Kamis malam tepat jam 9 Ridwan dan Randi seperti biasa pulang dari toko, setelah ngobrol beberapa menit menjelang waktu istirahat bersama Gita dan suaminya di ruang depan yang kebetulan saat itu si kecil Nisa sudah terlelap tidur di kamarnya, Ridwan dan Randi pun menuju kamar mereka masing-masing. Entah karena besok libur tidak pergi ke toko seperti hari-hari sebelumnya malam itu Ridwan belum juga pejamkan matanya, ia bahkan sengaja membuka pintu kamar saat ia berdiri dari posisi tubuhnya tadi berbaring di ranjang. Sebatang rokok ia keluar dari bungkusnya lalu disulut menikmati sambil duduk di kursi yang ada di kamar itu, pandangannya tertuju ke langit-langit kamar beriring asap yang ia hembuskan dari mulut. Ridwan ternyata tengah mengingat kembali awal pertemuannya hingga menjalin kasih dengan Kintani, ia semakin larut dalam lamunannya. Beberapa Tahun yang lalu........... Minggu pagi Ridwan yang telah siap untuk menuju pasar raya Padang tempat keseha
“Wah, sama dong. Aku juga berasal dari Pasaman Barat di kenagarian P,” Kintani menjelaskan di tengah rasa terkejutnya, karena dia dan Ridwan ternyata berasal dari daerah yang sama hanya saja berbeda kenagarian. “Oh ya? Kamu di kota ini juga bekerja Kintani?” “Nggak, aku kuliah di sini.” “Kuliah? Kuliah di mana?” kembali Ridwan bertanya. “Di Falkutas Kedokteran Universitas A. Dan sekarang aku udah masuk semester 3.” “Hemmm, calon dokter dong,” ujar Ridwan dengan senyumnya. “Ya, mudah-mudahan cita-citaku itu nantinya tercapai,” harapan Kintani seraya balas tersenyum. “Amin,” ucap Ridwan. Saking asyiknya ngobrol di dalam mobil jazz yang dikemudikan Kintani, tak terasa mereka pun tiba di pasar yang hendak dituju. Setelah memarkirkan mobil dan saling bertukar nomor ponsel, Ridwan pamit untuk lebih dulu masuk ke dalam pasar, sementara Kintani yang memang ingin mencari sayur-sayuran segar serta keperluan untuk memasak pagi itu tidak ikut masuk, karena yang ia cari berada di area luar
Sementara hari minggu itu sekembalinya dari pasar Kintani langsung memasak di kos-kosannya yang berada tidak jauh dari kampus tempat ia kuliah, sebagai anak dari keluarga yang mampu dan berkecukupan mahasiswi cantik fakultas kedokteran itu bukanlah gadis yang manja, meskipun dengan uang yang selalu terisi banyak di rekening dia bisa membeli apa saja termasuk untuk makan-minumnya sehari-hari, tapi Kintani lebih memilih untuk masak sendiri karena sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya sewaktu bersama kedua orang tuanya di desa. Masakan seorang Kintani benar-benar lezat seperti umumnya wanita Minang yang memang di kenal pandai memasak, meskipun di zaman modern ini karena pengaruh kebudayaan luar dan perkembangan teknologi sulit ditemui wanita Minang yang serba-bisa seperti masa dahulunya, namun berkat didikan yang benar dari kedua orang tua, budaya dan tradisi serta pembentukan karakter seorang Kintani masih mencerminkan jika dia wanita Minang sejati. “Hemmm, harum sekali. Kamu masak a
Bagi Ridwan kerja lepas di pasar lebih menyenangkan, dan ia pun dapat meliburkan diri kapan saja ia inginkan tampa harus mendapat teguran atau pemotongan gaji seperti mall yang memiliki ketentuan mengikat karyawannya. Meskipun dari segi orang memandang kerja di mall lebih bergengsi dibandingkan bekerja di pasar, namun Ridwan tidak perduli dengan pandangan itu, karena ia lebih mengutamakan kenyaman bekerja di samping juga pendapatan yang tentunya dapat ia peroleh setiap hari. Tak jarang juga Ridwan kembali ke kos-kosannya hingga jam 8 malam, terlebih hari minggu pengunjung pasar sangat ramai dari hari biasanya dan itu memicu toko-toko yang berada di bagian luar petakan pasar buka hingga malam. Ridwan juga telah mengantisipasi hal itu dengan membawa pakaian ganti, sebelum waktu magrib tiba ia telah mandi dan berganti pakaian di salah satu toilet umum yang juga menyediakan kamar mandi di lokasi pasar raya. “Wah, pulang malam lagi nih, Ridwan. Pasar lagi ramai ya?” sapa seorang pria set
Cahaya kemerah-merahan tak terlihat lagi di ufuk barat, begitu pula dengan burung-burung yang tadi berlalu-lalang mencari tempat untuk bermalam, seiring datangnya gelap suara azan magrib pun terdengar di masjid-masjid dan mushola. Sebagian besar masyarakat kenagarian MK sholat berjamah di masjid dan mushola itu, begitu pula dengan Pak Rustam dan Bu Suci.Sekembalinya dari masjid seperti biasa kedua orang tua Ridwan makan malam bersama di meja makan sederhana di ruang tengah, di sana juga terlihat Fitria Adik kandung Ridwan satu-satunya yang tadi sibuk membantu Bu Suci dari memasak hingga menghidangkannya di meja makan itu.“Ayah, Ibu. Tadi siang Uda Ridwan mengirim uang lagi ke rekeningku,” ujar Fitria membuka obrolan di meja makan.“Mengirim uang lagi? Bukankah dua bulan yang lalu Ridwan juga mengirim uang untuk keperluanmu membeli buku-buku pelajaran sekolah?” tanya Bu Suci yang agak terkejut karena tak menyangka putranya berkirim uang lagi untuk Adiknya.“Nggak tahu tuh, Bu. Padaha
“Hemmm, apa sebaiknya aku minta tolong sama Uda Ridwan aja ya, buat nemani aku mencari bahan seragam kuliah itu?” pikir Kintani sambil meraih ponselnya. “Jangan ah, nggak enak. Karena dia pasti lagi sibuk kerja,” gumam Kintani yang merasa ragu untuk menelpon ataupun mengirim pesan pada Ridwan. Rasa ragu dan ingin sekedar menyapa seperti bertarung dalam hatinya, akhirnya rasa ragu itu kalah dan ia pun mencoba untuk menghubungi nomor Ridwan. “Hallo, assalamualaikum,” Ridwan mengangkat panggilan darinya. “Waalaikum salam, maaf ya Uda Ridwan kalau aku mengganggu,” ujar Kintani yang mulai merasa tak enak hati. “Nggak ganggu kok, ada apa Kintani?” “Uda lagi sibuk, ya?” Kintani balik bertanya. “Nggak sibuk-sibuk amat kok, nih baru aja selesai menata barang-barang di toko. Apa ada yang perlu dibantu?” “Kalau Uda ada waktu, boleh nggak temani aku di pasar itu mencari bahan untuk seragam kuliah sekalian nunjukin tempat menjahitnya?” “Boleh, sekarang juga bisa kok. Datanglah aku tunggu
“Berapa Kak untuk dua stel bahan dasar pakaian ini?” tanya Kintani sambil menjinjing bungkusan dua stel bahan dasar pakaian yang tadi dikemas rapi oleh Ria. “Hemmm, kamu cukup membayar modalnya aja,” jawab Ria diiringi senyumnya. “Loh, nggak bisa begitu dong Kak. Kak Ria kan berdagang jika dibayar modalnya aja, gimana Kak Ria akan dapatkan keuntungannya?” “Kan nanti aku masih bisa dapatkan keuntungan berdagang dari pelanggan lainnya, udahlah nggak usah kamu pikirkan itu. Teman Ridwan berarti temanku juga,” tutur Ria sambil menghitung berapa jumlah uang yang harus dibayar berupa modalnya saja untuk dua stel bahan dasar pakaian seragam kuliah Kintani itu. Kintani terpaksa membayar sejumlah uang yang Ria sebutkan, walaupun beberapa kali Kintani berusaha melebihkannya tetapi Ria tak pernah mau menerima. “Gimana Kintani, udah selesai belanjanya?” tanya Ridwan datang menghampiri. “Udah Uda, tapi Kak Ria hanya memintaku untuk membayar modalnya aja,” jawab Kintani merasa tidak enak. “O
“Ada Kintani, di ujung los pasar ini terdapat masjid. Tepatnya di seberang jalan tempat kamu memarkirkan mobil tadi,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang ia maksud. “Oh, ya udah kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Tuh, azan udah terdengar sekalian aku akan mengambil mukenah yang aku taruh di mobil,” ajak Kintani. “Ya baiklah, kami pamit dulu Tante,” ujar Ridwan. “Iya Ridwan, Kintani. Makasih udah berkunjung kemari,” ucap Winda. “Sama-sama, Tante. Assalamualaikum,” tutur Kintani dan Ridwan berbarengan. “Waalaikum salam,” Ridwan dan Kintani segera meninggalkan taylor itu menuju masjid yang berada di seberang jalan di ujung los pasar raya tak jauh dari tempat parkiran. Seusai sholat zhuhur berjama’ah, Ridwan dan Kintani kembali bertemu di halaman masjid itu. “Nah, karena Uda udah membantuku mencari bahan dasar pakaian dan menunjukan taylor untuk menjahit seragam kuliahku, sekarang aku akan traktir Uda Ridwan makan siang. Di mana tempat makan yang enak di sekitar pa
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
“Aneh juga kenapa tiba-tiba saja kedua orang tua Kintani meminta tolong sama kamu,” Pak Hendra heran. “Awalnya sih saat hari pertama Kintani pergi dari rumah, mereka sempat curiga kalau aku yang meminta Kintani pergi dari rumah itu dan menyusulku ke Jakarta. Tapi setelah aku jelasin bahwa aku sama sekali tak mengetahui bahkan Kintani tak tahu alamatku di Jakarta, mereka pun yakin dan malahan meminta nomor kontak dan bantuanku untuk mencari keberadaan Kintani,” jelas Ridwan. “Jadi begitu cerita, Bapak pikir mereka langsung minta tolong sama kamu untuk mencari Kintani.” “Ya nggaklah Pak, mereka kan nggak tahu nomor kontakku gimana mereka bisa minta tolong. Mereka datang ke rumah Ayah dan Ibu di kampung dan dari situlah mereka mengetahui nomor kontak dan minta tolong sama aku,” tutur Ridwan. Sore hari sekitar jam 5 lewat apa yang dikatakan Bu Indri pun benar adanya, seorang wanita cantik memakai pakaian kerja putih-putih tampak memasuki halaman rumah kedua orang tua angkat Ridwan itu
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun setelah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan dibawa ke Bandara menuju Kota Padang, tak beberapa menit setelah Ia pun sarapan dengan Gita, Aldi dan Nisa di meja makan di ruangan tengah lantai bawah. “Sementara kamu akan ke Padang siapa yang kamu suruh untuk tinggal di rumahmu itu, Ridwan?” tanya Gita. “Setelah aku pikir-pikir lagi apa tidak sebaiknya Kak Gita dan juga Bang Aldi tinggal di sana aja, sementara rumah ini bisa disewakan nantinya,” usul Ridwan. “Hemmm, nggaklah Ridwan. Rumah itu milikmu dan kamu cepat atau lambatnya pasti akan menikah juga,” ujar Gita. “Loh, nggak jadi masalah. Rumah itu terlalu besar bisa didiami beberapa kepala keluarga, lagian kalian kan bukan orang lain lagi bagi aku.” “Iya sih, tapi biar kami tinggal di sini aja. Kalau memang belum ada yang kamu minta untuk menjaga rumah itu selama kamu pergi ke Padang ada baiknya kamu mencari satpam untuk berjaga-jaga di sana,” saran Gita. “Ya Kak, aku memang mempunyai r
3 bulan kemudian.... Minggu pagi sekitar jam 10 Ridwan beserta Gita sekeluarga pergi ke sebuah rumah mewah yang sangat besar dengan perkarangan depan dan belakang juga luas, lokasi rumah itu tidak jauh dari rumah Gita karena berada satu kompleks. Mereka berangkat dengan mengendarai mobil pajero sport milik dan kemudikan oleh Ridwan, mobil itu Ridwan ambil sekitar satu minggu yang lalu di show room usahanya sendiri. Melihat dari fisik bangunan rumah mewah yang mereka tuju ditasir biaya pembuatannya hampir 350 milyar, lalu apa tujuan Ridwan beserta Gita sekeluarga ke sana? Setelah memarkirkan mobil pajero sport di halaman rumah mewah itu, Ridwan beserta Gita sekeluarga pun turun lalu berjalan ke teras. Saat tiba di depan pintu Ridwan bukannya mengetuk atau memencet bel yang ada, melainkan merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah kunci lalu dengan santainya membuka pintu rumah mewah itu. “Mari Kak, Bang kita masuk,” ajak Ridwan, Gita dan Aldi mengangguk seraya tersenyum lalu