Valerie membanting semua barang yang ada di kamarnya. Kini keadaan kamarnya tampak begitu kacau. Banyak pecahan beling di lantai. Dia tidak lagi memedulikan keadaan kamarnya itu. Valerie menangis, dia berteriak histeris memanggil nama Athes.Beberapa hari ini hidupnya telah tersiksa. Sejak di mana Athes membatalkan perjodohan mereka, Valerie bagaikan mayat hidup. Berkali-kali dia berniat bunuh diri. Tapi Hugo, sang ayah, selalu mencegahnya.“Nona Valerie.” Haura tampak terkejut kala memasuki kamar Valerie yang berantakan. Wajah Haura memucat. Bahkan dia tidak mampu melanjutkan perkataannya. Valerie pun terlihat sangat kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Valerie meninggikan suaranya ketika melihat Haura berdiri di hadapannya.Haura menelan salivanya susah payah. “Maaf, Nona. Tapi ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” jawabnya yang gugup.“Apa yang ingin kau katakan?” Valerie menatap dingin assistant-nya itu.“Ini tentang wanita yang menjadi kekasih Tuan Athes, Nona,” ujar
Miranda mengerutkan keningnya kala menatap sosok pria paruh baya yang melangkah mendekat ke arahnya.Tatapan Miranda tampak bingung, pria paruh baya itu mengenal dirinya. Miranda berusaha mengingat pria paruh baya itu, namun nyatanya dia tidak mengingat pria sama sekali paruh baya itu.Bahkan rasanya, dia belum pernah bertemu. Hanya saja wajah pria paruh baya itu masih sangat tampan, dengan tubuh tegap dan gagah mengingat Miranda pada sosok yang begitu dia kenali.“Miranda? Itu siapa?” tanya Helen dengan suara pelan, dan Miranda menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepalanya, memberi israyat agar Helen diam.“Miranda Spencer, bisa aku berbicara denganmu?” Pria paruh baya itu berdiri di hadapan Miranda. Iris mata cokelatnya menatap Miranda begitu lekat.“Maaf, kau siapa?” tanya Miranda dengan tatapan bingung. Dia yakin tidak mengenal pria paruh baya yang berdiri di hadapannya itu, namun iris mata cokelat milik pria paruh baya itu serta raut wajahnya tampak tak asing di wajah Miranda.
Miranda melangkah masuk ke dalam sebuah kafe, tempat di mana dia bertemu dengan Marco. Dia sengaja meminta bertemu di salah satu kafe yang letaknya sedikit jauh dengan apartemennya. Dia tidak ingin Marco mengetahui alamat apartemen pribadinya. Karena memang Miranda ingin menjaga privasi hidupnya.Saat Miranda memasuki kafe itu, dia sudah melihat Marco duduk di ujung sebelah kiri, dekat jendela. Miranda pun langsung mendekat ke arah Marco.“Maaf membuatmu menunggu.” Miranda berucap dengan ramah kala berdiri di hadapan Marco.“Miranda? Kau sudah datang?” sapa Marco dengan senyuman hangat di wajahnya. “Duduklah, tidak enak jika aku duduk dan kau masih berdiri.”Miranda langsung menarik kursi, dia duduk tepat di hadapan Marco. “Tadi ada yang harus aku kerjakan. Jadi aku sedikit terlambat. Maafkan aku, Marco.”“Tidak perlu meminta maaf, aku juga baru saja datang,” balas Marco dengan tatapan lekat pada iris mata perak Miranda. “Oh, ya. Aku sudah memesan orange juice untukmu dan salmon steak
Athes menenggak wine di tangannya hingga tandas. Pikirannya tak henti memikirkan tentang Miranda. Berkali-kali dia berusaha menghubungi wanita itu, tapi tidak ada jawaban.Sejak kemarin kesehatan Miranda drop, Athes memilih memberikan waktu sejenak untuk wanita itu. Dia tidak ingin membuat keadaan Miranda bertambah parah. Karena memang ini semua adalah kesalahannya.Jika saja Athes tidak membohongi Miranda, ini tidak akan pernah terjadi. Dan jika saja, dirinya sejak lama dirinya memutuskan hubungannya dengan Valerie, ini semua tidak akan pernah terjadi.“Tuan Athes.” Henrik berlari menerobos ruang kerja Athes, dengan begitu tergesa-gesa. Terlihat raut wajah Henrik begitu panik dan cemas.“Ada apa, Henrik?” tanya Athes dingin kala melihat kepanikan di wajah Henrik.“Tuan, apa Anda sudah melihat berita hari ini?” tanya Henrik dengan raut wajah gelisah.“Berita?” Kening Athes berkerut, dia menatap bingung Henrik. “Berita apa yang kau maksud?” tanyanya dengan nada mendesak, agar menjelask
“Helen, tunggu.” Darren menahan tangan Helen, yang hendak menuju parkiran mobil.“Darren? Kenapa kau di sini?” Helen melepaskan tangan Darren yang menyentuh tangannya. Dia melangkah mundur, menjauh dari pria itu. Raut wajah Helen tampak terkejut melihat Darren berada di perusahaannya.“Helen, aku ingin bicara denganmu.” Darren hendak mendekat. Sontak, Helen langsung melangkah mundur, menjauh dari Darren.“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Darren.” Helen menatap dingin Darren, seolah dirinya enggan untuk berbicara pada pria di hadapannya itu.Darren mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya semakin bersalah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, dia berusaha menghubungi Helen. Tapi tidak ada satu pun respon dari wanita itu. Mulai dari telepon, pesan, semuanya diabaikan oleh Helen. Darren tentu saja memahami, Helen menghindar darinya karena kecewa atas apa yang dia katakan sebelumnya.“Helen, kita harus bicara. Aku mohon kali ini biarkan aku bicara padamu,” ucap Darren sungguh-sungguh.H
Athes melompat turun dari mobil. Kini Athes berada di kediaman Armstrong. Raut wajahnya tampak begitu dingin, dan iris mata cokelatnya yang memendung amarah seolah akan meledak. Para pelayan dan penjaga yang menyapa Athes, sama sekali tidak dipedulikan olehnya. Athes hanya terus melangkah masuk ke dalam rumah.“Valerie!” teriak Athes memanggil nama Valerie bgitu menggelegar.“Tuan Athes?” Haura terkejut mendengar suara teriakan Athes yang kencang itu.“Di mana Valerie!” seru Athes dengan tatapan begitu tajam pada Haura di hadapannya itu.“Nona Valerie ada di—”“Athes? Kau di sini?” Valerie yang menuruni tangga, dia mengulas senyuman hangat di wajahnya kala melihat Athes datang ke rumahnya. Tepat di saat Valerie sudah datang, Haura langsung pamit undur diri dari hadapan Athes dan Valerie.“Aku tahu kau pasti akan mencariku.” Valerie langsung menghamburkan pelukannya pada Athes. Namun, saat Valerie memeluk Athes dengan cepat Athes mendorong tubuh Valerie, hingga tersungkur di lantai.“A
Miranda duduk di ranjang, dengan pikiran yang menerawang ke depan. Sejak di mana dia tahu dirinya tengah mengandung Miranda bagaikan orang yang tersesat arah.Miranda tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak mungkin dia mengatakannya pada Athes. Bukan hanya itu, tapi Miranda juga tidak tahu apa yang harus dikatakan pada keluarganya.Pasalnya, selama ini keluarganya tidak ada yang tahu jika dirinya memiliki hubungan dengan seorang pria.Sekarang Miranda harus dihadapakan dengan kenyataan dirinya mengandung. Apa yang akan keluarganya pikirkan jika sampai tahu dirinya mengandung anak dari Athes Russel?“Miranda, kau belum makan. Makanlah dulu.” Helen masuk ke dalam kamar Miranda seraya membawakan soup untuk sahabatnya itu.Sesaat Helen terdiam kala melihat Miranda yang melamun. Bahkan makanan tadi pagi tidak sedikit pun disentuh oleh Miranda.Termasuk obat dan vitamin yang diberikan oleh dokter, tidak ada yang diminum oleh Miranda. Kini Helen duduk di tepi ranjang. Dia masih diam, da
Miranda duduk di sofa seraya membaca email masuk beberapa hari lalu di iPad-nya. Dia sudah lama tidak mengurus perusahaan. Bahkan dia tidak melihat email masuk.Pikiran yang kacau beberapa hari ini, membuat Miranda tidak bisa memikirkan tentang pekerjaannya. Namun, ada rasa bersalah dalam dirinya karena mengabaikan pekerjaan dan menyerahkan sepenuhnya pada Bella dan juga Daren.“Miranda,” Helen melangkah menghampiri Miranda yang duduk di sofa kamar. Kemudian dia mendekat, dan duduk di samping sahabatnya itu. “Apa kau sudah makan?” tanyanya.“Sudah, aku sudah makan dan juga sudah minum obat. Kau tidak perlu mencemaskanku.” Miranda meletakkan iPad-nya ke atas meja. Kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa dan mengambil bantal kecil, lalu memeluknya.Helen mengangguk. “Oh, ya. Aku ingin bilang padamu malam ini aku harus terbang ke Los Angeles. Ada jamuan makan malam dan ayahku masih berada di Dubai. Terpaksa ayahku memintaku untuk ke Los Angeles. Kau tidak apa-apa kan aku tinggal sendir
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda