Roma, Italia.
Miranda melepas kacamata hitamnya dan meletakkan ke atas kepalanya. Kini dia dan Helen melangkah keluar bandara menuju sopir yang telah menjemput di lobby.
“Ah, akhirnya kita pulang juga,” ucap Helen seraya merentangkan kedua tangannya. Dia memejamkan matanya menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya.
Miranda mendesah pelan. “Sepertinya kau sangat senang.”
Helen berdecak tak suka. “Memangnya kau tidak suka kembali ke negaramu sendiri?”
“Aku menyukainya,” tukas Miranda dingin. “Hanya saja, aku tidak suka dengan tanggung jawab yang harus aku pegang nanti.”
Helen terkekeh. Dia langsung merengkuh bahu Miranda. “Well, lebih baik kau membicarakan pria tampan kemarin daripada membahas tentang pekerjaanmu. Aku yakin kau masih belum melupakan pria tampan itu.”
“Hentikan omong kosongmu, Helen. Aku tidak ingin kau membahas tentang pria itu lagi!” tukas Miranda menegaskan.
Helen kembali terkekeh. Dia bahkan tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah kesal Miranda. Ya, dia memang sengaja menggoda sahabatnya itu.
“Baiklah, maafkan aku,” ucap Helen yang segera mengakui kesalahannya.
Saat tiba di lobby, Miranda dan Helen sudah melihat sopir yang menjemput mereka. Kini mereka masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil yang membawa Miranda dan Helen mulai meninggalkan lobby bandara.
***
“Miranda? Kau sudah pulang?” Seorang wanita cantik berambut pirang menyapa Miranda dengan senyuman hangat di wajahnya. Sedangkan Miranda hanya melirik wanita itu sekilas.
“Seperti yang kau lihat,” tukas Miranda dingin dengan raut wajah datar.
“Miranda,” tegur Helen yang merasa tidak enak.
Ya, di hadapan Miranda adalah Rose Spencer, wanita cantik yang menjadi ibu tiri Miranda. Selama ini Miranda dan ibu tirinya memang tidak memiliki hubungan baik. Pasalnya, Miranda begitu membenci ibu tirinya. Namun, berbalik dengan Rose yang selalu berusaha bersikap ramah pada Miranda. Hanya saja, Miranda tidak memedulikan sifat ramah Rose.
“Apa kabar, Helen?” tanya Rose seraya menatap Helen.
“Aku baik, Bibi. Bagaimana denganmu?” Helen bertanya balik.
“Aku juga baik,” jawab Rose dengan senyuman hangat di wajahnya. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya menatap Miranda. “Miranda, ayahmu memintamu dua jam lagi untuk segera ke perusahaan. Hari ini ayahmu mengatakan memiliki meeting dengan salah satu rekan bisnisnya. Dan kau diwajibkan untuk datang.”
Miranda membuang napas kasar. Baru saja dia sampai di rumah, dia sudah diminta ke perusahaan. Beruntung sebelumnya, dia sudah beristirahat cukup.
“Di mana Kak Darren? Apa dia tidak bisa menggantikanku?” tanya Miranda dengan nada kesal.
“Mereka sudah di perusahaan. Sekarang mereka menunggumu,” jawab Rose memberi tahu.
Miranda berdecak. “Ya, aku akan ke sana.”
Tanpa lagi berkata, Miranda langsung mengentakkan kakinya masuk ke dalam kamar bersama dengan Helen yang mengikutinya.
***
“Miranda, jadi kau akan ke kantor hari ini?” tanya Helen memastikan kala Miranda tengah mengganti pakaiannya.
“Ya,” jawab Miranda dengan nada malas. “Tidak ada pilihan lain, bukan? Aku malas berdebat dengan ayahku. Jadi lebih baik aku diam, dan tidak membuat masalah.”
Helen mengulum senyumannya. “Kau benar, setidaknya kau masih bersyukur pulang ke rumah tidak disambut dengan amarah ayahmu. Tapi kau diminta datang ke perusahaan.”
Miranda mendesah pelan. “Aku lebih baik mendapatkan sambutan amarah dari ayahku daripada aku harus mendatangi perusahaannya.”
Helen berdecak kesal. “Sudahlah, lebih baik kau berangkat sekarang. Aku akan menunggumu di sini.”
“Enak sekali kau bisa langsung tidur,” tukas Miranda kesal.
Helen terkekeh. “Selamat meeting, Nona Miranda. Semoga kau salah satu rekan bisnis ayahmu berwajah tampan.”
“Bicara denganmu sama seperti orang yang tidak waras! Otakmu hanya pria dan seks!” Miranda mendengkus tak suka. Dia langsung menyambar tas dan kunci mobilnya yang ada di atas meja, lalu berjalan meninggalkan Helen.
“Kau saja yang belum mencoba sensasi luar biasa. Aku yakin, nanti kau akan ketagihan.” Helen sedikit berteriak
***
Miranda melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ya, meski sedikit lelah, tapi dia memang tidak memiliki pilihan lain. Terpaksa dia harus menemani ayahnya meeting. Walau sebenarnya Miranda lebih memilih untuk tidur di rumah.
Kini Miranda mulai membelokkan mobilnya, memasuki gedung perusahaan milik keluarganya. Saat memarkirkan mobil, dia turun dan masuk ke dalam lobby. Terlihat para karyawan yang ada di area lobby langsung menundukkan kepalanya menyapa Miranda dengan sopan. Sedangkan Miranda membalasnya dengan senyuman tipis di wajahnya. Kemudian, Miranda mulai masuk ke dalam lift pribadi ayahnya.
“Selamat siang, Nona Miranda,” sapa Levon, assistant ayahnya menyapa Miranda yang melangkah keluar dari lift.
“Siang, di mana ayah dan kakakku?” tanya Miranda dingin.
“Tuan Besar Ryhan dan Tuan Darren sudah menunggu di ruang meeting,” jawab Levon. “Mari saya antar, Nona.”
Miranda mengangguk. Dengan wajah yang datar dan dingin, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang meeting mengikuti assistant ayahnya itu.
“Miranda? Kau sudah datang?” Darren, kakaknya menyapa kala melihat Miranda memasuki ruang meeting.
“Kau sudah ada di sini, kenapa aku masih diminta untuk datang?” Miranda masih merungut sebal, dia menarik kursi dan duduk di samping Darren. Ya, dia menghindar duduk di dekat ayahnya. Mengingat sudah sejak tadi ayahnya menatap dirinya dengan tatapan tajam. Tentu Miranda tahu ayahnya akan marah padanya. Bagaimana tidak? Setelah dia menyelesaikan pendidikannya, dia bahkan masih belum kembali ke Roma selama tiga bulan. Sudah sepantasnya ayahnya itu akan marah padanya.
“Kau memang harus berada di sini. Sudah cukup bermain-main, Miranda. Kau harus memegang tanggung jawabmu,” tukas Ryhan dingin dan menatap putrinya dengan tatapan penuh peringatan.
Miranda mendesah pelan. “Ya, Dad. Aku mengerti. Sekarang di mana rekan bisnismu? Kenapa belum datang? Aku tidak suka menunggu terlalu lama. Jika dia tidak professional, lebih baik kau tidak perlu lagi bekerja sama dengannya,” jawabnya dengan nada kesal.
“Jaga bicaramu, Miranda. Dia adalah rekan bisnisku sudah sejak lama,” balas Ryhan meningatkan. “Nantinya, kau akan sering bertemu dengannya.”
‘Menyebalkan sekali,’ gerutu Miranda dalam hati.
“Maaf aku terlambat.” Sosok pria tampan dengan balutan jas formal melangkah masuk ke dalam ruang meeting.
“Apa kabar, Tuan Athes Russel?” Ryhan dan Darren langsung beranjak berdiri menyambut kedatangan sosok pria bernama Athes Russel.
“Apa kalian sudah lama menunggu?” Athes duduk tepat di hadapan Ryhan dan Darren. Miranda yang duduk di samping Darren mengerutkan keningnya kala melihat sosok pria yang duduk di hadapannya. Seketika wajah Miranda berubah menjadi pucat. Terlihat keterkejutannya melihat sosok pria yang dia kenali berada di hadapannya.
“Tidak, kami juga baru saja datang,” jawab Ryhan dengan ramah.
Athes mengalihkan pandangannya kala merasakan ada yang terus memperhatikannya. Tiba-tiba, raut wajah Athes berubah saat melihat sosok wanita cantik duduk dengan gelisah dan raut wajah gugup. Meski wanita itu sedikit menundukkan kepalanya, tapi dia tentu mengenali sosok wanita itu.
“Tuan Athes, perkenalkan ini Miranda, putri bungsuku. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di London. Nantinya hotel milikku yang bekerja sama denganmu akan dipimpin langsung oleh Miranda. Aku menyerahkan kepemimpinan itu pada putriku,” ujar Ryhan memberi tahu seraya melirik Miranda.
“Miranda, dia adalah Tuan Athes Leonard Russel. Salah satu pemegang saham tertinggi di hotel yang akan kau pimpin. Mulai sekarang kau akan sering berhubungan dengannya,” tukas Ryhan memberi tahu putrinya.
Miranda bungkam. Dia begitu terkejut dengan apa yang dia dengar. Lidahnya terasa begitu kelu. Bahkan rasanya dia tidak bisa berkata-kata. Dia sedikit mengangkat wajahnya, menatap Athes dengan raut wajah yang panik, gugup, takut, dan cemas. Ingin rasanya Miranda melarikan diri, tapi itu tidak mungkin dia bisa lakukan. Demi Tuhan, Miranda tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana mungkin pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri?
‘Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Atau aku harus berpura-pura tidak mengingatnya? Habislah jika sampai Dad mengetahui ini,’ gerutu Miranda dalam hati. Ya, dia terus merutuki kebodohannya. Kenapa nasibnya sial sekali. Pria yang bekerja sama dengan ayahnya adalah teman kencan cinta satu malamnya.
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.“Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun, Tuan Athes Russel.” Miranda memaksakan senyuman di wajahnya. Dia bersumpah, pria di hadapannya ini pasti mengetahui dirinya yang begitu gugup. Sesaat Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang dan tidak panik.“Baiklah, Tuan Athes. Aku dan Darren—putraku, harus pamit. Hari ini kami masih harus melihat proses pembangunan hotel terbaru. Aku sengaja meminta putriku datang, karena dia yang akan menggantikanku meeting denganmu,” ujar Ryhan yang sontak membuat Miranda terkejut.“Dad, kau mau pergi? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Miranda dengan raut wajah yang semakin panik kala mendengar ayah dan kakaknya akan meninggalkan ruang meeting itu. Astaga, Mirand
Miranda duduk di kursi kebesarannya, pikirannya tampak begitu kacau. Sejak pertemuanya kemarin dengan Athes membuat dirinya tidak bisa berpikir jernih. Sungguh, dia tidak menyanga sosok pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri.“Nona Miranda,” Bella, assistant Miranda, melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.Miranda membuang napas kasar kala melihat Bella berada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya dingin.“Nona, di depan ada Tuan Athes datang,” ujar Bella yang sontak membuat Miranda terkejut.“Bukannya aku belum mengatur jadwal bertemu dengannya?” seru Miranda dengan tatapan begitu dingin pada Bella.“Benar, Nona. Tapi beliau datang karena tadi dia bertemu dengan Tuan Darren. Setelah dia bertemu dengan Tuan Darren, dia langsung ingin bertemu dengan Anda, Nona,” jawab Bella hati-hati.“Aku tidak—”“Apa bertemu dengamu begitu sulit, Nona Miranda Spencer?” Seorang pria dengan balutan jas formal berwarna hitam melangkah masuk ke dalam ruang kerja Miranda.
“Miranda? Kau sudah pulang?” Helen sedikit terkejut melihat Miranda melangkah masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang kesal. “Ada apa, Miranda? Apa kau memiliki masalah di perusahaan?” tanyanya yang khawatir.“Tidak, hanya banyak pekerjaan yang menggangguku belakangan ini.” Miranda menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu dia menyambar gelas yang berisikan apple juice dan meminumnya hingga tandas.“Kau yakin?” Helen mengangkat sebelah alisnya, menatap Miranda penuh curiga. “Tidak bisanya masalah pekerjaan hingga membuat wajahmu seperti itu.”Miranda menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Sebenarnya ada yang aku sembunyikan darimu.”“Kau menyembunyikan apa dariku?” Raut wajah Helen berubah kala mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.“Kemarin saat aku menemani ayah dan kakakku meeting, aku bertemu lagi dengan pria itu,” ujar Miranda dengan kesal. Ya, dia memang menyembunyikan ini dari Helen. Tentu dia tahu sahabatnya itu akan berisik.“Apa yang kau maksud, Miranda?
“Tuan Athes, ini adalah fasilitas yang dimiliki oleh hotel kami. Tempat gym, spa, kolam renang, serta tempat bersantai menghabiskan sore hari sambil menunggu sunset. Semua kami telah siapkan. Design hotel ini sendiri menggabungkan design khas Thailand dan Italia. Perpaduan dua negara yang diambil dalam konsep hotel ini tujuannya agar para tamu hotel tidak merasakan kejenuhan. Seperti kita tahu, Thailand merupakan negara bagian Asia yang begitu banyak memiliki turis asing.”Miranda menjelaskan begitu lugas tentang hotel milik keluarganya yang kini telah di bawah kepemimpinannya. Terlihat dirinya tampak begitu anggun kala menjelaskan itu. Meski dia kesal dengan pria yang ada di hadapannya ini, tapi dia harus tetap bersikap professional. Bagaimanapun pria itu adalah rekan bisnis perusahaannya.“Well, konsep yang begitu menarik, Nona Miranda.” Athes menjawab seraya melihat ke fasilitas yang dimiliki hotel itu. Sesaat dia melirik Miranda yang tampak seolah berusaha untuk tenang. Ya, mereka
Athes menatap Miranda yang tertidur begitu pulas. Seketika senyum di bibirnya terukir mengingat percintaan panasnya dengan Miranda. Bahkan dia terus lagi dan lagi memintanya. Nyatanya tubuh Miranda telah menjadi candu bagi Athes. Entah tidak bisa lagi terhitung berapa banyak mereka bercinta.Athes membawa tangannya menyentuh wajah Miranda. Hidung yang mungil dan mancung. Bulu mata yang lentik. Serta wajah yang sangat cantik, telah berhasil membuat Athes tidak mampu mengendalikan dirinya. Selama ini Athes tidak pernah seperti ini pada wanita yang menjadi one night stand-nya.Athes tidak pernah memiliki kesan khusus pada wanita yang telah mengabiskan satu malam bersamanya di ranjang. Tapi sekarang? Lihatlah dirinya begitu menginginkan Miranda. Mungkin, itu semua karena Miranda adalah satu-satunya wanita yang meninggalkannya dengan sepucuk surat dan juga uang. Jika mengingat itu semua, rasanya Athes ingin tertawa.“Hmmm.” Miranda menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Per
“Aku benar-benar sudah gila!”Miranda mengacak-acak rambutnya. Ya, dia tidak menyangka kemarin dia telah menerima Athes Russel sebagai kekasihnya. Astaga, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa dia bisa dengan mudahnya menerima? Miranda bersumpah, dia pasti akan segera mendapatkan masalah jika sampai keluarganya tahu. Tidak. Tidak! Miranda tidak ingin semua orang tahu lebih awal. Lagi pula, dia pasti masih dalam masa perkenalan sifat Athes.Kini Miranda menjatuhkan tubuhnya terduduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata sesaat. Hal yang membuat Miranda benci pada dirinya adalah ketika dia tidak bisa menolak setiap sentuhan Athes. Sial, jika mengingat itu semua rasanya Miranda ingin melarikan diri saja. Dia sangat malu, tubuhnya selalu merespon setiap sentuhan pria itu. Harusnya dia menghajar pria itu. Tapi nyatanya? Dia malah lemah.Suara ketukan pintu terdengar. Miranda langsung membuka matanya, mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk m
Athes terdiam sejenak. Dia menatap lekat manik mata perak Miranda. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya.“Aku ingin kita saling mengenal satu sama lainnya. Maksudku, banyak hal yang aku tidak tahu darimu dan kau tidak tahu dariku. Selain itu aku belum ingin keluargaku tahu tentang hubungan kita. Begitu pun dengan publik. Aku tidak ingin publik mengetahuinya. Aku tidak suka diganggu oleh pemberitaan di media,” ujar Miranda yang memberi tahu keinginannya.Ya, lebih baik baginya untuk memilih mengenal Athes lebih dalam. Meski sebenarnya dia tidak mengerti dengan perasannya pada Athes, tapi dia masih memiliki waktu untuk memastikan perasaannya yang sebenarnya. Lepas dari itu semua, Miranda juga tidak ingin hubungannya dijadikan sebuah konsumsi publik. Sejak dulu Miranda tidak suka jika banyak media yang memberitakan tentang dirinya. Meskipun mau tidak mau, dia akan tetap menjadi pusat pemberitaan di media, tapi paling tidak untuk saat ini Miranda ingin memastikan hatinya lebih dulu se
“Miranda, kau ada apa memintaku datang ke rumahmu? Apa kau tahu? Tadi aku ingin berkencan dengan Mark. Pria yang aku temui di klub malam waktu kita di Las Vegas, ternyata dia seorang pilot. Dan dia sekarang tengah berlibur di Roma.” Helen berkata dengan riang seraya melangkah masuk ke dalam kamar Miranda.Miranda membuang napas kasar. “Kau ini benar-benar membuatku sakit kepala, Helen. Apa tidak bisa kau satu hari saja tidak berkencan dengan seorang pria?” tukasnya kesal. Helen mengangkat bahunya tak acuh. “Memangnya salah kalau aku berkencan dengan banyak pria? Aku rasa tidak.”Miranda berdecak pelan. “Sudahlah, lebih baik malam ini kau temani aku.”“Kau ingin pergi ke mana?” kening Helen berkerut, menatap bingung Miranda.“Malam ini keluargaku mendapatkan undangan makan malam dari Tuan Marco Foster. Sebenarnya aku tidak ingin ikut. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Kau tahu ayah dan kakakku sangat menyebalkan,” jawab Miranda dengan nada kesal.“Kenapa kau tidak bilang dari jauh