“Huekkk!”Miranda memuntahkan semua makanan yang baru saja dia makan. Kepalanya memberat. Tubuhnya terasa begitu lemah. Bahkan, saat dia merasakan tubuhnya hampir ambruk, dia langsung memegang kuat wastafel. Entah kenapa beberapa hari ini mualnya tak kunjung menghilang. Kini Miranda memutar keran wastafel, membasuh mulutnya dengan air bersih.“Kenapa tidak sembuh juga? Padahal aku sudah menjaga pola makanku,” gumam Miranda seraya menghela napas panjang. Sungguh, dia tidak menyukai keadaan kesehatannya menurun seperti ini.Miranda melangkahkan kakinya keluar dari toilet, menuju ruang makan. Jika dia mual, hanya ada satu yang membuatnya jauh lebih baik yaitu memakan makanan manis.“Nona Miranda.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala Miranda memasuki rang makan.“Tolong siapkan apple juice dan chocolate cake untukku.” Miranda menarik kursi, lalu duduk.Sang pelayan menggangguk. Kemudian dia menyajikan apple juice dan chocolate cake yang dipesan oleh Miranda ke atas meja. Tepat di saat
“Miranda, meski kau mengusirku sekalipun. Aku akan tetap mengganggumu. Kau milikku, Miranda. Hanya milikku!” Athes berucap dengan tegas dan penuh penekanan.“Aku bukan milikmu lagi! Sejak di mana kau membohongiku, aku bukan lagi milikmu!” bentak Miranda keras. Derai air matanya semakin berlinang. Dia kembali memukul dada Athes dengan sisa tenaga yang dia miliki. Jika saja dia bisa, maka dia akan memilih membunuh pria yang ada di hadapannya itu. Miranda telah meneguhkan hatinya. Dia tidak akan pernah mau memaafkan Athes. Bagi Miranda, seseorang yang telah membohonginya akan tetap menjadi seorang pembohong.Sejak di mana dia tahu Athes telah memiliki tunangan, Miranda tidak ingin lagi mengenal Athes. Cinta yang dia rasakan pria itu telah tercampur dengan kebencian yang mendalam. Bahkan rasanya Miranda tidak lagi bisa membedakan perasaan cinta dan bencinya. Semua telah melebur menjadi satu. Tidak ada lagi yang tersisa. Karena luka itu begitu mendalam.Athes menggeram kala mendengar apa
Valerie membanting semua barang yang ada di kamarnya. Kini keadaan kamarnya tampak begitu kacau. Banyak pecahan beling di lantai. Dia tidak lagi memedulikan keadaan kamarnya itu. Valerie menangis, dia berteriak histeris memanggil nama Athes.Beberapa hari ini hidupnya telah tersiksa. Sejak di mana Athes membatalkan perjodohan mereka, Valerie bagaikan mayat hidup. Berkali-kali dia berniat bunuh diri. Tapi Hugo, sang ayah, selalu mencegahnya.“Nona Valerie.” Haura tampak terkejut kala memasuki kamar Valerie yang berantakan. Wajah Haura memucat. Bahkan dia tidak mampu melanjutkan perkataannya. Valerie pun terlihat sangat kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Valerie meninggikan suaranya ketika melihat Haura berdiri di hadapannya.Haura menelan salivanya susah payah. “Maaf, Nona. Tapi ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” jawabnya yang gugup.“Apa yang ingin kau katakan?” Valerie menatap dingin assistant-nya itu.“Ini tentang wanita yang menjadi kekasih Tuan Athes, Nona,” ujar
Miranda mengerutkan keningnya kala menatap sosok pria paruh baya yang melangkah mendekat ke arahnya.Tatapan Miranda tampak bingung, pria paruh baya itu mengenal dirinya. Miranda berusaha mengingat pria paruh baya itu, namun nyatanya dia tidak mengingat pria sama sekali paruh baya itu.Bahkan rasanya, dia belum pernah bertemu. Hanya saja wajah pria paruh baya itu masih sangat tampan, dengan tubuh tegap dan gagah mengingat Miranda pada sosok yang begitu dia kenali.“Miranda? Itu siapa?” tanya Helen dengan suara pelan, dan Miranda menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepalanya, memberi israyat agar Helen diam.“Miranda Spencer, bisa aku berbicara denganmu?” Pria paruh baya itu berdiri di hadapan Miranda. Iris mata cokelatnya menatap Miranda begitu lekat.“Maaf, kau siapa?” tanya Miranda dengan tatapan bingung. Dia yakin tidak mengenal pria paruh baya yang berdiri di hadapannya itu, namun iris mata cokelat milik pria paruh baya itu serta raut wajahnya tampak tak asing di wajah Miranda.
Miranda melangkah masuk ke dalam sebuah kafe, tempat di mana dia bertemu dengan Marco. Dia sengaja meminta bertemu di salah satu kafe yang letaknya sedikit jauh dengan apartemennya. Dia tidak ingin Marco mengetahui alamat apartemen pribadinya. Karena memang Miranda ingin menjaga privasi hidupnya.Saat Miranda memasuki kafe itu, dia sudah melihat Marco duduk di ujung sebelah kiri, dekat jendela. Miranda pun langsung mendekat ke arah Marco.“Maaf membuatmu menunggu.” Miranda berucap dengan ramah kala berdiri di hadapan Marco.“Miranda? Kau sudah datang?” sapa Marco dengan senyuman hangat di wajahnya. “Duduklah, tidak enak jika aku duduk dan kau masih berdiri.”Miranda langsung menarik kursi, dia duduk tepat di hadapan Marco. “Tadi ada yang harus aku kerjakan. Jadi aku sedikit terlambat. Maafkan aku, Marco.”“Tidak perlu meminta maaf, aku juga baru saja datang,” balas Marco dengan tatapan lekat pada iris mata perak Miranda. “Oh, ya. Aku sudah memesan orange juice untukmu dan salmon steak
Athes menenggak wine di tangannya hingga tandas. Pikirannya tak henti memikirkan tentang Miranda. Berkali-kali dia berusaha menghubungi wanita itu, tapi tidak ada jawaban.Sejak kemarin kesehatan Miranda drop, Athes memilih memberikan waktu sejenak untuk wanita itu. Dia tidak ingin membuat keadaan Miranda bertambah parah. Karena memang ini semua adalah kesalahannya.Jika saja Athes tidak membohongi Miranda, ini tidak akan pernah terjadi. Dan jika saja, dirinya sejak lama dirinya memutuskan hubungannya dengan Valerie, ini semua tidak akan pernah terjadi.“Tuan Athes.” Henrik berlari menerobos ruang kerja Athes, dengan begitu tergesa-gesa. Terlihat raut wajah Henrik begitu panik dan cemas.“Ada apa, Henrik?” tanya Athes dingin kala melihat kepanikan di wajah Henrik.“Tuan, apa Anda sudah melihat berita hari ini?” tanya Henrik dengan raut wajah gelisah.“Berita?” Kening Athes berkerut, dia menatap bingung Henrik. “Berita apa yang kau maksud?” tanyanya dengan nada mendesak, agar menjelask
“Helen, tunggu.” Darren menahan tangan Helen, yang hendak menuju parkiran mobil.“Darren? Kenapa kau di sini?” Helen melepaskan tangan Darren yang menyentuh tangannya. Dia melangkah mundur, menjauh dari pria itu. Raut wajah Helen tampak terkejut melihat Darren berada di perusahaannya.“Helen, aku ingin bicara denganmu.” Darren hendak mendekat. Sontak, Helen langsung melangkah mundur, menjauh dari Darren.“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Darren.” Helen menatap dingin Darren, seolah dirinya enggan untuk berbicara pada pria di hadapannya itu.Darren mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya semakin bersalah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, dia berusaha menghubungi Helen. Tapi tidak ada satu pun respon dari wanita itu. Mulai dari telepon, pesan, semuanya diabaikan oleh Helen. Darren tentu saja memahami, Helen menghindar darinya karena kecewa atas apa yang dia katakan sebelumnya.“Helen, kita harus bicara. Aku mohon kali ini biarkan aku bicara padamu,” ucap Darren sungguh-sungguh.H
Athes melompat turun dari mobil. Kini Athes berada di kediaman Armstrong. Raut wajahnya tampak begitu dingin, dan iris mata cokelatnya yang memendung amarah seolah akan meledak. Para pelayan dan penjaga yang menyapa Athes, sama sekali tidak dipedulikan olehnya. Athes hanya terus melangkah masuk ke dalam rumah.“Valerie!” teriak Athes memanggil nama Valerie bgitu menggelegar.“Tuan Athes?” Haura terkejut mendengar suara teriakan Athes yang kencang itu.“Di mana Valerie!” seru Athes dengan tatapan begitu tajam pada Haura di hadapannya itu.“Nona Valerie ada di—”“Athes? Kau di sini?” Valerie yang menuruni tangga, dia mengulas senyuman hangat di wajahnya kala melihat Athes datang ke rumahnya. Tepat di saat Valerie sudah datang, Haura langsung pamit undur diri dari hadapan Athes dan Valerie.“Aku tahu kau pasti akan mencariku.” Valerie langsung menghamburkan pelukannya pada Athes. Namun, saat Valerie memeluk Athes dengan cepat Athes mendorong tubuh Valerie, hingga tersungkur di lantai.“A