Roma, Italia.
Miranda melepas kacamata hitamnya dan meletakkan ke atas kepalanya. Kini dia dan Helen melangkah keluar bandara menuju sopir yang telah menjemput di lobby.
“Ah, akhirnya kita pulang juga,” ucap Helen seraya merentangkan kedua tangannya. Dia memejamkan matanya menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya.
Miranda mendesah pelan. “Sepertinya kau sangat senang.”
Helen berdecak tak suka. “Memangnya kau tidak suka kembali ke negaramu sendiri?”
“Aku menyukainya,” tukas Miranda dingin. “Hanya saja, aku tidak suka dengan tanggung jawab yang harus aku pegang nanti.”
Helen terkekeh. Dia langsung merengkuh bahu Miranda. “Well, lebih baik kau membicarakan pria tampan kemarin daripada membahas tentang pekerjaanmu. Aku yakin kau masih belum melupakan pria tampan itu.”
“Hentikan omong kosongmu, Helen. Aku tidak ingin kau membahas tentang pria itu lagi!” tukas Miranda menegaskan.
Helen kembali terkekeh. Dia bahkan tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah kesal Miranda. Ya, dia memang sengaja menggoda sahabatnya itu.
“Baiklah, maafkan aku,” ucap Helen yang segera mengakui kesalahannya.
Saat tiba di lobby, Miranda dan Helen sudah melihat sopir yang menjemput mereka. Kini mereka masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil yang membawa Miranda dan Helen mulai meninggalkan lobby bandara.
***
“Miranda? Kau sudah pulang?” Seorang wanita cantik berambut pirang menyapa Miranda dengan senyuman hangat di wajahnya. Sedangkan Miranda hanya melirik wanita itu sekilas.
“Seperti yang kau lihat,” tukas Miranda dingin dengan raut wajah datar.
“Miranda,” tegur Helen yang merasa tidak enak.
Ya, di hadapan Miranda adalah Rose Spencer, wanita cantik yang menjadi ibu tiri Miranda. Selama ini Miranda dan ibu tirinya memang tidak memiliki hubungan baik. Pasalnya, Miranda begitu membenci ibu tirinya. Namun, berbalik dengan Rose yang selalu berusaha bersikap ramah pada Miranda. Hanya saja, Miranda tidak memedulikan sifat ramah Rose.
“Apa kabar, Helen?” tanya Rose seraya menatap Helen.
“Aku baik, Bibi. Bagaimana denganmu?” Helen bertanya balik.
“Aku juga baik,” jawab Rose dengan senyuman hangat di wajahnya. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya menatap Miranda. “Miranda, ayahmu memintamu dua jam lagi untuk segera ke perusahaan. Hari ini ayahmu mengatakan memiliki meeting dengan salah satu rekan bisnisnya. Dan kau diwajibkan untuk datang.”
Miranda membuang napas kasar. Baru saja dia sampai di rumah, dia sudah diminta ke perusahaan. Beruntung sebelumnya, dia sudah beristirahat cukup.
“Di mana Kak Darren? Apa dia tidak bisa menggantikanku?” tanya Miranda dengan nada kesal.
“Mereka sudah di perusahaan. Sekarang mereka menunggumu,” jawab Rose memberi tahu.
Miranda berdecak. “Ya, aku akan ke sana.”
Tanpa lagi berkata, Miranda langsung mengentakkan kakinya masuk ke dalam kamar bersama dengan Helen yang mengikutinya.
***
“Miranda, jadi kau akan ke kantor hari ini?” tanya Helen memastikan kala Miranda tengah mengganti pakaiannya.
“Ya,” jawab Miranda dengan nada malas. “Tidak ada pilihan lain, bukan? Aku malas berdebat dengan ayahku. Jadi lebih baik aku diam, dan tidak membuat masalah.”
Helen mengulum senyumannya. “Kau benar, setidaknya kau masih bersyukur pulang ke rumah tidak disambut dengan amarah ayahmu. Tapi kau diminta datang ke perusahaan.”
Miranda mendesah pelan. “Aku lebih baik mendapatkan sambutan amarah dari ayahku daripada aku harus mendatangi perusahaannya.”
Helen berdecak kesal. “Sudahlah, lebih baik kau berangkat sekarang. Aku akan menunggumu di sini.”
“Enak sekali kau bisa langsung tidur,” tukas Miranda kesal.
Helen terkekeh. “Selamat meeting, Nona Miranda. Semoga kau salah satu rekan bisnis ayahmu berwajah tampan.”
“Bicara denganmu sama seperti orang yang tidak waras! Otakmu hanya pria dan seks!” Miranda mendengkus tak suka. Dia langsung menyambar tas dan kunci mobilnya yang ada di atas meja, lalu berjalan meninggalkan Helen.
“Kau saja yang belum mencoba sensasi luar biasa. Aku yakin, nanti kau akan ketagihan.” Helen sedikit berteriak
***
Miranda melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ya, meski sedikit lelah, tapi dia memang tidak memiliki pilihan lain. Terpaksa dia harus menemani ayahnya meeting. Walau sebenarnya Miranda lebih memilih untuk tidur di rumah.
Kini Miranda mulai membelokkan mobilnya, memasuki gedung perusahaan milik keluarganya. Saat memarkirkan mobil, dia turun dan masuk ke dalam lobby. Terlihat para karyawan yang ada di area lobby langsung menundukkan kepalanya menyapa Miranda dengan sopan. Sedangkan Miranda membalasnya dengan senyuman tipis di wajahnya. Kemudian, Miranda mulai masuk ke dalam lift pribadi ayahnya.
“Selamat siang, Nona Miranda,” sapa Levon, assistant ayahnya menyapa Miranda yang melangkah keluar dari lift.
“Siang, di mana ayah dan kakakku?” tanya Miranda dingin.
“Tuan Besar Ryhan dan Tuan Darren sudah menunggu di ruang meeting,” jawab Levon. “Mari saya antar, Nona.”
Miranda mengangguk. Dengan wajah yang datar dan dingin, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang meeting mengikuti assistant ayahnya itu.
“Miranda? Kau sudah datang?” Darren, kakaknya menyapa kala melihat Miranda memasuki ruang meeting.
“Kau sudah ada di sini, kenapa aku masih diminta untuk datang?” Miranda masih merungut sebal, dia menarik kursi dan duduk di samping Darren. Ya, dia menghindar duduk di dekat ayahnya. Mengingat sudah sejak tadi ayahnya menatap dirinya dengan tatapan tajam. Tentu Miranda tahu ayahnya akan marah padanya. Bagaimana tidak? Setelah dia menyelesaikan pendidikannya, dia bahkan masih belum kembali ke Roma selama tiga bulan. Sudah sepantasnya ayahnya itu akan marah padanya.
“Kau memang harus berada di sini. Sudah cukup bermain-main, Miranda. Kau harus memegang tanggung jawabmu,” tukas Ryhan dingin dan menatap putrinya dengan tatapan penuh peringatan.
Miranda mendesah pelan. “Ya, Dad. Aku mengerti. Sekarang di mana rekan bisnismu? Kenapa belum datang? Aku tidak suka menunggu terlalu lama. Jika dia tidak professional, lebih baik kau tidak perlu lagi bekerja sama dengannya,” jawabnya dengan nada kesal.
“Jaga bicaramu, Miranda. Dia adalah rekan bisnisku sudah sejak lama,” balas Ryhan meningatkan. “Nantinya, kau akan sering bertemu dengannya.”
‘Menyebalkan sekali,’ gerutu Miranda dalam hati.
“Maaf aku terlambat.” Sosok pria tampan dengan balutan jas formal melangkah masuk ke dalam ruang meeting.
“Apa kabar, Tuan Athes Russel?” Ryhan dan Darren langsung beranjak berdiri menyambut kedatangan sosok pria bernama Athes Russel.
“Apa kalian sudah lama menunggu?” Athes duduk tepat di hadapan Ryhan dan Darren. Miranda yang duduk di samping Darren mengerutkan keningnya kala melihat sosok pria yang duduk di hadapannya. Seketika wajah Miranda berubah menjadi pucat. Terlihat keterkejutannya melihat sosok pria yang dia kenali berada di hadapannya.
“Tidak, kami juga baru saja datang,” jawab Ryhan dengan ramah.
Athes mengalihkan pandangannya kala merasakan ada yang terus memperhatikannya. Tiba-tiba, raut wajah Athes berubah saat melihat sosok wanita cantik duduk dengan gelisah dan raut wajah gugup. Meski wanita itu sedikit menundukkan kepalanya, tapi dia tentu mengenali sosok wanita itu.
“Tuan Athes, perkenalkan ini Miranda, putri bungsuku. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di London. Nantinya hotel milikku yang bekerja sama denganmu akan dipimpin langsung oleh Miranda. Aku menyerahkan kepemimpinan itu pada putriku,” ujar Ryhan memberi tahu seraya melirik Miranda.
“Miranda, dia adalah Tuan Athes Leonard Russel. Salah satu pemegang saham tertinggi di hotel yang akan kau pimpin. Mulai sekarang kau akan sering berhubungan dengannya,” tukas Ryhan memberi tahu putrinya.
Miranda bungkam. Dia begitu terkejut dengan apa yang dia dengar. Lidahnya terasa begitu kelu. Bahkan rasanya dia tidak bisa berkata-kata. Dia sedikit mengangkat wajahnya, menatap Athes dengan raut wajah yang panik, gugup, takut, dan cemas. Ingin rasanya Miranda melarikan diri, tapi itu tidak mungkin dia bisa lakukan. Demi Tuhan, Miranda tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana mungkin pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri?
‘Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Atau aku harus berpura-pura tidak mengingatnya? Habislah jika sampai Dad mengetahui ini,’ gerutu Miranda dalam hati. Ya, dia terus merutuki kebodohannya. Kenapa nasibnya sial sekali. Pria yang bekerja sama dengan ayahnya adalah teman kencan cinta satu malamnya.
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.“Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun, Tuan Athes Russel.” Miranda memaksakan senyuman di wajahnya. Dia bersumpah, pria di hadapannya ini pasti mengetahui dirinya yang begitu gugup. Sesaat Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang dan tidak panik.“Baiklah, Tuan Athes. Aku dan Darren—putraku, harus pamit. Hari ini kami masih harus melihat proses pembangunan hotel terbaru. Aku sengaja meminta putriku datang, karena dia yang akan menggantikanku meeting denganmu,” ujar Ryhan yang sontak membuat Miranda terkejut.“Dad, kau mau pergi? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Miranda dengan raut wajah yang semakin panik kala mendengar ayah dan kakaknya akan meninggalkan ruang meeting itu. Astaga, Mirand
Miranda duduk di kursi kebesarannya, pikirannya tampak begitu kacau. Sejak pertemuanya kemarin dengan Athes membuat dirinya tidak bisa berpikir jernih. Sungguh, dia tidak menyanga sosok pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri.“Nona Miranda,” Bella, assistant Miranda, melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.Miranda membuang napas kasar kala melihat Bella berada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya dingin.“Nona, di depan ada Tuan Athes datang,” ujar Bella yang sontak membuat Miranda terkejut.“Bukannya aku belum mengatur jadwal bertemu dengannya?” seru Miranda dengan tatapan begitu dingin pada Bella.“Benar, Nona. Tapi beliau datang karena tadi dia bertemu dengan Tuan Darren. Setelah dia bertemu dengan Tuan Darren, dia langsung ingin bertemu dengan Anda, Nona,” jawab Bella hati-hati.“Aku tidak—”“Apa bertemu dengamu begitu sulit, Nona Miranda Spencer?” Seorang pria dengan balutan jas formal berwarna hitam melangkah masuk ke dalam ruang kerja Miranda.
“Miranda? Kau sudah pulang?” Helen sedikit terkejut melihat Miranda melangkah masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang kesal. “Ada apa, Miranda? Apa kau memiliki masalah di perusahaan?” tanyanya yang khawatir.“Tidak, hanya banyak pekerjaan yang menggangguku belakangan ini.” Miranda menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu dia menyambar gelas yang berisikan apple juice dan meminumnya hingga tandas.“Kau yakin?” Helen mengangkat sebelah alisnya, menatap Miranda penuh curiga. “Tidak bisanya masalah pekerjaan hingga membuat wajahmu seperti itu.”Miranda menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Sebenarnya ada yang aku sembunyikan darimu.”“Kau menyembunyikan apa dariku?” Raut wajah Helen berubah kala mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.“Kemarin saat aku menemani ayah dan kakakku meeting, aku bertemu lagi dengan pria itu,” ujar Miranda dengan kesal. Ya, dia memang menyembunyikan ini dari Helen. Tentu dia tahu sahabatnya itu akan berisik.“Apa yang kau maksud, Miranda?
“Tuan Athes, ini adalah fasilitas yang dimiliki oleh hotel kami. Tempat gym, spa, kolam renang, serta tempat bersantai menghabiskan sore hari sambil menunggu sunset. Semua kami telah siapkan. Design hotel ini sendiri menggabungkan design khas Thailand dan Italia. Perpaduan dua negara yang diambil dalam konsep hotel ini tujuannya agar para tamu hotel tidak merasakan kejenuhan. Seperti kita tahu, Thailand merupakan negara bagian Asia yang begitu banyak memiliki turis asing.”Miranda menjelaskan begitu lugas tentang hotel milik keluarganya yang kini telah di bawah kepemimpinannya. Terlihat dirinya tampak begitu anggun kala menjelaskan itu. Meski dia kesal dengan pria yang ada di hadapannya ini, tapi dia harus tetap bersikap professional. Bagaimanapun pria itu adalah rekan bisnis perusahaannya.“Well, konsep yang begitu menarik, Nona Miranda.” Athes menjawab seraya melihat ke fasilitas yang dimiliki hotel itu. Sesaat dia melirik Miranda yang tampak seolah berusaha untuk tenang. Ya, mereka
Athes menatap Miranda yang tertidur begitu pulas. Seketika senyum di bibirnya terukir mengingat percintaan panasnya dengan Miranda. Bahkan dia terus lagi dan lagi memintanya. Nyatanya tubuh Miranda telah menjadi candu bagi Athes. Entah tidak bisa lagi terhitung berapa banyak mereka bercinta.Athes membawa tangannya menyentuh wajah Miranda. Hidung yang mungil dan mancung. Bulu mata yang lentik. Serta wajah yang sangat cantik, telah berhasil membuat Athes tidak mampu mengendalikan dirinya. Selama ini Athes tidak pernah seperti ini pada wanita yang menjadi one night stand-nya.Athes tidak pernah memiliki kesan khusus pada wanita yang telah mengabiskan satu malam bersamanya di ranjang. Tapi sekarang? Lihatlah dirinya begitu menginginkan Miranda. Mungkin, itu semua karena Miranda adalah satu-satunya wanita yang meninggalkannya dengan sepucuk surat dan juga uang. Jika mengingat itu semua, rasanya Athes ingin tertawa.“Hmmm.” Miranda menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Per
“Aku benar-benar sudah gila!”Miranda mengacak-acak rambutnya. Ya, dia tidak menyangka kemarin dia telah menerima Athes Russel sebagai kekasihnya. Astaga, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa dia bisa dengan mudahnya menerima? Miranda bersumpah, dia pasti akan segera mendapatkan masalah jika sampai keluarganya tahu. Tidak. Tidak! Miranda tidak ingin semua orang tahu lebih awal. Lagi pula, dia pasti masih dalam masa perkenalan sifat Athes.Kini Miranda menjatuhkan tubuhnya terduduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata sesaat. Hal yang membuat Miranda benci pada dirinya adalah ketika dia tidak bisa menolak setiap sentuhan Athes. Sial, jika mengingat itu semua rasanya Miranda ingin melarikan diri saja. Dia sangat malu, tubuhnya selalu merespon setiap sentuhan pria itu. Harusnya dia menghajar pria itu. Tapi nyatanya? Dia malah lemah.Suara ketukan pintu terdengar. Miranda langsung membuka matanya, mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk m
Athes terdiam sejenak. Dia menatap lekat manik mata perak Miranda. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya.“Aku ingin kita saling mengenal satu sama lainnya. Maksudku, banyak hal yang aku tidak tahu darimu dan kau tidak tahu dariku. Selain itu aku belum ingin keluargaku tahu tentang hubungan kita. Begitu pun dengan publik. Aku tidak ingin publik mengetahuinya. Aku tidak suka diganggu oleh pemberitaan di media,” ujar Miranda yang memberi tahu keinginannya.Ya, lebih baik baginya untuk memilih mengenal Athes lebih dalam. Meski sebenarnya dia tidak mengerti dengan perasannya pada Athes, tapi dia masih memiliki waktu untuk memastikan perasaannya yang sebenarnya. Lepas dari itu semua, Miranda juga tidak ingin hubungannya dijadikan sebuah konsumsi publik. Sejak dulu Miranda tidak suka jika banyak media yang memberitakan tentang dirinya. Meskipun mau tidak mau, dia akan tetap menjadi pusat pemberitaan di media, tapi paling tidak untuk saat ini Miranda ingin memastikan hatinya lebih dulu se
“Miranda, kau ada apa memintaku datang ke rumahmu? Apa kau tahu? Tadi aku ingin berkencan dengan Mark. Pria yang aku temui di klub malam waktu kita di Las Vegas, ternyata dia seorang pilot. Dan dia sekarang tengah berlibur di Roma.” Helen berkata dengan riang seraya melangkah masuk ke dalam kamar Miranda.Miranda membuang napas kasar. “Kau ini benar-benar membuatku sakit kepala, Helen. Apa tidak bisa kau satu hari saja tidak berkencan dengan seorang pria?” tukasnya kesal. Helen mengangkat bahunya tak acuh. “Memangnya salah kalau aku berkencan dengan banyak pria? Aku rasa tidak.”Miranda berdecak pelan. “Sudahlah, lebih baik malam ini kau temani aku.”“Kau ingin pergi ke mana?” kening Helen berkerut, menatap bingung Miranda.“Malam ini keluargaku mendapatkan undangan makan malam dari Tuan Marco Foster. Sebenarnya aku tidak ingin ikut. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Kau tahu ayah dan kakakku sangat menyebalkan,” jawab Miranda dengan nada kesal.“Kenapa kau tidak bilang dari jauh
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda