Suara dering ponsel terdengar membuat Miranda yang tengah menyelesaikan naskahnya langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Kini Miranda mengambil ponselnya, dan menatap ke layar.Seketika kening Miranda berkerut melihat nomor telepon sekolah Audrey muncul di sana. Raut wajah Miranda berubah menjadi cemas. Pasalnya putrinya masih baru saja pulih. Tanpa menunggu Miranda langsung menerima panggilan itu.“Hallo?” jawab Miranda saat panggilannya terhubung.“Nyonya Miranda. Saya Ayumi, guru Audrey. Audrey hari ini tidak masuk. Apa Audrey masih sakit, Nyonya?” ujar Ayumi dari seberang line yang sontak membuat Miranda terkejut. “Apa maksudmu? Tadi pagi aku sudah mengantar Audrey. Bagaimana bisa Audrey tidak datang ke sekolah?” cerca Miranda yang langsung bangkit berdiri dan bergerak gelisah.“Nyonya, hari ini Audrey tidak datang ke sekolah. Apa Nona memberikan ponsel pada Audrey? Mungkin Anda bisa menghubungi Audrey,” jawab Ayumi memberi saran. Tanpa berkata, Mirand
Miranda terus menangis kala bibir Athes tidak henti mencium bibirnya. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Miranda mendorong keras tubuh Athes. Namun sayangnya semakin Miranda menolak semakin Athes memaksa dirinya. Miranda ingin sekali menjauh, kenyataannya bibir Athes telah melumpuhkannya.Miranda pikir degupan jantung yang berpacu kencang tidak lagi ada jika bertemu dengan Athes. Tapi kenyataannya salah. Degupan kencang jantung Miranda masih tetaplah sama. Sama seperti dirinya pertama kali bersentuhan dengan pria itu. Desiran perasaan yang menggebu masih tetap sama.“Akh—” Miranda menggigit bibirnya menahan desahan lolos di bibirnya kala Athes menysup ke dalam bra-nya. Miranda tidak tahu kapan Athes melepas kancing dress atasnya. Miranda mengumpat dalam hati kala tidak bisa menahan desahan di bibirnya.“Aku tahu kau merindukanku. Sama sepertiku, Sayang.” Dengan berani Athes melepas pengait bra Miranda. Hingga terekspos gundukan kembar di dada Miranda yang begitu indah. Ukurannya jauh l
Miranda menatap Audrey yang tertidur pulas di sampingnya. Gadis kecilnya itu terlihat begitu bahagia. Tidak ada lagi kesedihan di mata putri kecilnya. Sungguh, sebagai seorang Ibu tentu Miranda sangat bahagia kala melihat putrinya bahagia. Tidak bisa dipungkiri kehadiran Athes dalam sosok Audrey membuat segalanya berubah.Sejak dulu Audrey tidak pernah sedikit pun berhenti menanyakan tentang ayahnya. Miranda tahu dirinya bersalah karena membohongi putrinya dengan mengatakan Athes sudah tidak ada. Namun, saat itu Miranda tidak bisa melakukan apa pun. Miranda pikir Audrey akan berhenti bertanya tentang ayahnya jika dia mengatakan Athes tidak lagi ada, tapi ternyata Miranda salah. Audrey terus dan terus bertanya tentang ayahnya. Miranda bisa saja memilih untuk menikah lagi dan memberikan sosok ayah untuk Audrey. Namun kenyataannya Miranda tidak bisa membuka hatinya untuk pria mana pun. Kebenciannya pada Athes begitu dalam. Sama seperti dengan cintanya yang dalam. Selama lebih dari lima
Tokyo International Playgroup. Athes melajukan mobilnya memasuki halaman parkir di sekolah Audrey. Tepat saat mobilnya sudah terpakir, dia lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk Miranda dan Audrey. Miranda dan Audrey pun turun dari mobil. Dengan wajah riang dan bahagia tangan mungil Audrey digenggam oleh Athes dan Miranda masuk ke dalam sekolahnya.“Hi, Audrey.” Seorang gadil kecil cantik berwajah Asia melangkah menghampiri Audrey yang baru saja masuk ke dalam sekolah.“Hi, Aiko.” Audrey menyapa dengan senyuman hangat di wajahnya. “Aiko, aku ingin mengenalkanmu. Ini mama dan papaku. Papaku sudah pulang.”Aiko membungkukkan kepala, sebagai salam hormat budaya Jepang. “Selamat pagi, Paman dan Bibi.”“Pagi, Aiko.” Miranda dan Athes pun membalas saat Aiko dengan hangat.“Audrey, Sayang. Masuklah. Nanti kau terlambat,” ujar Miranda seraya mengelus pipi Audrey.Athes menundukkan tubuhnya, mensejajarkan dengan tubuh Audrey. “Masuklah, Sweetheart. Papa ingin meliha
Athes menatap Miranda yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Wajah yang cantik, bulu mata lentik, hidung mancung dan mungil serta bibir ranum nan penuh dan indah membuat Miranda pantas mendapatkan banyak pujian dari orang-orang yang melihatnya.Berparas sempurna, tentu Athes yakin banyak pria yang menginginkan wanitanya itu. Hanya saja, hari ini Miranda membuktikan bahwa selama lima tahun Miranda tidak pernah berkencan dengan pria mana pun. Milik Miranda masih sangat sempit, sama seperti pertama kali Athes menyentuh wanita itu.Kini Athes membawa tangannya menyentuh seluruh wajah Miranda. Menulusuri setiap jengkal kulit indah dan mulus wanita yang begitu dia cintai itu. Hati Athes menjadi tenang. Karena Miranda hanya akan menjadi miliknya. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di depan. Dia akan tetap memperjuangkan Miranda dan Audrey, putrinya.“Hmmmm.” Miranda menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Perlahan saat Miranda membuka kedua matanya, tatapan pertam
Suara dering ponsel terdengar, membuat Athes yang tengah membaca email di iPad-nya terpaksa harus mengalihkan pandangan pada ponsel yang terletak di atas meja. Sesaat kening Athes berkerut kala melihat ponsel Miranda tidak henti berdering.Athes hendak memanggil Miranda, namun tentu saja wanita itu tidak mendengarnya. Pasalnya sudah lebih dari dua puluh menit Miranda memilih berendam. Pria itu tahu Miranda akan selalu lama berendam. Tidak ada pilihan lain, kini Athes mengambil ponsel Miranda dan menatap ke layar, melihat siapa yang menghubungi kekasihnya itu.Namun saat Athes baru saja menatap ke layar, raut wajah Athes langsung berubah. Iris mata cokelatnya berubah menjadi tajam. Rahangnya mengetat. Pancaran kemarahan begitu terlihat jelas di sana ketika nomor ponsel Marco yang muncul di layar. Dengan raut wajah yang dipenuhi amarah, Athes lansung menjawab telepon itu.“Miranda? Kau di mana? Aku di rumahmu, tapi pelayan mengatakan sudah beberapa hari ini kau dan Audrey tidak pulang.
Darren menginjak gas, menambah laju kecepatan mobilnya. Kesabarannya sudah habis menunggu. Kali ini dia harus bertemu dengan Athes. Tidak peduli dengan apa pun yang terjadi karena bagi Darren, Athes tetap buka pria yang tepat untuk adiknya. “Sayang, pelan-pelan. Jangan mengebut seperti ini,” ujar Helen yang duduk di samping Darren. Raut wajahnya menjadi pucat ketakutan. Pasalnya Darren tidak memedulikan keselamatan.“Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak ikut, Helen. Kenapa kau tetap saja ikut denganku?” seru Darren kesal, dan sorot mata yang begitu tajam memendung amarahnya.Helen mendesah pelan. Tentu saja dia ikut dengan sang suami. Karena jika tidak, suaminya itu akan membuat keributan besar. Helen mengerti Darren melakukan ini karena suaminya itu ingin melindungi Miranda.Mengingat masa lalu Miranda sangat menyakitkan dan tidak akan mungkin Darren melupakan begitu saja. Namun, bagaimanapun Miranda memiliki anak dengan Athes. Mungkin situasi berbeda jika Miranda tidak memiliki ana
Miranda meletakkan foto-foto masa kecil Audrey di meja ruang kerja Athes. Tidak hanya foto kecil Audrey, namun foto dirinya pun berada di sana. Tadi pagi Athes meminta foro-foto Audrey agar diletakkan di ruang kerjanya. Sebenarnya Miranda bisa saja meminta pelayan untuk menata foto-foto dirinya dan putrinya itu.Namun, Miranda tidak ingin. Khusus permintaan Athes ini, Miranda sendiri yang melakukannya. Lagi pula Miranda sekaligus ingin mengenang foto masa kecil Audrey. Sungguh Miranda tidak menyangka Audrey sekarang sudah bersekolah.Padahal dulu Miranda mengingat pertama kali Audrey merangkak dan pertama kali putri kecilnya itu bisa memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’. Dalam hidup menjadi seorang ibu adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini. Selalu mengawasi tumbuh kembang putrinya dari tahun ke tahun membuat Miranda sangat bahagia.“Jadi kau di sini?” Athes berdiri di ambang pintu ruang kerja yang berada di apartemennya, dia menatap Miranda yang sejak tadi melihat foto Audre