun tiba di pasar yang hendak dituju. Setelah memarkirkan mobil dan saling bertukar nomor ponsel, Ridwan pamit untuk lebih dulu masuk ke dalam pasar, sementara Kintani yang memang ingin mencari sayur-sayuran segar serta keperluan untuk memasak pagi itu tidak ikut masuk, karena yang ia cari berada di area luar
Sementara hari minggu itu sekembalinya dari pasar Kintani langsung memasak di kos-kosannya yang berada tidak jauh dari kampus tempat ia kuliah, sebagai anak dari keluarga yang mampu dan berkecukupan mahasiswi cantik fakultas kedokteran itu bukanlah gadis yang manja, meskipun dengan uang yang selalu terisi banyak di rekening dia bisa membeli apa saja termasuk untuk makan-minumnya sehari-hari, tapi Kintani lebih memilih untuk masak sendiri karena sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya sewaktu bersama kedua orang tuanya di desa. Masakan seorang Kintani benar-benar lezat seperti umumnya wanita Minang yang memang di kenal pandai memasak, meskipun di zaman modern ini karena pengaruh kebudayaan luar dan perkembangan teknologi sulit ditemui wanita Minang yang serba-bisa seperti masa dahulunya, namun berkat didikan yang benar dari kedua orang tua, budaya dan tradisi serta pembentukan karakter seorang Kintani masih mencerminkan jika dia wanita Minang sejati. “Hemmm, harum sekali. Kamu masak a
Bagi Ridwan kerja lepas di pasar lebih menyenangkan, dan ia pun dapat meliburkan diri kapan saja ia inginkan tampa harus mendapat teguran atau pemotongan gaji seperti mall yang memiliki ketentuan mengikat karyawannya. Meskipun dari segi orang memandang kerja di mall lebih bergengsi dibandingkan bekerja di pasar, namun Ridwan tidak perduli dengan pandangan itu, karena ia lebih mengutamakan kenyaman bekerja di samping juga pendapatan yang tentunya dapat ia peroleh setiap hari. Tak jarang juga Ridwan kembali ke kos-kosannya hingga jam 8 malam, terlebih hari minggu pengunjung pasar sangat ramai dari hari biasanya dan itu memicu toko-toko yang berada di bagian luar petakan pasar buka hingga malam. Ridwan juga telah mengantisipasi hal itu dengan membawa pakaian ganti, sebelum waktu magrib tiba ia telah mandi dan berganti pakaian di salah satu toilet umum yang juga menyediakan kamar mandi di lokasi pasar raya. “Wah, pulang malam lagi nih, Ridwan. Pasar lagi ramai ya?” sapa seorang pria set
Cahaya kemerah-merahan tak terlihat lagi di ufuk barat, begitu pula dengan burung-burung yang tadi berlalu-lalang mencari tempat untuk bermalam, seiring datangnya gelap suara azan magrib pun terdengar di masjid-masjid dan mushola. Sebagian besar masyarakat kenagarian MK sholat berjamah di masjid dan mushola itu, begitu pula dengan Pak Rustam dan Bu Suci.Sekembalinya dari masjid seperti biasa kedua orang tua Ridwan makan malam bersama di meja makan sederhana di ruang tengah, di sana juga terlihat Fitria Adik kandung Ridwan satu-satunya yang tadi sibuk membantu Bu Suci dari memasak hingga menghidangkannya di meja makan itu.“Ayah, Ibu. Tadi siang Uda Ridwan mengirim uang lagi ke rekeningku,” ujar Fitria membuka obrolan di meja makan.“Mengirim uang lagi? Bukankah dua bulan yang lalu Ridwan juga mengirim uang untuk keperluanmu membeli buku-buku pelajaran sekolah?” tanya Bu Suci yang agak terkejut karena tak menyangka putranya berkirim uang lagi untuk Adiknya.“Nggak tahu tuh, Bu. Padaha
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu