Miranda berjalan masuk ke dalam lobby hotel, tempat di mana dia dan Helen tinggal selama di Las Vegas. Terlihat penampilannya begitu berantakan. Rambut yang tidak tertata rapi. Hal yang membuat Miranda menjadi pusat perhatian saat memasuki lobby hotel adalah karena dirinya masuk ke dalam lobby hotel dengan kaki telanjangnya dan tangan yang menenteng sepatunya. Sayangnya, tatapan para pengunjung hotel diabaikan oleh Miranda. Dia memilih terus melangkah masuk menuju kamarnya.
“Helen!” Miranda melangkah masuk ke dalam kamar hotel, dia meletakkan sepatu dan clutch di tangannya sembarangannya—dia menjatuhkan tubuhnya terduduk di sofa. Rasa perih yang luar biasa di inti tubuh bagian bawahnya masih begitu terasa. Bahkan sejak tadi Miranda menahan rasa sakitnya ketika berjalan.
Miranda bersumpah, itu adalah hal terbodoh yang pernah dia lakukan. Menyerahkan dirinya pada pria asing yang baru pertama kali dia temui. Sesaat Miranda menyandarkan punggungnya di sofa seraya memejamkan mata lelah.
“Kau sudah pulang rupanya?” Helen melangkah masuk ke dalam kamar, dia mengulas senyuman penuh arti—dia mendekat dan langsung duduk di samping Miranda. “Bagaimana bercinta dengan pria tampan dan seksi? Apa dia memuaskanmu?” tanyanya dengan nada meledek.
Miranda mengembuskan napas kasar. Dia membuka matanya dan menatap Helen dingin. “Kau sudah tahu aku pergi ke mana?”
“Tadi malam saat aku mencarimu, bartender mengatakan kau berkencan dengan pria tampan yang sebelumnya kita lihat,” jawab Helen seraya melihat Miranda. “Jadi kau benar berkencan dengan pria tampan itu, bukan? Bagaimana dia di ranjang? Apa kau puas dengannya?” tanyanya yang ingin tahu.
“Berhenti bicara omong kosongmu, Helen!” seru Miranda kesal. Dia tidak habis pikir oleh sahabatnya itu, baru saja dia pulang, tapi sudah bertanya tentang ranjang. Ingin rasanya Miranda mencekik leher Helen saat mengatakan hal itu.
Helen mendengkus. “Tapi tadi malam kau tidur dengan pria tampan itu, kan?” tanyanya dengan nada menuntut agar Miranda menjawabnya.
Miranda kembali menyandarkan punggungnya di sofa dan memilih memejamkan matanya. “Ya, aku tidur dengannya. Tapi jangan berpikir lebih. Aku tidur dengan pria itu hanya karena pengaruh alkohol. Jika bukan karena pengaruh alkohol, aku tidak mungkin tidur dengan pria asing!” tukasnya menekankan.
Helen tertawa pelan. “Well, kau memberikan virgin-mu secara cuma-cuma untuk pria yang baru pertama kali kau temui. Beruntung pria itu sangat tampan. Setidaknya aku yakin kau mendapatkan seks yang hebat dari pria tampan itu.”
Miranda mengalihkan pandangannya, menatap Helen dengan tatapan penuh peringatan. “Kau ini benar-benar, Helen! Apa otakmu isinya hanya seks dengan para pria?”
Helen kembali tertawa. “Oh, come on, Miranda. Kau bukan gadis berusia 17 belas tahun lagi. Bahkan kau melepas virgin-mu di usiamu yang sudah 22 tahun. Itu terlalu tua.”
Miranda menggeleng pelan seraya mengembuskan napas kasar. “Diamlah, aku sedang tidak ingin mendengar kau membahas itu. Anggap saja aku tidak pernah bertemu pria itu.”
“Memangnya kau tidak bertukar nomor ponsel?” tanya Helen menatap Miranda serius.
“Tidak,” jawab Miranda dingin.
“Oh, My Goodness! Jangan katakan padaku pria tampan itu sudah tidak ada di ranjang saat kau terbangun,” seru Helen.
“Kau salah,” jawab Miranda dengan raut wajah datar dan dingin.
“Salah?” Kening Helen berkerut, menatap bingung Miranda. “Apa maksudmu, Miranda?” tanyanya yang tak mengerti.
“Aku yang meninggalkannya,” jawab Miranda lagi dengan raut tak bersalah.
“What the hell! Kau yang meninggalkanya?” Helen menatap Miranda dengan tatapan yang tak percaya. “Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu, Miranda? Bukannya selama ini kau mencari pria yang tepat di hidupmu, tapi kenapa kau meninggalkannya?”
“Aku bertemu dengannya di klub malam dan berakhir di ranjang. Kau ingat, bukan? Tadi malam dia dikelilingi banyak wanita. Apa menurutmu pria seperti itu yang aku cari? Come on, Helen! Aku bukan wanita bodoh. Pria itu memang tampan, tapi bisa saja dia memanfaatkan apa yang aku miliki setelah itu dia membuangku. Terlebih banyak wanita yang mengejarnya,” ujar Miranda dengan nada yang begitu enggan membahas pria itu lagi.
Helen berdecak kesal. “Kau selalu menilai seseorang dari luar tanpa mau tahu bagaimana sifat aslinya. Mungkin dia pria yang belum menemukan wanita yang tepat di hidupnya. Itu kenapa dia memilih bermain-main sebelum menjalin hubungan yang serius.”
“Sudahlah, jangan lagi membicarakannya. Sekarang lebih baik kau bantu aku siap-siap. Besok kita harus pulang.” Miranda beranjak dari tempat duduknya, dia langsung masuk ke dalam kamarnya. Begitu pun dengan Helen yang menyusul Miranda.
***
Suara dering ponsel terdengar membuat Athes terbangun. Dengan mata yang masih tertutup, Athes menyambar ponselnya yang berada di atas nakas dan menjawabnya.
“Ada apa?” jawab Athes dengan nada dingin saat panggilan terhubung.
“Selamat pagi, Tuan Athes. Maaf saya mengganggu Anda. Tapi saya hanya ingin mengingatkan pagi ini kita memiliki meeting oleh salah satu perusahaan asal Melbourne pada pukul sepuluh pagi,” ujar Henrik, sang assistant dari seberang line.
“Ya, aku mengingatnya,” tukas Athes dingin.
“Tuan, besok Anda ingin langsung kembali ke Roma atau masih tetap di sini?”
“Apa besok meeting-ku bisa digantikan? Aku masih ingin di sini.”
“Maaf, Tuan. Tapi para pemegang saham lainnya hanya ingin bertemu dengan Anda. Mereka tidak ingin jika diwakilkan.”
Athes membuang napas kasar. “Alright, besok aku kembali.”
“Baik, Tuan. Tapi tadi saya mendapatkan telepon dari Nona Valerie, dia meminta Anda untuk segera menghubunginya.”
“Jangan menjawab, abaikan saja.”
“Tapi, Tuan—”
“Apa kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Tidak perlu menjawab telepon darinya. Jangan merusak hariku.”
“B-Baik, Tuan.”
Tanpa lagi berkata, Athes langsung memutuskan sambungan sepihak dan meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula. Dia langsung kembali membaringkan tubuhnya seraya berbalik. Seketika dia terkejut melihat ranjang di sampingnya sudah kosong. Athes langsung beranjak dari ranjang, dia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar, namun dia tidak menemukan wanita itu.
“Shit! Ke mana wanita itu?” tukas Athes kesal. Hingga kemudian, tatapan Athes teralih pada sebuah surat yang berada di atas meja. Dia mendekat dan langsung mengambil surat itu.
[Terima kasih untuk tadi malam, aku akan melunasi tagihan hotel. Ambil uang yang aku tinggalkan untukmu.]
Athes menyeringai kala membaca surat itu. Dia sungguh tidak menyangka ada wanita yang meninggalkannya untuk pertama kalinya saat mereka menghabiskan malam bersama. Di detik selanjutnya, tatapan Athes teralih pada uang yang ditinggalkan oleh wanita itu. Kini dia mengambil uang yang tidak seberapa baginya, dia pun tidak membuangnya melainkan menyimpan uang itu bersama dengan surat.
“Well, kau wanita pertama yang melarikan diri di pagi hari setelah malamnya kita bercinta dengan hebat,” tukas Athes dengan seringai di wajahnya.
Athes menyimpan surat dan uang itu di dalam saku jasnya. Ya, tentu dia tidak akan pernah membuang surat yang dituliskan untuknya. Pasalnya, belum pernah ada wanita yang berani meninggalkannya di pagi hari saat dia masih tertidur. Jika biasanya, Athes yang selalu meninggalkan wanita dan kali ini dialah yang ditinggal.
Athes hendak melangkah menuju kamar mandi, namun langkahnya terhenti kala tatapannya tak sengaja menatap bercak merah yang ada di seprai putih. Seketika senyum di bibir Athes terukir melihat bercak darah itu.
Ya, tentu dia mengingat wanita yang dia tiduri kemarin masih virgin. Sungguh, dia tidak menyangka di jaman seperti ini masih ada wanita virgin. Jika dilihat dari wajah wanita itu berusia di atas 20 tahun, dan tentu saja seorang wanita di atas 20 tahun masih virgin tidak pernah dia temui. Selama ini Athes selalu menghabiskan malam-malamnya dengan para wanita. Dan untuk pertama kalinya Athes meniduri wanita yang masih virgin.
“Wanita itu sangat berbeda. Aku berharap suatu saat aku dengannya kembali bertemu.” Athes tersenyum puas. Bahkan hingga detik ini, dia masih belum melupakan desahan merdu wanita itu. Wanita itu yang mampu membangkitkan gairahnya melebihi wanita yang pernah dia sebelumnya. Jika saja saat Athes terbangun masih ada wanita itu di sampingnya, sudah pasti dia akan kembali meniduri wanita itu lagi dan lagi.
Roma, Italia. Miranda melepas kacamata hitamnya dan meletakkan ke atas kepalanya. Kini dia dan Helen melangkah keluar bandara menuju sopir yang telah menjemput di lobby.“Ah, akhirnya kita pulang juga,” ucap Helen seraya merentangkan kedua tangannya. Dia memejamkan matanya menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. Miranda mendesah pelan. “Sepertinya kau sangat senang.”Helen berdecak tak suka. “Memangnya kau tidak suka kembali ke negaramu sendiri?”“Aku menyukainya,” tukas Miranda dingin. “Hanya saja, aku tidak suka dengan tanggung jawab yang harus aku pegang nanti.”Helen terkekeh. Dia langsung merengkuh bahu Miranda. “Well, lebih baik kau membicarakan pria tampan kemarin daripada membahas tentang pekerjaanmu. Aku yakin kau masih belum melupakan pria tampan itu.”“Hentikan omong kosongmu, Helen. Aku tidak ingin kau membahas tentang pria itu lagi!” tukas Miranda menegaskan.Helen kembali terkekeh. Dia bahkan tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah kesal Miranda. Ya, dia m
“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.“Ah, tidak. Aku tidak memikirkan apa pun, Tuan Athes Russel.” Miranda memaksakan senyuman di wajahnya. Dia bersumpah, pria di hadapannya ini pasti mengetahui dirinya yang begitu gugup. Sesaat Miranda mengatur napasnya, dia berusaha untuk tenang dan tidak panik.“Baiklah, Tuan Athes. Aku dan Darren—putraku, harus pamit. Hari ini kami masih harus melihat proses pembangunan hotel terbaru. Aku sengaja meminta putriku datang, karena dia yang akan menggantikanku meeting denganmu,” ujar Ryhan yang sontak membuat Miranda terkejut.“Dad, kau mau pergi? Kenapa kau tidak bilang padaku?” tanya Miranda dengan raut wajah yang semakin panik kala mendengar ayah dan kakaknya akan meninggalkan ruang meeting itu. Astaga, Mirand
Miranda duduk di kursi kebesarannya, pikirannya tampak begitu kacau. Sejak pertemuanya kemarin dengan Athes membuat dirinya tidak bisa berpikir jernih. Sungguh, dia tidak menyanga sosok pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri.“Nona Miranda,” Bella, assistant Miranda, melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.Miranda membuang napas kasar kala melihat Bella berada di hadapannya. “Ada apa?” tanyanya dingin.“Nona, di depan ada Tuan Athes datang,” ujar Bella yang sontak membuat Miranda terkejut.“Bukannya aku belum mengatur jadwal bertemu dengannya?” seru Miranda dengan tatapan begitu dingin pada Bella.“Benar, Nona. Tapi beliau datang karena tadi dia bertemu dengan Tuan Darren. Setelah dia bertemu dengan Tuan Darren, dia langsung ingin bertemu dengan Anda, Nona,” jawab Bella hati-hati.“Aku tidak—”“Apa bertemu dengamu begitu sulit, Nona Miranda Spencer?” Seorang pria dengan balutan jas formal berwarna hitam melangkah masuk ke dalam ruang kerja Miranda.
“Miranda? Kau sudah pulang?” Helen sedikit terkejut melihat Miranda melangkah masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang kesal. “Ada apa, Miranda? Apa kau memiliki masalah di perusahaan?” tanyanya yang khawatir.“Tidak, hanya banyak pekerjaan yang menggangguku belakangan ini.” Miranda menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu dia menyambar gelas yang berisikan apple juice dan meminumnya hingga tandas.“Kau yakin?” Helen mengangkat sebelah alisnya, menatap Miranda penuh curiga. “Tidak bisanya masalah pekerjaan hingga membuat wajahmu seperti itu.”Miranda menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Sebenarnya ada yang aku sembunyikan darimu.”“Kau menyembunyikan apa dariku?” Raut wajah Helen berubah kala mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.“Kemarin saat aku menemani ayah dan kakakku meeting, aku bertemu lagi dengan pria itu,” ujar Miranda dengan kesal. Ya, dia memang menyembunyikan ini dari Helen. Tentu dia tahu sahabatnya itu akan berisik.“Apa yang kau maksud, Miranda?
“Tuan Athes, ini adalah fasilitas yang dimiliki oleh hotel kami. Tempat gym, spa, kolam renang, serta tempat bersantai menghabiskan sore hari sambil menunggu sunset. Semua kami telah siapkan. Design hotel ini sendiri menggabungkan design khas Thailand dan Italia. Perpaduan dua negara yang diambil dalam konsep hotel ini tujuannya agar para tamu hotel tidak merasakan kejenuhan. Seperti kita tahu, Thailand merupakan negara bagian Asia yang begitu banyak memiliki turis asing.”Miranda menjelaskan begitu lugas tentang hotel milik keluarganya yang kini telah di bawah kepemimpinannya. Terlihat dirinya tampak begitu anggun kala menjelaskan itu. Meski dia kesal dengan pria yang ada di hadapannya ini, tapi dia harus tetap bersikap professional. Bagaimanapun pria itu adalah rekan bisnis perusahaannya.“Well, konsep yang begitu menarik, Nona Miranda.” Athes menjawab seraya melihat ke fasilitas yang dimiliki hotel itu. Sesaat dia melirik Miranda yang tampak seolah berusaha untuk tenang. Ya, mereka
Athes menatap Miranda yang tertidur begitu pulas. Seketika senyum di bibirnya terukir mengingat percintaan panasnya dengan Miranda. Bahkan dia terus lagi dan lagi memintanya. Nyatanya tubuh Miranda telah menjadi candu bagi Athes. Entah tidak bisa lagi terhitung berapa banyak mereka bercinta.Athes membawa tangannya menyentuh wajah Miranda. Hidung yang mungil dan mancung. Bulu mata yang lentik. Serta wajah yang sangat cantik, telah berhasil membuat Athes tidak mampu mengendalikan dirinya. Selama ini Athes tidak pernah seperti ini pada wanita yang menjadi one night stand-nya.Athes tidak pernah memiliki kesan khusus pada wanita yang telah mengabiskan satu malam bersamanya di ranjang. Tapi sekarang? Lihatlah dirinya begitu menginginkan Miranda. Mungkin, itu semua karena Miranda adalah satu-satunya wanita yang meninggalkannya dengan sepucuk surat dan juga uang. Jika mengingat itu semua, rasanya Athes ingin tertawa.“Hmmm.” Miranda menggeliat kala merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Per
“Aku benar-benar sudah gila!”Miranda mengacak-acak rambutnya. Ya, dia tidak menyangka kemarin dia telah menerima Athes Russel sebagai kekasihnya. Astaga, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa dia bisa dengan mudahnya menerima? Miranda bersumpah, dia pasti akan segera mendapatkan masalah jika sampai keluarganya tahu. Tidak. Tidak! Miranda tidak ingin semua orang tahu lebih awal. Lagi pula, dia pasti masih dalam masa perkenalan sifat Athes.Kini Miranda menjatuhkan tubuhnya terduduk di sofa. Dia menyandarkan punggungnya seraya memejamkan mata sesaat. Hal yang membuat Miranda benci pada dirinya adalah ketika dia tidak bisa menolak setiap sentuhan Athes. Sial, jika mengingat itu semua rasanya Miranda ingin melarikan diri saja. Dia sangat malu, tubuhnya selalu merespon setiap sentuhan pria itu. Harusnya dia menghajar pria itu. Tapi nyatanya? Dia malah lemah.Suara ketukan pintu terdengar. Miranda langsung membuka matanya, mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk m
Athes terdiam sejenak. Dia menatap lekat manik mata perak Miranda. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya.“Aku ingin kita saling mengenal satu sama lainnya. Maksudku, banyak hal yang aku tidak tahu darimu dan kau tidak tahu dariku. Selain itu aku belum ingin keluargaku tahu tentang hubungan kita. Begitu pun dengan publik. Aku tidak ingin publik mengetahuinya. Aku tidak suka diganggu oleh pemberitaan di media,” ujar Miranda yang memberi tahu keinginannya.Ya, lebih baik baginya untuk memilih mengenal Athes lebih dalam. Meski sebenarnya dia tidak mengerti dengan perasannya pada Athes, tapi dia masih memiliki waktu untuk memastikan perasaannya yang sebenarnya. Lepas dari itu semua, Miranda juga tidak ingin hubungannya dijadikan sebuah konsumsi publik. Sejak dulu Miranda tidak suka jika banyak media yang memberitakan tentang dirinya. Meskipun mau tidak mau, dia akan tetap menjadi pusat pemberitaan di media, tapi paling tidak untuk saat ini Miranda ingin memastikan hatinya lebih dulu se