Perubahan Jade terlihat sangat signifikan di mata orang-orang kantor. Kecuali bagi orang-orang yang ikut saat Jade menjemput Bella, semua orang lainnya berpikir perubahan itu terjadi dengan misterius. Bagaimana tidak. Jade yang semula selalu datang dalam keadaan rapi, kini terlihat jauh lebih rapi dan tampan. Wajahnya bersih dan cerah. Sikapnya pun ikut berubah. Mereka jarang lembur hingga larut malam dan Jade terlihat jauh lebih manusiawi. Hingga pagi ini pria itu mengejutkan seisi kantor karena datang dengan model rambut yang berbeda. Sesaat, dia terlihat seperti pria yang hendak wajib militer dengan potongan rambut cepak yang membuatnya terlihat lebih jantan dan maskulin. Pria itu langsung berhasil menyita perhatian para karyawan di kantornya. “Se—sebenarnya, apa yang terjadi pada Bos?” Seorang karyawan perempuan bertanya kepada Ashya yang turut berdiri bersama meka.“Dia berubah drastis. Kamu sekretarisnya pasti tahu, kan, Sya?” tanya yang lain. Diberondong oleh pertanyaan
Karina terbangun dengan tenggorokan yang kering kerontang. Ia berjalan ke dapur untuk mencari segelas air. Namun, entah mengapa, kepalanya terasa berputar. Matanya berkunang-kunang dan tanpa sadar ia mulai limbung ke samping. Tepat sebelum terjatuh, seseorang menahan tubuh Karina dari arah belakang. “Kau baik-baik saja?” Suara Adimas terdengar. Serak dan berat khas bangun tidur. Pria itu memang baru selesai menerima panggilan telepon dan melihat Karina berdiri di dapur. Awalnya, dia ingin mengusili wanita itu, tetapi dia justru mendapati tubuh sang istri semakin limbung. Kini, mata Karina terlihat sayu dan Adimas langsung menaruh tangannya pada dahi wanita itu. Sangat panas. “Kamu sakit, Sayang?” Adimas bertanya dengan cemas, kemudian cepat-cepat memapah Karina ke sofa. Perlahan, dia membaringkan tubuh Karina di sana. “Tunggu di sini. Aku akan memanggil dokter,” ucap Adimas. Dia langsung menghubungi seorang dokter dan dokter itu datang tiga puluh menit kemudian. Saat memeriksa
Suhu tubuh dan napas Karina terasa panas sepanjang ia mencoba beristirahat. Sebentar-sebentar, wanita itu akan terbangun. Karina hampir berhasil tertidur lelap, tetapi sayup-sayup ia mendengar tangisan bayi. Evelyn dan Celine telah dirawat oleh sang ibu. Meski demikian, mereka pasti mencari-cari ASI. Karina pun memaksakan diri untuk bangun. Tak ada siapa pun di kamarnya sehingga dia harus meraba-raba dinding untuk berjalan keluar. Begitu tiba di ruang keluarga, dia melihat ibunya dan Linda tampak kewalahan menghadapi tangisan Evelyn. “Sini, Bu, biar Karina beri ASI dahulu,” ucap Karina. Ilona menoleh dan kaget saat tahu menantunya sudah sampai di sana. “Memangnya kamu sudah membaik?” tanya Ilona. Terlihat jelas mata Karina masih sayu dan suaranya pun lirih. Meski demikian, wanita itu mengangguk dan duduk di sofa. “Tidak apa-apa,” jawab Karina, kemudian meraih Evelyn dan mulai menyusuinya.Beruntung, Karina tidak terjangkit batuk ataupun pilek sehingga tidak berpotensi menulark
“Cium?” Mark bertanya. “Cium Papa?” Adimas mengangguk membenarkan. Senyumnya mengulas senyum tipis. “Iya, cium Papa. Di sini.” Dia menunjuk pipinya yang mulus. Tampak siap menerima kecupan dari bocah itu. Namun, Mark justru menggeleng dan menunjukkan raut aneh seolah enggan melakukannya. “Tidak mau, Mark tidak mau cium Papa. Mark cuma mau cium Mama,” tutur bocah itu. Tak heran jika raut wajahnya terlihat aneh. Tampaknya, Mark sudah bisa membedakan jenis kelamin dan merasa aneh mencium sang ayah. Adimas kecewa. Dia memandang Mark dengan tidak percaya. “Ya, sudah. Tidak akan Papa bantu.”Dia bersiap berdiri, dan Mark langsung menahan jasnya. “Papa! Mark mau pipis!” ucapnya, semakin terdesak. “Ya makanya cium Papa dulu,” tutur Adimas. Bukannya mengulurkan tangan pada bocah itu, Adimas justru menyodorkan pipinya. Meminta bayaran di awal. Tetap, Mark menggelengkan kepala dan mulai menginjak lantai kamar mandi dengan tak sabar. “Ayo cepat, Pa! Mark mau pipis!” “Cium Papa dulu.”
Entah sudah berapa jam Bella mengelilingi vendor pernikahan yang direkomendasikan. Beberapa hari lalu, Jade sudah memberikan daftar konsep yang bisa mereka pilih. Kini, Bella harus memeriksa hal-hal lainnya. Agnes ditinggal di apartemen bersama seorang pengasuh terpercaya, sementara Bella terjebak di antara urusan pernikahan yang pastinya tidak sederhana. Kini, Bella sudah seperti olahraga jantung karena terus dikejutkan dengan harga yang disebutkan oleh Wedding Organizer mereka. “Jadi, kamu pilih yang mana?” Jade bertanya setelah mereka mengecek langsung serangkaian konsep yang ditawarkan. Bella tersenyum canggung kepada pemandu mereka, kemudian memberi isyarat kepada Jade. Akhirnya, mereka berjalan menjauh untuk mendapatkan privasi. “Bukankah kita hanya mengadakan perayaan kecil?” tanya Bella, setengah berbisik karena takut terdengar. Jade mengangguk, kemudian kembali menegakkan punggung.“Kita hanya memesan untuk seratus orang,” ucap pria itu. Bibir Bella lantas terbuka den
“Kau yakin tidak perlu mengajak mereka, Mas?” Karina bertanya dengan cemas. Siang itu, mereka tengah bersiap untuk pergi ke perayaan pernikahan Jade dan tiba-tiba Adimas memutuskan untuk tidak membawa Celine dan Evelyn. Karina, yang semula bersemangat untuk ikut, seketika menjadi ragu. Pasalnya, jarak ke gedung resepsi pun cukup jauh sehingga Karina tidak yakin untuk meninggalkan mereka selama itu. Namun, Adimas mengangguk tanda bahwa keputusannya sudah bulat. “Kamu sudah menyetok ASI yang cukup, ‘kan?” tanya pria itu. Karina mengangguk membenarkan. “Iya sih, tapi—” Sang suami menggelengkan kepala dan menaruh tangannya pada bahu wanita itu. “Mereka akan baik-baik saja,” ucap Adimas, berusaha meyakinkan, “Justru, kasihan jika kita harus mengajak mereka.” Perkataan Adimas tidak salah. Akhirnya, dengan terpaksa, Karina mengangguk setuju. “Kalau begitu, aku akan bersiap-siap sebentar,” ucapnya. Wanita itu baru hendak pergi saat tangannya tahu-tahu dicekal oleh sang suami. “Wak
Dua puluh tahun kemudian …. “Mama! Bang Mark lagi-lagi menggangguku di kampus!” ucap Celine dengan raut wajah kesal. Gadis yang kini berusia dua puluh tahun itu mendatangi meja makan dengan wajah kesal. Dia kemudian duduk di sisi saudara kembarnya, Evelyn. “Kenapa lagi, Celine?” tanya Karina. Meski kini usianya sudah memasuki kepala empat, rambut wanita itu masih hitam seluruhnya. Terlihat sedikit penuaan pada wajahnya, tetapi tak menghilangkan bekas-bekas kecantikannya. Bahkan, kini Karina terlihat sangat keibuan dengan wajah lembut dan senantiasa tenang itu. “Pasti Bang Mark mengganggu laki-laki yang mencoba mendekati Celine,” jawab Evelyn. Saudara kembar sekaligus kakak dari Celine. Usia mereka hanya berbeda beberapa menit. Keduanya kembar, tetapi gaya rambut, pembawaan, dan sikap yang berbeda membuat mereka mudah untuk dibedakan. Evelyn terlihat lebih kalem, sementara Celine memiliki emosi yang meledak-ledak. “Iya, Ma!” sergah Celine, kemudian duduk di kursi dengan sebal. “P
“Ma, yang benar saja! Masa Abang Mark yang akan mengurus kita?” keluh Celine kepada sang ibu. Ia dan Evelyn tengah berkumpul di kamar sang ibu dan menyaksikan Karina memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Hal itu membuat Celine semakin ketar-ketir. “Bukan Abang, nanti Bik Lastri dan Bibi lainnya yang akan mengurus kalian,” ucap Karina seraya tersenyum lembut. Sebenarnya, wanita itu pun siap tidak siap untuk perjalanan ini. Ke mana Adimas bilang? Melbourne? Karina belum pernah menginjakkan kaki di sana. “Tapi, tetap saja, Ma!” Celine bersikeras. Membayangkan pria seperti Mark yang akan mengatur mereka sudah membuat Celine merasa jengkel. “Kenapa Celine tidak suka kalau abang yang mengatur?” Karina bertanya.“Pasti karena nanti Abang Mark mengomentari penampilannya.” Evelyn menambahkan seraya terkekeh pelan. Celine semakin mencebik sebal. Hal itu tidak salah. Mark memang sangat protektif kepada adik-adiknya. Dia tidak heran jika tahu-tahu Mark akan datang menjemput mereka di kampu
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki