Miranda duduk di sofa seraya membaca email masuk beberapa hari lalu di iPad-nya. Dia sudah lama tidak mengurus perusahaan. Bahkan dia tidak melihat email masuk.Pikiran yang kacau beberapa hari ini, membuat Miranda tidak bisa memikirkan tentang pekerjaannya. Namun, ada rasa bersalah dalam dirinya karena mengabaikan pekerjaan dan menyerahkan sepenuhnya pada Bella dan juga Daren.“Miranda,” Helen melangkah menghampiri Miranda yang duduk di sofa kamar. Kemudian dia mendekat, dan duduk di samping sahabatnya itu. “Apa kau sudah makan?” tanyanya.“Sudah, aku sudah makan dan juga sudah minum obat. Kau tidak perlu mencemaskanku.” Miranda meletakkan iPad-nya ke atas meja. Kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa dan mengambil bantal kecil, lalu memeluknya.Helen mengangguk. “Oh, ya. Aku ingin bilang padamu malam ini aku harus terbang ke Los Angeles. Ada jamuan makan malam dan ayahku masih berada di Dubai. Terpaksa ayahku memintaku untuk ke Los Angeles. Kau tidak apa-apa kan aku tinggal sendir
Miranda mematut diri di cermin dengan raut wajah yang malas. Hari ini Miranda terpaksa harus menemui rekan bisnisnya. Padahal dia sedang tidak ingin keluar rumah.Mengingat dirinya hingga detik ini masih sering mual. Seperti tadi saat Miranda baru saja bangun tidur, entah sudah berapa kali dia muntah. Setiap makanan yang masuk, Miranda pun merasakan mual yang luar biasa.Terakhir, Dokter mengatakan kehamilan di trismester pertama memang akan sering merasakan mual, terutama saat di pagi hari. Sungguh, ini benar-benar menyiksa dirinya. Namun, Miranda tidak bisa melakukan apa pun.Sejak di mana dia tahu dirinya tengah mengandung, Miranda mulai mencintai janin yang ada di kandungannya. Bagaimanapun, meski Miranda membenci Athes, janin yang ada di kandungannya juga darah dagingnya sendiri. Tentu lambat laun, Miranda akan mencintainya.Suara dering ponsel terdengar, membuat Miranda yang tengah melamun langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Miranda mengambil ponsel
“Tuan Athes,” Henrik menyapa kala Athes baru saja keluar dari ruang meeting.“Ada apa?” Athes menatap dingin Henrik yang berdiri di hadapannya.“Tuan, di ruang kerja Anda ada Tuan Besar Aaron yang menunggu Anda sejak tadi,” ujar Henrik memberi tahu.Athes mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya berubah mendengar ayahnya datang. Athes mengumpat dalam hati. Ya, tentu dia tahu tujuan ayahnya ke sini hanya ingin membicarakan tentang Valerie. Tidak ada pilihan lain, mau tidak mau Athes harus menemui ayahnya itu. Bisa saja dia langsung pergi, tapi Athes tahu, ayahnya itu akan membuat keributan.Dengan raut wajah begitu dingin dan sepasang iris mata tajam, Athes melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.Seketika Athes terdiam kala melihat Aaron duduk di kursi kerjanya. Ayahnya itu tampak begitu arogan. Kini Athes mendekat ke arah Aaron, dan tatapan yang menatap dingin ayahnya itu.“Ada apa kau ke sini, Dad?” tanya Arthes dengan nada dingin dan tidak ramah.“Begini caramu menyambut kedatangan
Athes membanting seluruh pajangan yang ada di ruang kerjanya. Amarah dalam dirinya tidak mampu lagi tertahan. Athes menggeram. Ingatannya terus memikirkan tentang Miranda yang sudah berselingkuh darinya. “Sialan! Berengsek!” Athes mengumpat kasar. Dia mengambil guci yang ada di hadapannya, dan membantingnya hingga terbentur ke dinding.Prang!Pecahan guci tergeletak di lantai. Kini ruang kerja Athes tampak begitu kacau dan berantakan. Athes tidak bisa lagi menutupi amarahnya. Kilat matanya menajam. Meski letupan amarahnya tertuang, Athes masih tidak puas akan itu. Kebencian begitu terlihat jelas di iris mata cokelatnya.“Tuan Athes.” Henrik masuk ke dalam ruang kerja Athes. Seketika tubuhnya membeku menatap pecahan guci yang berserakan di lantai. Ditambah dengan ruang kerja tuannya itu yang tampak begitu kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Athes meninggikan suaranya.“M-Maaf, Tuan. Saya hanya ingin bertanya apa Anda ingin saya menyelidiki orang yang mengirimkan foto Nona Miranda dan M
Pelupuk mata Miranda bergerak. Perlahan Miranda mulai membuka matanya. Dia sedikit memijat pelipisnya kala merasakan sedikit pusing. Miranda merintih ketika perut bagian bawahnya merasa sedikit sakit. Tubuhnya seolah remuk.Hingga saat Miranda menatap sekelilingnya, dia berada di sebuah ruangan putih dengan aroma obat, rumah sakit. Raut wajah Miranda berubah kala menyadari dirinya memang berada di sebuah ruang VVIP rumah sakit.“Kau sudah sadar?” Darren berdiri di ambang pintu, menatap Miranda yang sudah membuka mata. Dengan wajah yang begitu dingin, Darren melangkah mendekat ke arah adiknya itu.“Kak Darren? Kau di sini?” Wajah Miranda berubah menjadi pucat kala melihat Darren berdiri di hadapannya.Darren mengangguk singkat dan menjawab, “Kau tadi pingsan. Aku membawamu ke rumah sakit.”Miranda menelan salivanya susah payah mendengar apa yang dikatakan oleh kakaknya itu. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya terutama tentang kandungannya. Namun, dia tidak berani menanyakan itu pad
Darren turun dari mobil dan membanting kasar pintu mobilnya. Raut wajah penuh dengan kemarahan begitu terlihat jelas. Kini Darren melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung perkantoran milik Russel Group.Di area lobby, banyak karyawan yang menyapa kehadiran Darren, sayangnya Darren tidak merespon satu pun sapaan dari para karyawan Russel Group. Pria itu terus melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerja Athes.“Tuan Darren.” Henrik menundukkan kepalanya menyapa Darren yang baru saja keluar dari lift.“Di mana Athes?” Darren bertanya dengan nada dingin dan sorot mata begitu tajam.Henrik terdiam sesaat kala Darren memanggil Athes tanpa sebutan ‘Tuan’. Tidak biasanya Darren berucap tidak formal. Bahkan Henrik bisa melihat jelas kemaran di wajah Darren.“Tuan Athes ada di ruang kerjanya, Tuan,” jawab Henrik dengan sopan seraya menundukkan kepalanya.Tanpa menjawab, Darren langsung melangkah masuk menuju ruang kerja Athes. Iris mata Darren kian menajam, sorotnya tampak menunjukkan kemaraha
Helen menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Testpack dengan hasil dua garis membuat tubuhnya nyaris ambruk. Raut wajahnya menegang. Terlihat Helen begitu ketakutan. Berkali-kali Helen menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, dia bahkan sudah lebih dari lima kali memeriksa dan hasilnya tetap sama yaitu positive.Helen menelan salivanya susah payah. Di tengah masalah Miranda, harusnya dia fokus membantu sahabatnya itu. Tapi sekarang? Kenyataan membawa dirinya mengandung anak Darren, kakak dari sahabatnya itu. Helen mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.Ceklek!Suara pintu terbuka, membuat Helen langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seketika Helen langsung menyembunyikan testpack yang ada di tangannya ke dalam saku dress-nya. Tatapan Helen terarah pada Miranda yang masuk ke dalam kamar. Terlihat wajah Miranda yang tampak begitu kacau.“Miranda?” Helen langsung mendekat ke arah Miranda.
Raut wajah Athes berubah kala melihat dokumen yang dilempar oleh Marco di hadapannya itu. Iris mata cokelatnya menggelap. Terlihat kemarahan dan kebencian yang melebur menjadi satu di sana.Henrik, assistant-nya hendak membawa Marco keluar dari ruang kerja Athes kala melihat kemarahan di wajah Athes. Namun Athes langsung menggerakkan kepalanya, meminta Henrik untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Athes. Meski amarah telah membendung menjadi satu, tapi Athes ingin tahu apa yang Marco inginkan hingga berani datang menghampirinya.“Aku tidak memiliki waktu untuk berbicara denganmu. Apa yang kau inginkan?” Athes masih enggan menyentuh dokumen yang dilempar oleh Marco ke hadapannya. Tatapannya kini teralih pada Marco yang masih bergeming dari tempatnya.“Kau buka saja dokumen itu. Kau lihat di dalamnya. Di sana, kau akan bisa melihat kesalahan apa yang telah kau perbuat. Mungkin lebih tepatnya meski kau menyesali, semuanya percuma karena Miranda tidak akan pernah memaafkanmu.” Marco te