“Tuan Russel.” Almero berseru menyambut kedatangan Athes Russel bersama dengan wanita yang dibawa olehnya.Jantung Miranda nyaris berhenti. Tatapannya menatap terkejut Athes melangkah mamasuki ballroom bersama dengan seorang wanita. Mereka bagaikan pasangan yang sangat serasi. Semua mata kini hanya tertuju pada mereka.“A-Athes.” Miranda bergumam lirih. Matanya memanas. Namun, dia masih mampu menahan dirinya.“Miranda.” Helen yang melihat kedatangan Athes bersama dengan wanita lain, dia pun tampak begitu terkejut. Helen ingin bertanya, namun dia mengurungkan niatnya karena di sini ada Almero King dengan istrinya.Miranda melangkah mundur ketika Almero dan Aira berjalan mendekat ke arah Athes dan wanita yang berdiri di samping Athes. Tubuh Miranda nyaris ambruk. Hatinya begitu perih dan terluka melihat ini. Tapi, Miranda berusaha untuk menguatkan diri.“Akhirnya kau datang, Tuan Athes?” Almero mendekat ke arah Athes. Dia mengulurkan tangannya, menjabat Athes. Athes pun menyambut jabata
Helen membawa Miranda duduk di sofa kamar apartemen Miranda. Malam ini Helen sengaja tidak mengajak Miranda untuk pulang ke mansion. Keadaan Miranda tampak kacau. Makeup yang berantakan, mata yang sembab. Rambut yang sudah tidak lagi tertata.Sepanjang perjalanan Miranda tidak henti menangis. Bahkan Helen tidak tega melihat keadaan Miranda seperti ini. Untuk pertama kalinya, Helen melihat Miranda menangis keras hanya karena seorang pria.Sebelumnya Miranda tidak pernah jatuh cinta. Kini Helen tahu, alasan kenapa Miranda tidak ingin jatuh cinta karena sahabatnya itu hanya menghindari luka yang membuatnya seakan tidak sanggup menjalani kehidupan.“Miranda, minumlah. Tadi aku meminta pelayan membuatkan teh hangat untukmu.” Helen memberikan cangkir yang berisikan teh hangat pada Miranda.Miranda hanya mengambil cangkir teh itu dan meminumnya perlahan. Raut wajahnya begitu muram. Pandangannya lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Miranda berharap ini adalah mimpi. Tapi sayangnya i
Miranda memijat pelan pelipisnya kala merasakan pusing yang luar biasa. Perutnya merasa mual. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, hingga membuat dirinya seperti ini. Mungkin karena tidak makan sejak tadi malam, membuat asam lambungnya naik.Kepala yang begitu memberat, membuat Miranda memilih untuk berdiam diri di kamar dan tidak pergi ke mana pun. Sebelumnya, dia telah meminta Bella untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia memilih untuk tidak bekerja beberapa hari ini, memulihkan keadaannya.Suara ketukan pintu, membuat Miranda mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan langsung menginstruksi untuk masuk.“Selamat pagi, Nona Miranda.” Seorang pelayan mengantarkan teh hangat dan tiramisu cake yang tadi Miranda pesan. Sebenarnya, Miranda tidak ingin sarapan apa pun. Perutnya yang mual, membuatnya tidak ingin makan. Hanya saja jika dia tidak makan, itu sama saja membuat sakitnya semakin parah. Paling tidak, dia memakan meski hanya sedikit.“Pagi, kau letakkan saja sarapanku di at
“Apa gaun ini cantik untukku?” tanya Valerie pada Aria, sang designer khusus yang merancang gaun yang Valerie pakai untuk pertemuan keluarganya dan keluarga Athes. Ya, demi tampil sempurna, Valerie meminta designer ternama merancangkan khusus gaun untuknya. Dia pun ingin membuat Athes mengagumi kecantikannya.“Nona Valerie, Anda memang sangat cantik. Gaun ini sangat cocok dipakai oleh Anda.” Aria berujar memuji penampilan Valerie. “Saya yakin, Tuan Athes pasti akan menyukai penampilan Anda, Nona,” lanjutnya dengan yakin.“Ah, kau benar. Athes pasti akan menyukaiku.” Valerie mematut diri di cermin. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna gold tali spaghetti. Gaun ini memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Dengan polesan makeup bold di wajahnya membuat Valerie semakin percaya diri. Dia memang pantas menjadi pasangan Athes. Itu yang sejak dulu dia tanamkan di pikirannya.“Nona Valerie, mari saya antarkan ke depan. Pasti Tuan Athes sudah menunggu Anda,” ujar Aria seraya mengulurkan tangan
“Huekkk!”Miranda memuntahkan semua makanan yang baru saja dia makan. Kepalanya memberat. Tubuhnya terasa begitu lemah. Bahkan, saat dia merasakan tubuhnya hampir ambruk, dia langsung memegang kuat wastafel. Entah kenapa beberapa hari ini mualnya tak kunjung menghilang. Kini Miranda memutar keran wastafel, membasuh mulutnya dengan air bersih.“Kenapa tidak sembuh juga? Padahal aku sudah menjaga pola makanku,” gumam Miranda seraya menghela napas panjang. Sungguh, dia tidak menyukai keadaan kesehatannya menurun seperti ini.Miranda melangkahkan kakinya keluar dari toilet, menuju ruang makan. Jika dia mual, hanya ada satu yang membuatnya jauh lebih baik yaitu memakan makanan manis.“Nona Miranda.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala Miranda memasuki rang makan.“Tolong siapkan apple juice dan chocolate cake untukku.” Miranda menarik kursi, lalu duduk.Sang pelayan menggangguk. Kemudian dia menyajikan apple juice dan chocolate cake yang dipesan oleh Miranda ke atas meja. Tepat di saat
“Miranda, meski kau mengusirku sekalipun. Aku akan tetap mengganggumu. Kau milikku, Miranda. Hanya milikku!” Athes berucap dengan tegas dan penuh penekanan.“Aku bukan milikmu lagi! Sejak di mana kau membohongiku, aku bukan lagi milikmu!” bentak Miranda keras. Derai air matanya semakin berlinang. Dia kembali memukul dada Athes dengan sisa tenaga yang dia miliki. Jika saja dia bisa, maka dia akan memilih membunuh pria yang ada di hadapannya itu. Miranda telah meneguhkan hatinya. Dia tidak akan pernah mau memaafkan Athes. Bagi Miranda, seseorang yang telah membohonginya akan tetap menjadi seorang pembohong.Sejak di mana dia tahu Athes telah memiliki tunangan, Miranda tidak ingin lagi mengenal Athes. Cinta yang dia rasakan pria itu telah tercampur dengan kebencian yang mendalam. Bahkan rasanya Miranda tidak lagi bisa membedakan perasaan cinta dan bencinya. Semua telah melebur menjadi satu. Tidak ada lagi yang tersisa. Karena luka itu begitu mendalam.Athes menggeram kala mendengar apa
Valerie membanting semua barang yang ada di kamarnya. Kini keadaan kamarnya tampak begitu kacau. Banyak pecahan beling di lantai. Dia tidak lagi memedulikan keadaan kamarnya itu. Valerie menangis, dia berteriak histeris memanggil nama Athes.Beberapa hari ini hidupnya telah tersiksa. Sejak di mana Athes membatalkan perjodohan mereka, Valerie bagaikan mayat hidup. Berkali-kali dia berniat bunuh diri. Tapi Hugo, sang ayah, selalu mencegahnya.“Nona Valerie.” Haura tampak terkejut kala memasuki kamar Valerie yang berantakan. Wajah Haura memucat. Bahkan dia tidak mampu melanjutkan perkataannya. Valerie pun terlihat sangat kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Valerie meninggikan suaranya ketika melihat Haura berdiri di hadapannya.Haura menelan salivanya susah payah. “Maaf, Nona. Tapi ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” jawabnya yang gugup.“Apa yang ingin kau katakan?” Valerie menatap dingin assistant-nya itu.“Ini tentang wanita yang menjadi kekasih Tuan Athes, Nona,” ujar
Miranda mengerutkan keningnya kala menatap sosok pria paruh baya yang melangkah mendekat ke arahnya.Tatapan Miranda tampak bingung, pria paruh baya itu mengenal dirinya. Miranda berusaha mengingat pria paruh baya itu, namun nyatanya dia tidak mengingat pria sama sekali paruh baya itu.Bahkan rasanya, dia belum pernah bertemu. Hanya saja wajah pria paruh baya itu masih sangat tampan, dengan tubuh tegap dan gagah mengingat Miranda pada sosok yang begitu dia kenali.“Miranda? Itu siapa?” tanya Helen dengan suara pelan, dan Miranda menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepalanya, memberi israyat agar Helen diam.“Miranda Spencer, bisa aku berbicara denganmu?” Pria paruh baya itu berdiri di hadapan Miranda. Iris mata cokelatnya menatap Miranda begitu lekat.“Maaf, kau siapa?” tanya Miranda dengan tatapan bingung. Dia yakin tidak mengenal pria paruh baya yang berdiri di hadapannya itu, namun iris mata cokelat milik pria paruh baya itu serta raut wajahnya tampak tak asing di wajah Miranda.
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda