Tokyo International Playgroup. Athes melajukan mobilnya memasuki halaman parkir di sekolah Audrey. Tepat saat mobilnya sudah terpakir, dia lebih dulu turun dari mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk Miranda dan Audrey. Miranda dan Audrey pun turun dari mobil. Dengan wajah riang dan bahagia tangan mungil Audrey digenggam oleh Athes dan Miranda masuk ke dalam sekolahnya.“Hi, Audrey.” Seorang gadil kecil cantik berwajah Asia melangkah menghampiri Audrey yang baru saja masuk ke dalam sekolah.“Hi, Aiko.” Audrey menyapa dengan senyuman hangat di wajahnya. “Aiko, aku ingin mengenalkanmu. Ini mama dan papaku. Papaku sudah pulang.”Aiko membungkukkan kepala, sebagai salam hormat budaya Jepang. “Selamat pagi, Paman dan Bibi.”“Pagi, Aiko.” Miranda dan Athes pun membalas saat Aiko dengan hangat.“Audrey, Sayang. Masuklah. Nanti kau terlambat,” ujar Miranda seraya mengelus pipi Audrey.Athes menundukkan tubuhnya, mensejajarkan dengan tubuh Audrey. “Masuklah, Sweetheart. Papa ingin meliha
Athes menatap Miranda yang tengah tertidur pulas dalam dekapannya. Wajah yang cantik, bulu mata lentik, hidung mancung dan mungil serta bibir ranum nan penuh dan indah membuat Miranda pantas mendapatkan banyak pujian dari orang-orang yang melihatnya.Berparas sempurna, tentu Athes yakin banyak pria yang menginginkan wanitanya itu. Hanya saja, hari ini Miranda membuktikan bahwa selama lima tahun Miranda tidak pernah berkencan dengan pria mana pun. Milik Miranda masih sangat sempit, sama seperti pertama kali Athes menyentuh wanita itu.Kini Athes membawa tangannya menyentuh seluruh wajah Miranda. Menulusuri setiap jengkal kulit indah dan mulus wanita yang begitu dia cintai itu. Hati Athes menjadi tenang. Karena Miranda hanya akan menjadi miliknya. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di depan. Dia akan tetap memperjuangkan Miranda dan Audrey, putrinya.“Hmmmm.” Miranda menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Perlahan saat Miranda membuka kedua matanya, tatapan pertam
Suara dering ponsel terdengar, membuat Athes yang tengah membaca email di iPad-nya terpaksa harus mengalihkan pandangan pada ponsel yang terletak di atas meja. Sesaat kening Athes berkerut kala melihat ponsel Miranda tidak henti berdering.Athes hendak memanggil Miranda, namun tentu saja wanita itu tidak mendengarnya. Pasalnya sudah lebih dari dua puluh menit Miranda memilih berendam. Pria itu tahu Miranda akan selalu lama berendam. Tidak ada pilihan lain, kini Athes mengambil ponsel Miranda dan menatap ke layar, melihat siapa yang menghubungi kekasihnya itu.Namun saat Athes baru saja menatap ke layar, raut wajah Athes langsung berubah. Iris mata cokelatnya berubah menjadi tajam. Rahangnya mengetat. Pancaran kemarahan begitu terlihat jelas di sana ketika nomor ponsel Marco yang muncul di layar. Dengan raut wajah yang dipenuhi amarah, Athes lansung menjawab telepon itu.“Miranda? Kau di mana? Aku di rumahmu, tapi pelayan mengatakan sudah beberapa hari ini kau dan Audrey tidak pulang.
Darren menginjak gas, menambah laju kecepatan mobilnya. Kesabarannya sudah habis menunggu. Kali ini dia harus bertemu dengan Athes. Tidak peduli dengan apa pun yang terjadi karena bagi Darren, Athes tetap buka pria yang tepat untuk adiknya. “Sayang, pelan-pelan. Jangan mengebut seperti ini,” ujar Helen yang duduk di samping Darren. Raut wajahnya menjadi pucat ketakutan. Pasalnya Darren tidak memedulikan keselamatan.“Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak ikut, Helen. Kenapa kau tetap saja ikut denganku?” seru Darren kesal, dan sorot mata yang begitu tajam memendung amarahnya.Helen mendesah pelan. Tentu saja dia ikut dengan sang suami. Karena jika tidak, suaminya itu akan membuat keributan besar. Helen mengerti Darren melakukan ini karena suaminya itu ingin melindungi Miranda.Mengingat masa lalu Miranda sangat menyakitkan dan tidak akan mungkin Darren melupakan begitu saja. Namun, bagaimanapun Miranda memiliki anak dengan Athes. Mungkin situasi berbeda jika Miranda tidak memiliki ana
Miranda meletakkan foto-foto masa kecil Audrey di meja ruang kerja Athes. Tidak hanya foto kecil Audrey, namun foto dirinya pun berada di sana. Tadi pagi Athes meminta foro-foto Audrey agar diletakkan di ruang kerjanya. Sebenarnya Miranda bisa saja meminta pelayan untuk menata foto-foto dirinya dan putrinya itu.Namun, Miranda tidak ingin. Khusus permintaan Athes ini, Miranda sendiri yang melakukannya. Lagi pula Miranda sekaligus ingin mengenang foto masa kecil Audrey. Sungguh Miranda tidak menyangka Audrey sekarang sudah bersekolah.Padahal dulu Miranda mengingat pertama kali Audrey merangkak dan pertama kali putri kecilnya itu bisa memanggilnya dengan sebutan ‘Mama’. Dalam hidup menjadi seorang ibu adalah hal yang paling membahagiakan di dunia ini. Selalu mengawasi tumbuh kembang putrinya dari tahun ke tahun membuat Miranda sangat bahagia.“Jadi kau di sini?” Athes berdiri di ambang pintu ruang kerja yang berada di apartemennya, dia menatap Miranda yang sejak tadi melihat foto Audre
“Nyonya,” sapa seorang perlayan melangkah menghampiri Miranda yang tengah menatap list barang-barang yang harus dia bawa ke Roma.“Ya?” Miranda mengalihkan pandangannya, menatap pelayan yang berdiri di hadapannya.“Nyonya, apa barang-barang di rumah Anda akan di bawa semuanya ke Roma? Atau sebagian ditinggal?” tanya sang pelayan dengan sopan.“Aku sudah menyiapkan list barang-barang yang harus dibawa. Tidak perlu semuanya. Di list yang aku buat barang-barang yang aku ingin bawa semua ada di walk-in closet-ku. Begitu pun dengan barang-barang milik Audrey. Sisanya ditinggal saja di sini. Sewaktu-waktu kami berlibur ke Tokyo jadi tidak perlu lagi membawa banyak barang-barang.” Miranda berucap seraya memberikan list yang sebelumnya telah dia buat agar mempermudah sang pelayan mengemas barang-barang miliknya dan Audrey.“Baik, Nyonya,” jawab sang pelayan patuh.“Ah, satu lagi. Hari ini Audrey akan pulang sedikit terlambat karena hari ini jadwal putriku khursus bahasa mandarin. Tapi meski p
Miranda menatap koper-koper milik Athes, dirinya dan juga Audrey. Hari ini adalah hari terakhir Miranda berada di Tokyo. Setelah lima tahun tinggal di Tokyo akhirnya Miranda akan kembali ke negeranya. Tidak pernah Miranda terpikir akan kembali ke Roma. Dulu saat Miranda memutuskan pergi, Miranda memilih berdamai pada masa lalunya dan tidak lagi melihat apa yan ada di belakang.Namun, kenyataannya semesta kembali mempertemukanya pada Athes. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Sekeras apa pun Miranda menghindar jika Athes adalah takdirnya maka mereka akan kembali bersatu. Dan jika saat itu Athes bukanlah takdirnya, maka mereka tidak akan pernah kembali.Dulu Miranda berpikir akan memebesarkan Audrey seorang diri. Setiap kali Audrey meminta ke Roma adalah hal yang paling Miranda hindari. Biasanya Ryhan dan Rose, akan datang ke Tokyo setiap dua atau tiga kali dalam satu tahun.Mengingat Ryhan disibukkan dengan mengurus pekerjaan. Dan Rose yang juga memiliki anak yang usianya tidak beda jau
Bandara Udara Internasional Leonardo da Vinci, Roma, Italia. Pesawat yang membawa Athes dan Miranda telah mendarat di Bandara Udara Internasional Leonardo da Vinci. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, akhirnya Athes dan Miranda telah tiba di Bandara.Kini Athes membawa Miranda turun dari pesawat dan Audrey yang tengah tertidur pulas dalam gendongannya. Athes sengaja tidak membangunkan putrinya. Dia tidak tega membangunkan putri kecilnya.Saat di bandara, Athes sudah melihat sopir menjemput dirinya dan Miranda. Sebelumnya Athes memang sudah meminta sopir menjemputnya. Namun, ketika Athes hendak masuk ke dalam mobil, beberapa wartawan mengerubung dirinya dan hendak mengajukan pertanyaan.Dengan cepat Athes menggerakkan kepalanya meminta anak buahnya mencegah wartawan yang mengrubung ke arahnya itu. Athes merengkuh bahu Miranda dengan tangan kanannya dan tangan kiri yang menggendong Audrey. Mereka masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, sang sopir melajukan mobilnya meninggalkan