“Apakah sesuatu terjadi?” Adimas berjalan keluar dari kamar mandi seraya bertanya. Rambut pria berusia empat puluhan itu terlihat masih basah. Berkat olahraga rutin dan pola hidup yang terjaga, tubuh Adimas masih terlihat sangat bugar dan atletis meski usianya sudah kepala empat. Sekilas, ia bisa mendengar Karina menghubungi Austin dan anak-anak di rumah. Kini, bukannya senang, raut wajah Karina justru terlihat cemas. “Di sana sudah malam, tapi Mark belum pulang,” tutur wanita itu. Adimas melirik singkat pada jam weker di atas nakas. “Jam dua belas. Berarti di sana masih jam delapan.” Adimas memberitahu. “Dia pasti akan segera pulang.” Biasanya pun Mark pulang pukul sepuluh. Namun, tiap kali pulang terlambat, pria itu pasti memberitahunya.Karina ataupun Adimas tak pernah mengekang pria itu. Namun, Mark selalu memberitahu seandainya dia akan pulang di atas pukul sepuluh. Kini, entah mengapa perasaan Karina menjadi tidak enak. Masih bertelanjang dada dan hanya dengan handuk pu
“Maaf sebelumnya, Pak,” ucap Adimas dengan sopan, “Bisakah seseorang menceritakan kejadiannya secara rinci? Dari awal sampai akhir,” tuturnya. Sejak tadi, semua orang berbicara sahut-sahutan, tetapi tak ada yang menjelaskan secara lengkap dan rinci hingga Adimas tak bisa menyimpulkan. Namun, yang berdiri justru Mark.“Aku tidak melakukan apa pun, Pa,” ucapnya, berusaha membela diri. “Diam, Mark!” Adimas memperingatkan dan menoleh tajam ke arah sang putra. “Bukan itu yang mau Papa dengar,” katanya. Suasana menjadi hening. Tak ada satu pun dari mereka yang mengira Adimas akan membentak putranya sendiri. Bahkan Mark terlihat terkejut hingga dia kembali duduk dengan wajah pasi. Akhirnya, kepala desa yang membuka suara. Menceritakan bagaimana semalam hujan teramat deras dan saat pagi, mereka sudah menemukan mobil Mark ada di sisi jalan. Rupanya, di dalam terdapat Mark dan Ayana, dalam keadaan setengah telanjang. Ia langsung mengenalinya sebagai mahasiswa dari kampus yang mendatangi
Ayana tidak bisa fokus. Perasaannya tawar dan ia tak bisa berpikir jernih. Perhatiannya terus tertuju pada pesan terakhir yang ia dapat kemarin sore. “Aya, ayah kamu kejang lagi terus pingsan. Kamu bisa pulang ke rumah dulu?” Itu pesan dari bibinya dan Ayana langsung memutuskan untuk pulang ke kota kemarin. Namun, hal yang buruk justru terjadi dan semakin menunda kepulangannya.Karena itu, pada saat semua orang ribut-ribut, Ayana tak bisa berkata apa-apa. Pikirannya terus melambung tinggi pada kondisi sang ayah.Kini, setelah Ayana diizinkan pergi, dia langsung bergegas menuju halte bus. Jalannya sedikit tertatih karena rasa tidak nyaman di area kewanitaannya.“Aku masih di jalan, Bi. Tolong jaga Ayah sampai aku datang.” Kirim. Ayana hampir tiba di halte saat melihat sebuah bus yang dia tuju. Tanpa pikir panjang, Ayana mulai mengejarnya sekuat tenaga. “Pak, tunggu, Pak!!” Dia memanggil.Akan tetapi, bus itu melenggang pergi begitu saja seolah tak mendengar Ayana. Ayana tak menye
"Apa yang kau lihat?" Karina bertanya saat menemukan sang suami tengah memandangi beberapa lembar kertas dengan serius. Mereka tak kembali ke Melbourne. Pada akhirnya, Adimas mengirim utusan dari perusahaan untuk mewakilinya. Beruntung, koleganya di sana bisa memaklumi hal tersebut.Untuk saat ini, Adimas harus fokus pada Mark dan masalah yang dibuat putranya. "Ini data diri gadis itu," ucap Adimas. Menunjukkan dengan lebih jelas kepada Karina yang berdiri di belakang kursinya. Setelah mereka kembali, Adimas langsung meminta pihak kampus untuk memberikan informasi mengenai gadis itu.Karina memperhatikan sekilas. Namanya Ayana Hafsah Izzati. Usianya satu tahun di bawah Mark dan mendapatkan beasiswa di kampus yang sama dengan Mark. Ayahnya serabutan, sementara ibunya adalah penjual baju di pasar. "Apakah kau merasa terganggu dengan latar belakangnya?" Adimas bertanya. Mengingat keluarga Ayana yang jelas bumi langit perbedaannya dengan keluarga mereka. Karina menggelengkan kepala.
Akhirnya, Mark bisa kembali ke rumahnya dengan tenang. Ia tahu ia bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Tanpa bantuan sang ayah. Namun, mengapa Ayana menolak uang yang ia tawarkan? Padahal, dia hanya gadis miskin yang pasti membutuhkannya.Mark menggelengkan kepala dan mengangkat bahu dengan acuh tak acuh."Itu pasti karena gengsinya terlalu tinggi," gumam pria itu seraya melenggang ringan ke dalam rumah. Orang pertama yang ia temui adalah Austin yang tengah bermain rubik di depan televisi. Adik bungsunya yang sudah terlihat tampan sejak kecil itu seketika terkejut melihat kehadiran Mark.Bukannya apa, tetapi Mark belum pulang semenjak insiden tersebut. "Abang sudah pulang!" serunya dengan antusias. Jika Celine dan Evelyn ada di rumah, sudah pasti gadis-gadis itu akan bergegas menghampiri Mark. Mereka sudah menunggu sejak kemarin-kemarin. Namun, mereka tidak di rumah. Kali ini, hanya Karina yang langsung datang menghampiri. Namun, wajahnya terlihat sedikit cemas. "Apakah
Mark selalu menganggap dirinya sebagai pria sejati. Sejak kecil, impiannya adalah menemukan wanita yang cocok menjadi cinta sejatinya. Untuk mencapai hal itu, Mark fokus belajar dan mengembangkan potensi dirinya. Ia sangat pemilih dan tidak mudah jatuh hati pada wanita meski banyak wanita tenggelam dalam pesonanya. Mark memiliki standar. Pria itu pun senantiasa melindungi adik-adiknya, terkhusus adik perempuannya. Akan tetapi, kini ia menyadari bahwa ternyata ia tak setegas itu. Setelah mengetahui kebenaran melalui rekaman kotak hitam itu, seharusnya Mark mendatangi Ayana di kediamannya. Akan tetapi, ia tak memiliki nyali yang cukup untuk melakukannya. Ia justru pergi ke bar, berharap tempat itu bisa menjernihkan pikiran dari bising suara yang terus menyalahkannya. Kendati pria itu pergi ke bar, ia tak memesan minuman beralkohol. Mark merasa takut. Tiap melihat minuman yang bisa melemahkan pikirannya, Mark akan langsung teringat pada Ayana. Gadis yang sudah ia rusak. Kini, Mark
Ayana sangat membenci seorang Mark Baradean Nelson. Pria itu yang membuatnya tak dapat mendampingi sang ayah malam itu. Dia juga yang membuat Ayana terancam dihempas keluar dari kampus. Jika ada satu orang yang paling dia benci di dunia ini, dia adalah Mark Baradean Nelson. Akan tetapi, kini tubuh Ayana diselimuti oleh rasa dingin menusuk. Perutnya keroncongan dan matanya sakit karena terus menangis.Ia hanya ingin memiliki tempat tinggal agar dapat tidur nyenyak.Tanpa pikir panjang, gadis itu mengangguk menerima tawaran Mark."Aku mau," jawabnya. Mark masih memegangi payung untuk melindungi Ayana, padahal punggungnya sudah basah kuyup. Mark mengulurkan tangannya yang bebas kepada Ayana. "Ayo berdiri," ucapnya. Ayana tak langsung melakukannya. Dia memandang pada tangan besar Mark yang terlihat halus. Lagi, pikirannya tertuju pada sang ayah yang selalu membantunya untuk bangkit tiap Ayana terjatuh. Gadis itu terisak satu kali, kemudian menyambut uluran tangan Mark. "Kita cari
"Apa itu, Pa?" Bella bertanya saat melihat Jade menatap layar ponsel dengan serius.Jade sudah pulang sejak beberapa saat lalu. Pria itu pun tampak santai dalam piyamanya. Akan tetapi, raut wajah pria itu terlihat heran. "Undangan pernikahan," tutur Jade. "Benarkah? Siapa?" Bella mendekati suaminya dengan penasaran. Sudah lama Bella tidak menghadiri perayaan pernikahan. Jade tidak menjawab, dan Bella membaca sendiri nama yang muncul pada layar ponsel suaminya."Mark Baradean Nelson." Wanita itu bergumam, kemudian membelalakkan mata. "Mark!? Maksudnya, Mark Kak Karina? Kapan dia akan menikah?!" Bella kembali melihat pada layar ponsel Jade dan matanya membelalak semakin lebar. Besok. Undangan itu diberikan oleh Adimas dan tidak dibuat secara formal. Jantung Bella seakan dihujam dengan panah menerima berita ini. "Kenapa sangat tiba-tiba, Pa?" Bella bertanya. Jade menggelengkan kepala. Berbeda dengan Bella yang terperanjat kaget, pria itu terlihat serius. "Sepertinya ada sesuat
Empat bulan kemudian …. “Kamu yakin bisa pergi, Ayana?” Mark bertanya dengan cemas. Ia menatap pada istrinya yang duduk di depan meja rias. Ayana menjawab dengan anggukan. “Ini adalah wisuda kita, mana mungkin aku tidak datang?” tanya Ayana, kemudian lanjut merias dirinya. Mark menghela napas panjang dan berjalan mendekati sang istri. Dia menaruh tangannya di atas bahu Ayana. “Tapi, kandungan kamu sudah besar. Dokter bilang perkiraan lahirnya sebentar lagi, bukan?” tanya Mark, tidak dapat menyembunyikan kecemasannya. Mendengar itu, Ayana beranjak bangkit dari kursinya dan terlihat jelas perutnya yang sudah membungkit sempurna. Tampak siap untuk melahirkan. “Masih ada sisa waktu empat hari sampai hari perkiraan lahir,” ucap gadis itu, “Aku sudah menunggu-nunggu untuk wisuda ini. Biarkan aku ikut, ya? Ya?” tanyanya. Seharusnya mustahil bagi perempuan dewasa yang sudah hamil untuk terlihat seperti anak kucing, tetapi Ayana benar-benar menatap Mark dengan penuh harap hingga p
Andreas tidak mengizinkan Cakra pergi bersama Mark dan Ayana. Pria itu menuntut penjelasan dari Cakra yang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Sebagai trio, Andreas selalu merasa dirinya terbelakang. Bahkan saat Mark mengakui Ayana sebagai istrinya, Cakra telah mencurigai hal itu terlebih dahulu. Akhirnya, hanya ada Ayana dan Mark di dalam mobil pria itu. Selama perjalanan pulang, Ayana tidak berhenti tersenyum. “Apa yang lucu?” Mark bertanya, tidak tahan melihat istrinya yang sejak tadi senyam-senyum seorang diri. Ayana menggeleng, tetapi senyumnya bertambah lebar. “Tidak apa-apa, hanya saja kisah mereka membuatku terharu,” ucap gadis itu, “Aku tidak menyangka Cakra bisa mengucapkan kata-kata romantis seperti itu.” Ayana memuji, kemudian tersenyum lebih lebar. Selama ini, Ayana mengenal Cakra sebagai satu-satunya pria yang normal di antara tiga sahabat itu. Andreas terkenal sering memainkan perasaan wanita, sementara Mark lebih banyak diam. Ditambah, fakta bahwa koneks
“... apa?” Cakra bertanya. Pria itu berkedip satu kali dan menatap tak percaya ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum saat pandangannya jatuh ke bawah, terlihat malu sekaligus pahit. “Aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar akan melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucap Chika, “Aku tahu ini mungkin tidak penting untukmu, tapi aku merasa harus memberitahunya.” Setelah beberapa kali meminta, ayahnya akhirnya mengizinkan Chika untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Ia dan Cakra tidak pernah dekat sebelumnya. Mereka hanya sering bicara saat Chika mulai mencari Sandi. Namun, entah mengapa, saat pertama Chika mendapat izin, satu-satunya yang terlintas dalam benak perempuan itu adalah memberitahu Cakra. Kini, ia merasa malu sekaligus menyesal. Chika tahu ia pasti terlihat aneh, tahu-tahu memberi kabar seperti itu seolah dirinya penting. Di luar dugaan, wajah Cakra terlihat tawar dan sedikit kecewa. “Mengapa? Bukankah Ayana sudah memaafkanmu berkat Sandi kemarin?” tanya pria itu.
“Bapak lihat Mark?” Ayana bertanya kepada satpam yang berjaga di kediaman mereka. Sesuai kesepakatan, pagi itu mereka akan pergi ke pemakaman ayah Ayana. Namun, saat Ayana bangun pagi ini, ia justru tidak dapat menemukan suaminya itu di mana pun. “Tuan Mark pergi dengan mobilnya pagi-pagi sekali, Nyonya,” jawab satpam itu. Alis Ayana mengernyit dalam. Tak biasanya Mark pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun. Gadis itu kembali berjalan ke dalam rumah sembari mengecek ponselnya, tetapi tidak ada pesan apa pun dari Mark. Ke mana perginya pria itu? “Ada apa, Kak?” Suara Sandi terdengar. Pria itu baru saja turun dari lantai dua. Tadi malam, Ayana memaksa Sandi untuk menginap sesuai rencana mereka. Kini, justru Mark yang tidak tahu keberadaannya. Ayana menggelengkan kepala. “Bukan apa-apa,” jawabnya, “Kita harus sarapan sebelum pergi,” ajak gadis itu. Keduanya berjalan menuju dapur dan Sandi kembali menyadari keanehan saat mereka hanya menyantap sarapan berdua. “Di mana kakak ipa
Wajah Ayana menjadi kecut. Dengan gugup, Ayana melirik ke arah Mark, kemudian mengangguk membenarkan pertanyaan Sandi. Pemuda itu tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia memandang Ayana dan suaminya bergantian, masih tidak menyangka jika kakak perempuannya itu benar-benar sudah bersuami. “Ayana banyak bercerita tentangmu,” ucap Mark, menunjukkan senyum ramah, “Bagaimana kalau kita berbincang di rumah?” Sebelum pergi, Ayana kembali menghampiri Chika dan Cakra yang menghampiri mereka. Ia tersenyum ke arah perempuan itu. “Terima kasih,” ucapnya, “Aku bisa bertemu kembali dengan Adikku berkat bantuanmu,” lanjut Ayana. Chika sedikit tertegun. Ia tak menyangka jika Ayana akan berterima kasih secara langsung. Ia sendiri selalu merasa gengsi untuk mengatakannya. Akhirnya, Chika mengangguk. “Kuharap itu balasan yang sepadan untuk kesalahanku,” ucapnya. Mark mengajak Chika dan Cakra untuk turut bersama mereka ke kediamannya, tetapi keduanya menolak. Hingga Sandi menemukan keaneh
Sejak insiden itu, hubungan Chika dan Ayana menjadi kian renggang. Keduanya masih duduk bersisian, tetapi amat jarang bertukar sapa. Kini, tepat setelah mata kuliah selesai, tiba-tiba wanita itu menghampiri Ayana yang tengah bersama Mark. Melihat kedatangan Chika sukses membuat Mark menjadi waspada. Pria itu dengan sigap pasang badan di hadapan Ayana. “Apa yang ingin kau lakukan?” Mark bertanya, menatap lurus ke arah Chika. Perempuan itu tersenyum getir, sadar jika ia benar-benar telah bersikap buruk hingga dicap sebagai orang yang mampu membahayakan Ayana. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kewaspadaan Mark terhadap dirinya sama sekali tidak berkurang. Chika menggelengkan kepala. “Aku ingin bicara dengan Ayana,” ucapnya, terdengar segan. Mark dan Ayana seketika bertukar tatapan dengan heran. Pria itu terlihat enggan untuk mengizinkan, tetapi Ayana memberi isyarat hingga akhirnya Mark sedikit menyingkir, membiarkan Ayana berhadapan langsung dengan wanita berambut pendek itu.
Tak jauh dari pusat kota, terlihat sebuah proyek yang tengah dibangun. Para pria yang mengenakan rompi keselamatan kerja berlalu-lalang, terus tekun bekerja di bawah terik matahari. Pasir, debu, dan semen beterbangan di udara, tetapi semua orang seakan terbiasa dengan itu. “Sandi! Bawakan lima sak semen ke sini!” titah seorang pria paruh baya yang menjadi mandor di proyek tersebut. Sandi, yang semula tampak sibuk menata besi-besi itu lantas berdiri tegak.“Baik, Pak!” jawabnya.Dia pekerja paling muda di sana. Kulit pemuda itu kecokelatan karena terus terpapar sinar matahari. Keringat yang mengalir di pelipisnya tampak kotor oleh pasir dan debu, tetapi ia tidak menghiraukannya. Sandi menyusun lima sak semen dan mengangkat semuanya langsung di punggung, kemudian berjalan menuju tempat yang diminta. Ia hampir sampai saat tanpa sengaja kakinya menginjak batu. Batu itu tergulir dan membuat Sandi kehilangan keseimbangan hingga jatuh bersama lima sak semen di punggungnya. BUK Suara it
“Sepertinya dia kecewa kepada Ibu dan memutuskan untuk pergi. Sejak itu, Ibu tidak pernah berhasil menemukan Sandi,” tutur Wati, mengakhiri ceritanya. Air mata sudah mengering di pipinya, tetapi matanya masih memerah bekas menangis dan napasnya sesenggukan. Beberapa saat lalu, Ayana berhasil mendesak Wati untuk menceritakan awal mula hilangnya Sandi. Meski terasa berat, Wati berhasil menceritakannya dan kini ketiganya membungkam. “Ini foto terakhir yang Ibu ambil sewaktu dia kelulusan,” tutur Wati, menyerahkan sebuah foto ke arah Ayana. Gadis itu menerimanya dan napasnya tercekat melihat Sandi. Saat mereka berpisah dahulu, adiknya itu masih kecil, bahkan jauh lebih pendek daripada Ayana. Namun, sosok Sandi di foto itu telah bertumbuh pesat. Kini dia tinggi, terlihat tampan dan sangat mirip dengan ayahnya. Wajah Ayana diliputi kecemasan membayangkan adiknya mengadu nasib di dunia luar. Seorang diri. “Bagaimana dengan informasi yang diberikan Chika? Apakah dia berbohong?” Mark be
Chika menyeret langkahnya keluar kelas. Pada akhirnya, ia berhasil bertahan selama kelas hari itu. Bahkan, Ayana duduk tepat di sisinya. Gadis itu tidak menunjukkan aura permusuhan, tetapi juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, air mata Chika sudah sepenuhnya mengering, tetapi ingatan itu masih membekas dalam ingatannya. Sepanjang berjalan, pandangan Chika terus tertuju ke arah bawah. Ia berusaha mengabaikan komentar dan pembicaraan yang terang-terangan membahas dirinya.Hingga langkah perempuan itu berhenti saat melihat sepasang sepatu yang berdiri tepat di hadapannya. Perlahan, Chika mendongak. Ia sudah cemas akan menerima bullyan lagi, tetapi alisnya mengernyit saat ia justru menemukan wajah Cakra. Pria itu menatap lurus ke arahnya. Dia membuka bibirnya dan siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi Chika lebih dahulu menyela. “Aku tahu,” ucapnya, “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Kamu akan memberiku peringatan akan pembalasan Mark dan memintaku untuk tidak menyaki