Ridwan bukan hanya sekedar menanggapi tentang perasaan Anggelina itu tapi juga menyetujui untuk hubungan itu kejenjang pernikahan, di restoran itu juga mereka sempat membahas tentang perbedaan keyakinan yang tentu saja akan menjadi salah satu masalah nantinya. Ridwan mengatakan jika berkaitan dengan keyakinan, dia tetap pada pendiriannya tidak akan berpindah agama. Jika Anggelina ingin segera melangsungkan pernikahan, Ridwan menyarankannya untuk berpindah dan satu keyakinan dengannya. Karena rasa sayang dan cinta wanita cantik bermata agak sipit itu begitu besar, Anggelina pun bersedia untuk ikut keyakinan Ridwan. Hanya saja hal itu tentunya harus ia sampaikan terlebih dahulu pada kedua orang tuanya yaitu Pak Wijaya dan Bu Wijaya, serta tak terkecuali juga seluruh keluarga besarnya. Ridwan setuju dan menunggu keputusan dari keluarga besarnya itu, bagi Ridwan dengan tidak menunda-nunda lagi akan menjadi solusi yang terbaik antara dia dan Kintani agar tak lagi sama-sama berharap. Mes
Sepulang dari kantor Ridwan dan Anggelina mampir dulu di sebuah cafe yang tidak jauh dari kantor tempat mereka berkerja, ternyata pertemuan itu telah mereka janjikan tadi siang saat mereka tak punya waktu untuk makan siang bareng karena Ridwan kembali mendapat tugas kerja di luar. “Bagaimana, apakah kamu udah bicarakan semuanya sama Papa dan Mamamu Anggelina?” “Udah Bang, Papa dan Mama setuju-setuju aja kalau aku memilih untuk ikut keyakinan Bang Ridwan. Akan tetapi Opa dan Omaku nggak nyetujuinnya, kalau Bang Ridwan nggak bersedia ikut keyakinanku nggak apa-apa pernikahan kita akan tetap direstui mereka,” tutur Anggelina. “Maksudnya kamu tetap dengan keyakinanmu, aku juga tetap dengan keyakinanku begitu?” “Iya Bang, Opa dan Oma bilang begitu jika memang Bang Ridwan nggak bersedia masuk pada keyakinan kami,” ujar Anggelina menegaskan kembali. “Aku memang nggak akan bisa ikut dengan keyakinanmu Anggelina, tradisi dan adat-istiadatku kamu tahu sendiri kan?” “Iya Bang, orang Minang
Pagi itu Ridwan telat tiba di kantor, selain tadi karena bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya melalui sambungan telpon juga disebabkan pikirannya yang kacau. Di kantor pun Ridwan tak begitu semangat bekerja seperti biasanya, keputusan kedua orang tuannya yang tak mengizinkan dan tak merestui dia menikah dengan Anggelina karena perbedaan keyakinan merupakan hal cukup berat baginya untuk memikirkannya sendiri. Ingin sekali ia curhat dengan Clara akan tetapi ia merasa percuma saja karena tidak akan mendapatkan solusi akan permasalahan pelik yang ia alami itu, mau tidak mau dia harus menyampaikan secara langsung pada Anggelina karena tidak baik pula hal itu di pendam sendiri dan disimpan berlarut-larut. Kembali Ridwan memutuskan untuk mengajak Anggelina makan siang bareng di restoran langganan mereka, di sanalah Ridwan dengan perasaan tak menentu mengungkapkan semuanya. “Hal yang ingin aku bicarakan saat ini, berkaitan dengan perbicanganku dengan kedua orang tuaku tadi pagi menyang
“Nggak bisa Anggelina seperti yang dikatakan Opa dan Omamu jika kalian ingin tetap menikah, kalian harus bersedia memeluk keyakinan masing-masing jika memang Ridwan nggak bisa masuk ke dalam agama dan keyakinan kita,” tegas Pak Wijaya. “Tapi Pa, ini untuk kebahagiaanku.” “Iya Papa tahu itu, Papa dan Mama tak masalah. Tapi Opa dan Omamu juga berhak mempertahankan keyakinan kita yang telah berlangsung secara turun-menurun,” ujar Pak Wijaya kembali menegaskan pada putrinya. “Papa dan Mama jahat, selama ini kalian selalu menyarankan aku agar segera mencari pasangan. Begitu aku menemui pria yang aku inginkan kalian tak bisa memperjuangkannya,” Anggelina bangkit dari duduknya lalu bergegas ke kamar sambil menangis. Pak Wijaya dan istrinya menghela napas yang terasa berat, mereka jadi serba salah karena memang sulit untuk mencari solusi akan permasalahan yang terjadi pada putrinya itu dan Ridwan. “Aku nggak tega juga melihat Anggelina begini, tapi aku juga nggak bisa menentang apa yang
Setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya melalui Clara, sejak hari itu Ridwan tak lagi bekerja dan menjadi karyawan di kantor perusahaan Anggelina. Clara tentu saja bingung dengan keputusan Ridwan itu, namun setelah Ridwan menjawab alasannya ingin kembali ke kampung dan membuka usaha di sana, Clara pun tak dapat berkata apa-apalagi karena memang ia tak dapat memaksanya untuk tetap bekerja di kantor itu. Lain halnya dengan Anggelina setelah membaca surat pengunduran diri Ridwan, wanita cantik bermata sipit itu terkejut dan tak langsung menghubungi Ridwan melalui sambungan telpon ponsel. Akan tetapi beberapa kali ia hubungi tak pernah diangkat oleh Ridwan, hal itu membuat Anggelina tak sabar lagi dan segera mengajak supirnya untuk berangkat menuju rumah Gita. Sementara Ridwan telah memberitahu Gita bahwa ia akan mengundurkan diri dari kantor tempat ia bekerja hari itu, dan meminta Gita jika ada telpon dari Anggelina atau mantan atasannya itu datang ke rumah menyebutkan dirinya pu
Beberapa hari ini setiap tengah malam Kintani selalu bangun dan melaksanakan sholat tahajud memohon petunjuk pada yang kuasa, akan tetapi hingga malam terakhir karena besok siang setelah waktu sholat jum’at dia akan ditunangkan dengan Romi tak kunjung jua mendapat petunjuk apa-apa. Justru batinnya makin tersisa jika harus menuruti keinginan kedua orang tuanya menjodohkan dia dengan Romi putra dari Paman kandungnya itu, saat itu juga ia lekas-lekas berdiri dan melipat kembali mukena yang di pakai. Ia berjalan menuju meja yang ada di dalam kamarnya itu, kemudian mengambil secarik kertas HVS dan sebuah pena. Dengan tekad hati yang bulat ia menuliskan kata demi kata melalui tulisan di atas kertas itu, kemudian menaruhnya rapi-rapi di atas meja. Setelah itu ia mengambil koper yang biasa ia gunakan untuk manuruh pakaian jika hendak berpergian, di dalam koper itu ia memasukan pakaian-pakaian yang ia ingini. Belum di ketahui maksudnya apa melakukan semua itu, yang jelas sekarang ia menarik
“Keterlaluan berani-beraninya dia pergi dari rumah tanpa sepengetahuan kita, ini pasti karena Ridwan hingga Kintani berani melawan kita..!” Pak Wisnu tak kuasa lagi menahan amarahnya. “Sudah Bang, jangan terus-teruskan menyalahkan Ridwan. Di surat itu kan Kintani bilang penyebabnya pergi dari rumah karena tak ingin dijodohkan dengan Romi nanti siang,” ujar Bu Anggini. “Iya tapi ini pasti ada kaitannya dengan Ridwan.” “Kaitan bagaimana bukankah sejak minggu yang lalu mereka udah nggak bisa berkomunikasi lagi, HP Kintani pun sekarang masih Abang sita,” Bu Anggini seperti tak rela jika semua yang terjadi kesalahan selalu ditujukan pada Ridwan yang memang tidak tahu menahu jika saat ini Kintani kabur dari rumahnya. “Apa kata Uda Gindo nanti jika tahu hal ini? Pasti dia sangat marah karena kita tak bisa menjaga Kintani, dia juga pasti menyalahkan kita karena pihak keluarga besar udah tahu semua hari ini Kintani dan Romi akan ditunangkan,” tutur Pak Wisnu. “Aku nggak perduli Uda Gindo
Sekitar jam 1 siang lewat Kintani baru terbangun dari tidurnya, rasa kantuk yang dialami saat perjalanan dengan bus ke Kota Padang itu semalam benar-benar membuat dirinya tidur pulas di kamar hotel yang ia sewa. Setelah mandi dan berganti pakaian ia pun turun ke lantai dasar hotel tempat di mana menyediakan segala macam menu makanan dan minuman untuk makan siang, sambil menikmati makan siang ia merenungi ke mana dia akan pergi menetap di kota itu. “Apakah aku harus kembali ke kos-kosanku dulu sembari melamar pekerjaan di kota ini? Rasanya nggak mungkin Ayah dan Ibu pasti akan menemukanku, atau aku cari kos-kosan yang lain saja?” pikir Kintani dalam hati. Ia terlihat kembali melanjutkan makan siangnya, setelah selesai dan duduk beberapa saat di sana, Kintani memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Di dalam kamar kembali gadis cantik itu bermenung, semua itu dikarenakan tekadnya yang belum benar-benar kuat akan ke mana ia harus pergi dan mencari tempat menetap di kota itu. Di saat ia