Helen menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Testpack dengan hasil dua garis membuat tubuhnya nyaris ambruk. Raut wajahnya menegang. Terlihat Helen begitu ketakutan. Berkali-kali Helen menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, dia bahkan sudah lebih dari lima kali memeriksa dan hasilnya tetap sama yaitu positive.Helen menelan salivanya susah payah. Di tengah masalah Miranda, harusnya dia fokus membantu sahabatnya itu. Tapi sekarang? Kenyataan membawa dirinya mengandung anak Darren, kakak dari sahabatnya itu. Helen mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.Ceklek!Suara pintu terbuka, membuat Helen langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seketika Helen langsung menyembunyikan testpack yang ada di tangannya ke dalam saku dress-nya. Tatapan Helen terarah pada Miranda yang masuk ke dalam kamar. Terlihat wajah Miranda yang tampak begitu kacau.“Miranda?” Helen langsung mendekat ke arah Miranda.
Raut wajah Athes berubah kala melihat dokumen yang dilempar oleh Marco di hadapannya itu. Iris mata cokelatnya menggelap. Terlihat kemarahan dan kebencian yang melebur menjadi satu di sana.Henrik, assistant-nya hendak membawa Marco keluar dari ruang kerja Athes kala melihat kemarahan di wajah Athes. Namun Athes langsung menggerakkan kepalanya, meminta Henrik untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Athes. Meski amarah telah membendung menjadi satu, tapi Athes ingin tahu apa yang Marco inginkan hingga berani datang menghampirinya.“Aku tidak memiliki waktu untuk berbicara denganmu. Apa yang kau inginkan?” Athes masih enggan menyentuh dokumen yang dilempar oleh Marco ke hadapannya. Tatapannya kini teralih pada Marco yang masih bergeming dari tempatnya.“Kau buka saja dokumen itu. Kau lihat di dalamnya. Di sana, kau akan bisa melihat kesalahan apa yang telah kau perbuat. Mungkin lebih tepatnya meski kau menyesali, semuanya percuma karena Miranda tidak akan pernah memaafkanmu.” Marco te
“Henrik!” Athes berteriak begitu menggelegar memanggil assistant-nya kala memasuki ruang kerjanya.“Iya, Tuan?” Henrik berlari cepat kala melihat Athes memanggilnya. Raut wajah Henrik tampak ketakutan. Terlebih melihat amarah yang meledak-ledak begitu terlihat jelas di wajah Athes.“Cari keberadaan Miranda sekarang! Aku hanya memberi waktumu tidak lebih dari dua jam mencari keberadaan Miranda!” seru Athes dengan geraman tertahan. Iris mata cokelatnya menggelap, penuh dengan amarah. Rahangnya mengetat. Berkali-kali dia mengumpat dalam hati.“M-Maaf, Tuan. Sebelumnya ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap Henrik tampak begitu gugup dan ketakutan.“Katakan, ada apa?” Athes menatap tajam Henrik yang berdiri di hadapannya.“T-Tuan, tadi saat Anda pergi setelah mengetahui kebenaran yang disampaikan Marco Foster, saya langsung mencari keberadaan Nona Miranda. Namun, yang saya dapatkan tidak ada. Spencer Group telah sepenuhnya diambil alih Nona Miranda. Bahkan hingga detik ini say
Tokyo, Japan. Miranda melangkah menelusuri bibir pantai seraya mengelus perut yang membuncit. Cuaca sore hari di Tokyo sangat sejuk. Terutama sekarang adalah musim gugur. Kini usia kandungan Miranda telah memasuki minggu ke empat puluh. Tanpa terasa sudah hampir delapan bulan Miranda meninggalkan Roma. Kota yang menyimpan sejuta kenangan di sana. Selama ini Miranda menjalani kehidupannya di Tokyo, dia merasakan ketenangan. Karena tidak ada satu pun orang yang tahu dirinya adalah putri dari Keluarga Spencer. Miranda sangat jarang menyebut namanya.Biasanya Miranda hanya memperkenalkan nama panggilannya saja. Tidak banyak orang yang tahu nama keluarga Miranda. Ini semua karena Miranda tidak ingin dikenal banyak orang. Hidupnya terasa tenang dan hangat tanpa ada yang mengganggunya.Namun, meski Miranda telah meninggalkan Roma dalam waktu yang cukup lama, tidak bisa dipungkiri Miranda masih merindukan Athes. Pria yang akan selalu ada di hatinya. Saat Miranda telah tiba di Tokyo, dia sud
Lima tahun kemudian. New York, USA. Seorang pria tampan dan gagah berdiri dengan kokoh menatap dari jendela kepadatan kota New York. Sebuah kota di Amerika yang terkenal sebagai julukan pusat bisnis. Athes Leonard Russel, di usia yang kini telah memasuki empat puluh tahun pria itu mampu membawa Russel Group menjadi perusahaan yang semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Berkat tangan besi dan kehebatannya, Athes bisa dengan mudahnya menaklukan semua pesaing bisnisnya. Tanpa belas kasih, Athes terkenal kejam dalam dunia bisnis. Dia selalu berhasil mengakuisisi perusahaan dari lawan bisnis yang bertindak curang padanya.Dalam lima tahun terakhir, Athes telah meninggalkan kota Roma. Bukan karena sepenuhnya keinginan dirinya. Hanya saja ini semua karena Athes fokus pada pengembangan perusahaannya. Dengan Athes pindah ke New York, pikirannya sedikit lebih tenang meski hatinya tidak akan pernah bisa tenang.Kini Aaron tidak lagi memimpin Russel Group. Sepenuhnya Athes-lah yang memegang
Athes duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sesaat dia menyandarkan kepalanya di kursi, dan memejamkan mata lelah. Banyak pekerjaan yang belakangan ini menyita waktunya.Sejak Miranda pergi, Athes berusaha mengobati luka di hatinya dengan fokus pada pekerjaan. Namun meski demikian Athes tidak pernah menyerah mencari keberadaan Miranda. Dia yakin, semua ini karena begitu banyak orang-orang yang membantu Miranda hingga dia tidak bisa menemukan wanita itu.Hubungan Athes dan Valerie telah berakhir. Salah satu alasan kuat Athes meninggalkan kota Roma karena Athes tidak ingin lagi bertemu dengan Valerie dan mendapatkan banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Hingga detik ini Valerie terus berusaha berbicara dengannya. Namun, tentu saja Athes akan meminta anak buahnya menyeret Valerie keluar dari hadapannya, tiap kali wanita itu datang.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Athes langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk masuk.“Tua
“Helen, Kak Darren, aku titip Audrey. Hari ini aku harus meeting dengan direktur Maxton Group,” ujar Miranda seraya melirik arlojinya.Perayaan hari ayah di sekolah Audrey hingga detik ini masih belum juga berakhir. Tidak mungkin Miranda harus menunggu sampai selesai pasalnya dia memiliki janji bertemu dengan direktur perwakilan Maxton Group. Sekarang saja dia sudah datang terlambat.“Pergilah. Nanti kami yang akan menjaga Audrey, Miranda,” ujar Helen.“Miranda.” Darren menepuk pelan bahu sang adik. “Kau tidak perlu mencemaskan Audrey. Kami akan menjaganya dengan baik.”Miranda tersenyum. “Terima kasih banyak. Aku benar-benar berhutang pada kalian.”“Miranda, apa kau ingin aku antar?” tanya Marco menawarkan diri.“Jangan, Marco. Nanti Audrey bertanya kau ke mana. Lebih baik aku sendiri saja. Audrey pasti membutuhkanmu,” kata Miranda dengan yakin.Marco mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Miranda. Dia dan Audrey sangat dekat. Jika Marco pergi pasti Audrey akan sedih. Sudah c
“Arhggggggg!” Athes membanting vas bunga yang ada di hadapannya. Dia menyugar rambutnya kasar. Pikirannya terus mengingat perkataan Miranda yang mengatakan telah menikah dengan Marco. Bahkan mereka sudah memiliki seorang putri. Semua itu wajar. Karena memang mereka berpisah lebih dari lima tahun. Banyak orang berubah dalam lima tahun. Namun Athes tidak bisa menerima semua itu. Miranda hanya miliknya dan akan tetap menjadi miliknya. “Miranda.” Athes bergumam lirih seraya menejamkan matanya. Penyesalan begitu menelusup dalam dirinya. Dia tidak sanggup lagi setiap kali mengingat Miranda telah menikah. Wanita yang dia cintai telah dimiliki seutuhnya oleh pria lain.Namun di saat Athes begitu frustrasi dengan apa yang dikatakan oleh Miranda, sesuatu muncul dalam benak Athes. Dengan cepat Athes menekan tombol interkom, dan meminta Henrik untuk datang menghampirinnya.“Tuan.” Henrik menyapa seraya melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Henrik, aku ingin kau cari tahu nama pena yang di
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda