Sore hari di kenagarian MK tepatnya di rumah kediaman orang tua Ridwan, Pak Rustam yang telah pulang dari kebun dan mandi duduk di ruang depan bersama istrinya. Untuk beberapa saat lamanya Bu Suci Ibu kandung Ridwan itu tampak ragu untuk mengatakan perihal kedatangan Pak Wisnu dan Pak Gindo tadi siang menemuinya, ia kuatir suaminya yang baru pulang dan tentu masih lelah itu akan terbawa emosi jika mendengar ceritanya. Namun jika tak dikatakan akan menjadi masalah yang lebih besar lagi nanti dan Pak Rustam akan lebih marah tentunya, akhirnya Bu Suci memberanikan diri untuk menceritakan semuanya. “Uda, tadi Wisnu dan Uda Gindo datang.” “Wisnu dan Gindo datang? Ada keperluan apa mereka ke sini?” tanya Pak Rustam dengan raut wajah kaget dan penasaran. “Aku harap Uda nggak marah jika yang akan aku sampaikan ini berkaitan dengan Ridwan,” pinta Bu Suci. “Iya katakan saja, memangnya ada apa antara mereka dan Ridwan?” “Begini Uda, mereka memberitahu kalau Ridwan dan Kintani selama ini ma
“Masya Allah, ternyata kamu benar-benar berhasil di rantau Nak,” Bu Suci berkata terdengar serak suaranya, karena tak dapat menahan haru hingga air matanya tak sadar jatuh membasahi kedua pipinya. “Benar Ridwan, Ayah bangga padamu. Hanya saja apa yang telah kamu lakukan dengan menjalin hubungan secara diam-diam kemarin itu dengan Kintani tetap tidak dibenarkan.” “Iya Ayah, sekali lagi aku minta maaf. Selain adat-istiadat yang menentang keras, mungkin juga ini semua takdir yang harus aku terima,” ucap Ridwan. “Siapa nama atasanmu itu, Ridwan?” tanya Bu Suci. “Anggelina Bu.” “Kok bisa atasanmu itu menaruh hati sama kamu?” “Aku juga nggak tahu dan menyangka Bu, melalui kepala bagian marketing yang juga atasanku di kantor, dia menyampaikan jika dia memiliki perasaan sama aku. Tapi sampai sekarang aku belum memberi tanggapan,” jawab Ridwan. “Loh, kamu nggak boleh menggantung perasaan orang. Kalau kamu memang memiliki perasaan yang sama segera ungkapkan, begitu pula sebaliknya. Janga
Ridwan bukan hanya sekedar menanggapi tentang perasaan Anggelina itu tapi juga menyetujui untuk hubungan itu kejenjang pernikahan, di restoran itu juga mereka sempat membahas tentang perbedaan keyakinan yang tentu saja akan menjadi salah satu masalah nantinya. Ridwan mengatakan jika berkaitan dengan keyakinan, dia tetap pada pendiriannya tidak akan berpindah agama. Jika Anggelina ingin segera melangsungkan pernikahan, Ridwan menyarankannya untuk berpindah dan satu keyakinan dengannya. Karena rasa sayang dan cinta wanita cantik bermata agak sipit itu begitu besar, Anggelina pun bersedia untuk ikut keyakinan Ridwan. Hanya saja hal itu tentunya harus ia sampaikan terlebih dahulu pada kedua orang tuanya yaitu Pak Wijaya dan Bu Wijaya, serta tak terkecuali juga seluruh keluarga besarnya. Ridwan setuju dan menunggu keputusan dari keluarga besarnya itu, bagi Ridwan dengan tidak menunda-nunda lagi akan menjadi solusi yang terbaik antara dia dan Kintani agar tak lagi sama-sama berharap. Mes
Sepulang dari kantor Ridwan dan Anggelina mampir dulu di sebuah cafe yang tidak jauh dari kantor tempat mereka berkerja, ternyata pertemuan itu telah mereka janjikan tadi siang saat mereka tak punya waktu untuk makan siang bareng karena Ridwan kembali mendapat tugas kerja di luar. “Bagaimana, apakah kamu udah bicarakan semuanya sama Papa dan Mamamu Anggelina?” “Udah Bang, Papa dan Mama setuju-setuju aja kalau aku memilih untuk ikut keyakinan Bang Ridwan. Akan tetapi Opa dan Omaku nggak nyetujuinnya, kalau Bang Ridwan nggak bersedia ikut keyakinanku nggak apa-apa pernikahan kita akan tetap direstui mereka,” tutur Anggelina. “Maksudnya kamu tetap dengan keyakinanmu, aku juga tetap dengan keyakinanku begitu?” “Iya Bang, Opa dan Oma bilang begitu jika memang Bang Ridwan nggak bersedia masuk pada keyakinan kami,” ujar Anggelina menegaskan kembali. “Aku memang nggak akan bisa ikut dengan keyakinanmu Anggelina, tradisi dan adat-istiadatku kamu tahu sendiri kan?” “Iya Bang, orang Minang
Pagi itu Ridwan telat tiba di kantor, selain tadi karena bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya melalui sambungan telpon juga disebabkan pikirannya yang kacau. Di kantor pun Ridwan tak begitu semangat bekerja seperti biasanya, keputusan kedua orang tuannya yang tak mengizinkan dan tak merestui dia menikah dengan Anggelina karena perbedaan keyakinan merupakan hal cukup berat baginya untuk memikirkannya sendiri. Ingin sekali ia curhat dengan Clara akan tetapi ia merasa percuma saja karena tidak akan mendapatkan solusi akan permasalahan pelik yang ia alami itu, mau tidak mau dia harus menyampaikan secara langsung pada Anggelina karena tidak baik pula hal itu di pendam sendiri dan disimpan berlarut-larut. Kembali Ridwan memutuskan untuk mengajak Anggelina makan siang bareng di restoran langganan mereka, di sanalah Ridwan dengan perasaan tak menentu mengungkapkan semuanya. “Hal yang ingin aku bicarakan saat ini, berkaitan dengan perbicanganku dengan kedua orang tuaku tadi pagi menyang
“Nggak bisa Anggelina seperti yang dikatakan Opa dan Omamu jika kalian ingin tetap menikah, kalian harus bersedia memeluk keyakinan masing-masing jika memang Ridwan nggak bisa masuk ke dalam agama dan keyakinan kita,” tegas Pak Wijaya. “Tapi Pa, ini untuk kebahagiaanku.” “Iya Papa tahu itu, Papa dan Mama tak masalah. Tapi Opa dan Omamu juga berhak mempertahankan keyakinan kita yang telah berlangsung secara turun-menurun,” ujar Pak Wijaya kembali menegaskan pada putrinya. “Papa dan Mama jahat, selama ini kalian selalu menyarankan aku agar segera mencari pasangan. Begitu aku menemui pria yang aku inginkan kalian tak bisa memperjuangkannya,” Anggelina bangkit dari duduknya lalu bergegas ke kamar sambil menangis. Pak Wijaya dan istrinya menghela napas yang terasa berat, mereka jadi serba salah karena memang sulit untuk mencari solusi akan permasalahan yang terjadi pada putrinya itu dan Ridwan. “Aku nggak tega juga melihat Anggelina begini, tapi aku juga nggak bisa menentang apa yang
Setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya melalui Clara, sejak hari itu Ridwan tak lagi bekerja dan menjadi karyawan di kantor perusahaan Anggelina. Clara tentu saja bingung dengan keputusan Ridwan itu, namun setelah Ridwan menjawab alasannya ingin kembali ke kampung dan membuka usaha di sana, Clara pun tak dapat berkata apa-apalagi karena memang ia tak dapat memaksanya untuk tetap bekerja di kantor itu. Lain halnya dengan Anggelina setelah membaca surat pengunduran diri Ridwan, wanita cantik bermata sipit itu terkejut dan tak langsung menghubungi Ridwan melalui sambungan telpon ponsel. Akan tetapi beberapa kali ia hubungi tak pernah diangkat oleh Ridwan, hal itu membuat Anggelina tak sabar lagi dan segera mengajak supirnya untuk berangkat menuju rumah Gita. Sementara Ridwan telah memberitahu Gita bahwa ia akan mengundurkan diri dari kantor tempat ia bekerja hari itu, dan meminta Gita jika ada telpon dari Anggelina atau mantan atasannya itu datang ke rumah menyebutkan dirinya pu
Beberapa hari ini setiap tengah malam Kintani selalu bangun dan melaksanakan sholat tahajud memohon petunjuk pada yang kuasa, akan tetapi hingga malam terakhir karena besok siang setelah waktu sholat jum’at dia akan ditunangkan dengan Romi tak kunjung jua mendapat petunjuk apa-apa. Justru batinnya makin tersisa jika harus menuruti keinginan kedua orang tuanya menjodohkan dia dengan Romi putra dari Paman kandungnya itu, saat itu juga ia lekas-lekas berdiri dan melipat kembali mukena yang di pakai. Ia berjalan menuju meja yang ada di dalam kamarnya itu, kemudian mengambil secarik kertas HVS dan sebuah pena. Dengan tekad hati yang bulat ia menuliskan kata demi kata melalui tulisan di atas kertas itu, kemudian menaruhnya rapi-rapi di atas meja. Setelah itu ia mengambil koper yang biasa ia gunakan untuk manuruh pakaian jika hendak berpergian, di dalam koper itu ia memasukan pakaian-pakaian yang ia ingini. Belum di ketahui maksudnya apa melakukan semua itu, yang jelas sekarang ia menarik