“Dokter, detak jantung pasien kembali.”Semua orang yang ada di sana terkejut mendengar perawat mengatakan detak jantung Miranda kembali. Athes dan Helen langsung menghampiri Miranda, menatapnya penuh dengan harap. Pun sang dokter segera memeriksakan keadaan Miranda.Tampak Athes dan Helen tidak bisa tenang. Mereka terus menatap Miranda yang tengah dalam pemeriksaan. Meski detak jantung Miranda telah kembali, wajah mereka masih terlihat begitu takut. Bahkan terlihat jelas Athes terlihat sangat frustrasi.Namun, tiba-tiba di saat dokter tengah memeriksa keadaan Miranda tanpa sengaja tatapan Athes teralih pada jemari Miranda yang mulai bergerak perlahan. Raut wajah Athes terkejut. Dia langsung menghampiri Miranda. Mengabaikan sang dokter yang tengah memeriksakan keadaan Miranda.“Sayang, aku tahu kau mendengarku. Buka matamu, Miranda. Demi aku dan Audrey. Buka matamu, Sayang.” Athes memeluk Miranda. Dia tak memedulikan air matanya jatuh menyentuh kulit Miranda. Mengabaikan dokter dan pe
Sudah tiga hari Miranda siuman. Selama masa pemulihan Miranda begitu dijaga ketat oleh dokter. Tentu saja ini karena Athes selalu mencemaskannya. Setiap hari Athes meminta dokter memastikan bahwa Miranda dan kandungannya baik-baik saja.Beruntung, memang keadaan Miranda mulai berangsur membaik. Kemarin, Audrey, putri mereka telah diperbolehkan pulang. Karena memang Audrey sudah lebih dulu siuman. Itu kenapa Audrey sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Saat Audrey masih berada di rumah sakit, setiap harinya Miranda begitu mencemaskan putri kecilnya itu. Pun Athes masih belum memberikan Miranda bertemu dengan Audrey. Pasalnya, Athes tidak ingin Audrey melihat keadaan Miranda yang sakit dan masih berwajah pucat.Tepatnya hari ini, ketika wajah Miranda sudah jauh lebih baik—Athes memperbolehkan Miranda bertemu dengan Audrey. Terpaksa Athes membohongi Audrey. Dia mengatakan pada putri kecilnya itu bahwa Miranda akan menemui Audrey jika Audrey telah pulih. Terbukti apa yang diucapkan oleh
Athes melangkah keluar dari ruang dokter, menuju ruang rawat Miranda. Sesaat dia melirik arlojinya sekilas—waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tadi pagi dokter sudah ke ruang rawat Miranda, mengatakan Miranda sudah diperbolehkan pulang ke rumah.Akan tetapi Athes tak bisa langsung tenang begitu saja. Dia mendatangi ruang dokter, memastikan keadaan Miranda. Dia tidak mau sampai terjadi sesuatu pada Miranda. Terlebih kondisi Miranda yang tengah mengandung. Membuat Athes tentu semakin overprotective.Saat Athes baru saja tiba di ruang rawat Miranda, langkah kaki Athes terhenti melihat Darren yang ada di depan ruang rawat Miranda. Mereka saling menatap dingin satu sama lainnya. Kini Athes melangkah mendekat ke arah Darren.“Kenapa kau tidak masuk ke dalam?” Suara Athes bertanya dengan nada dingin dan raut wajah tanpa ekspresi. Menatap Darren yang berdiri di hadapannya.“Di dalam ada Helen dan Dakota yang menemani Miranda dan Audrey,” jawab Darren dengan nada datar dan dingin. “Aku ingin
Marco turun dari mobilnya. Dia mengancingkan jasnya—lalu melangkahkan kakinya memasuki sebuah rumah sakit jiwa—ada seseorang yang Marco ingin temui di rumah sakit ini. Baru saja dia kembali dari Singapore, pria itu langsung mengunjungi rumah sakit ini kala mendengar suatu berita yang benar-benar membuat amarahnya tak tertahan.“Selamat siang, Tuan. Apa Anda Tuan Marco yang sebelumnya menghubungi saya?” tanya sang perawat dengan sopan seraya menatap Marco yang berdiri di hadapannya.Marco menganggukkan kepalanya. “Bagaimana keadaan Valerie?” tanyanya dingin dengan sorot mata tajam.Tujuan Marco ke rumah sakit jiwa ini karena dia ingin bertemu dengan Valerie. Saat Marco berada di Singapore, dia sudah mendengar berita Valerie menculik Audrey. Pun dia mendengar Miranda dan Audrey jatuh dari tebing. Meski Marco tidak berada di Roma tapi Marco selalu mendengar kabar tentang Miranda dan Audrey dari anak buahnya.“Keadaan Nona Valerie terbilang buruk, Tuan. Setiap malam dia hanya berteriak te
Kediaman mewah milik Athes tampak begitu ramai dengan banyaknya para keluarga yang datang. Beberapa pelayan sejak tadi mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan.Hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Miranda dan Athes. Hari di mana Miranda dan Athes akan mengucapkan janji pernikahan.Setelah begitu banyaknya masalah yang menghampiri mereka nyatanya mereka berhasil melalui semua itu. Air mata penderitaan kini telah tergantikan dengan kebahagiaan.“Nona Miranda. Anda cantik sekali. Kulit wajah Anda sangat halus dan terawat,” ujar sang makeup artist yang tengah merias wajah Miranda.Kini Miranda tengah duduk di depan meja rias. Sang makeup artist terkenal yang khusus didatangkan demi memoles wajah Miranda di hari pernikahan tampak sempurna. Walau sebenarnya, Miranda tidak membutuhkan riasan tebal. Wanita itu memiliki wajah yang mirip layaknya boneka. Mata yang besar nan indah. Bulu mata lentik. Hidung mancung dan mungil. Serta rambut pirang panjangnya yang
“Nona Audrey, ayo kita ke Tuan Athes dan Nyonya Miranda. Nanti mereka mencarimu, Nona,” kata Meri—pengasuh Audrey yang sejak tadi terus menemani Audrey yang kini tengah memakan cake.“Nanti saja. Aku ingin di sini,” jawab Audrey dengan riang.“Bagaimana kalau kita ke Tuan Darren dan Nyonya Helen? Tadi Nyonya Miranda berpesan agar Nona tidak jauh-jauh dari Tuan Darren dan Nyonya Helen,” ujar Meri yang mulai gelisah.Sebelumnya Miranda telah berpesan pada pengasuh Audrey agar tidak membawa jauh-jauh Audrey dari Darren dan Helen selama proses resepsi pernikahan. Namun, nyatanya Audrey mudah sekali bosan.Sejak tadi Audrey lebih menyukai berkeliling mencari makanan manis kesukaannya. Padahal sang pengasuh itu sudah memberi tahu Audrey untuk tidak perlu berkeliling. Para pelayan tentu akan menghidangkan makanan untuk Audrey, tapi tetap saja Audrey menolak. Seperti saat ini, Audrey tengah berjalan-jalan sambil memakan cake yang ada di tangannya.Hal yang membuat Audrey bosan karena sejak ta
“Marco.”Angela bergumam pelan memanggil pria yang begitu dia kenal. Tatapannya menatap Marco dengan lekat dan tersirat penuh arti. Namun kekelaman dan kepedihan seolah hanyut dalam netra mata amber Angela. Bagaikan air yang telah membeku karena diterpa badai salju.Sedangkan Marco yang masih menggendong Audrey tatapannya menatap sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya. Rambut cokelat panjang yang tergerai begitu indah. Tinggi semampai bagaikan model internasional. Kala netra mata Marco bertemu dengan netra mata Angela tersirat menunjuk percikan-percikan yang bermakna begitu dalam terlihat di pancaran keduanya orang itu.“Apa kabar, Angela? Lama tidak bertemu.” Marco akhirnya menyapa dengan suara pelan dan tersirat tegas.Ya, sapaan Marco pada Angela sukses membuat Athes dan Miranda menatap keduanya. Tatapan tersirat penuh arti. Bahkan Athes dan Miranda tidak menyangka Marco dan Angela saling mengenal.“Kalian saling mengenal?” sapa Athes seraya melihat Marco dan Angela bersama
Marco duduk di kursi kebesarannya dan menyandarkan punggungnya ke kursi seraya mengetuk pelan jemarinya ke atas meja. Pandangan Marco lurus ke depan seperti tengah memikirkan sesuatu hal. Tampak raut wajah pria itu begitu dingin. Hingga saat suara ketukan pintu terdengar—Marco langsung mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu dan menginstruksi untuk masuk.“Tuan Marco.” Efrat, asisten Marco melangkah mendekat pada Marco. Dia menundukkan kepalanya kala tiba di depan Marco.“Apa kau sudah tahu tentang Angela?” Suara Marco bertanya dengan nada dingin dan tatapan yang tak lepas pada asistennya yang berdiri di hadapannya itu.Bisa dikatakan ini adalah hal yang gila. Setelah sekian lama Marco tidak bertemu dengan Angela, dia malah ingin tahu kehidupan Angela. Terlebih kala Angela telah memiliki seorang putra yang sudah besar. Marco menafsir, usia Xander sudah di atas 10 tahun. Hal itu yang membuat rasa penasaran Marco semakin bertambah.“Sudah, Tuan. Saya sudah tahu tentang kehidupan
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda