Lima tahun kemudian. New York, USA. Seorang pria tampan dan gagah berdiri dengan kokoh menatap dari jendela kepadatan kota New York. Sebuah kota di Amerika yang terkenal sebagai julukan pusat bisnis. Athes Leonard Russel, di usia yang kini telah memasuki empat puluh tahun pria itu mampu membawa Russel Group menjadi perusahaan yang semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Berkat tangan besi dan kehebatannya, Athes bisa dengan mudahnya menaklukan semua pesaing bisnisnya. Tanpa belas kasih, Athes terkenal kejam dalam dunia bisnis. Dia selalu berhasil mengakuisisi perusahaan dari lawan bisnis yang bertindak curang padanya.Dalam lima tahun terakhir, Athes telah meninggalkan kota Roma. Bukan karena sepenuhnya keinginan dirinya. Hanya saja ini semua karena Athes fokus pada pengembangan perusahaannya. Dengan Athes pindah ke New York, pikirannya sedikit lebih tenang meski hatinya tidak akan pernah bisa tenang.Kini Aaron tidak lagi memimpin Russel Group. Sepenuhnya Athes-lah yang memegang
Athes duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sesaat dia menyandarkan kepalanya di kursi, dan memejamkan mata lelah. Banyak pekerjaan yang belakangan ini menyita waktunya.Sejak Miranda pergi, Athes berusaha mengobati luka di hatinya dengan fokus pada pekerjaan. Namun meski demikian Athes tidak pernah menyerah mencari keberadaan Miranda. Dia yakin, semua ini karena begitu banyak orang-orang yang membantu Miranda hingga dia tidak bisa menemukan wanita itu.Hubungan Athes dan Valerie telah berakhir. Salah satu alasan kuat Athes meninggalkan kota Roma karena Athes tidak ingin lagi bertemu dengan Valerie dan mendapatkan banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Hingga detik ini Valerie terus berusaha berbicara dengannya. Namun, tentu saja Athes akan meminta anak buahnya menyeret Valerie keluar dari hadapannya, tiap kali wanita itu datang.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Athes langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk masuk.“Tua
“Helen, Kak Darren, aku titip Audrey. Hari ini aku harus meeting dengan direktur Maxton Group,” ujar Miranda seraya melirik arlojinya.Perayaan hari ayah di sekolah Audrey hingga detik ini masih belum juga berakhir. Tidak mungkin Miranda harus menunggu sampai selesai pasalnya dia memiliki janji bertemu dengan direktur perwakilan Maxton Group. Sekarang saja dia sudah datang terlambat.“Pergilah. Nanti kami yang akan menjaga Audrey, Miranda,” ujar Helen.“Miranda.” Darren menepuk pelan bahu sang adik. “Kau tidak perlu mencemaskan Audrey. Kami akan menjaganya dengan baik.”Miranda tersenyum. “Terima kasih banyak. Aku benar-benar berhutang pada kalian.”“Miranda, apa kau ingin aku antar?” tanya Marco menawarkan diri.“Jangan, Marco. Nanti Audrey bertanya kau ke mana. Lebih baik aku sendiri saja. Audrey pasti membutuhkanmu,” kata Miranda dengan yakin.Marco mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Miranda. Dia dan Audrey sangat dekat. Jika Marco pergi pasti Audrey akan sedih. Sudah c
“Arhggggggg!” Athes membanting vas bunga yang ada di hadapannya. Dia menyugar rambutnya kasar. Pikirannya terus mengingat perkataan Miranda yang mengatakan telah menikah dengan Marco. Bahkan mereka sudah memiliki seorang putri. Semua itu wajar. Karena memang mereka berpisah lebih dari lima tahun. Banyak orang berubah dalam lima tahun. Namun Athes tidak bisa menerima semua itu. Miranda hanya miliknya dan akan tetap menjadi miliknya. “Miranda.” Athes bergumam lirih seraya menejamkan matanya. Penyesalan begitu menelusup dalam dirinya. Dia tidak sanggup lagi setiap kali mengingat Miranda telah menikah. Wanita yang dia cintai telah dimiliki seutuhnya oleh pria lain.Namun di saat Athes begitu frustrasi dengan apa yang dikatakan oleh Miranda, sesuatu muncul dalam benak Athes. Dengan cepat Athes menekan tombol interkom, dan meminta Henrik untuk datang menghampirinnya.“Tuan.” Henrik menyapa seraya melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Henrik, aku ingin kau cari tahu nama pena yang di
“Miranda.” Helen memanggil saat Miranda baru saja keluar dari ruang rawat Audrey. Dia langsung memberikan cokelat panas yang tadi dia beli untuk Miranda seraya berkata, “Minumlah. Rasa manis di cokelat panas ini akan membuatmu lebih tenang.”“Terima kasih.” Miranda menerima cokelat panas itu dan meminumnya perlahan. “Di mana Kak Darren dan Marco?” tanyanya pelan.“Darren sudah pulang karena Dakota menangis di rumah. Marco juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya,” jawab Helen.Miranda menganggukkan kepalanya.“Bagaimana dengan Audrey? Apa Audrey sudah tidur?” tanya Helen seraya menatap Miranda. “Ya, Audrey sudah tidur,” balas Miranda.Helen menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Miranda, bisa kau ceritakan sedikit bagaimana kau bisa bertemu dengan Athes?”“Maxton Group yang aku ceritakan padamu adalah milik Athes,” jawab Miranda dengan pikiran dan pandangan yang menerawang ke depan.“Miranda,” panggil Helen serius.“Hm?” Miranda mengalihkan pandangannya, menatap le
Suara dering ponsel terdengar membuat Miranda yang tengah menyelesaikan naskahnya langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Kini Miranda mengambil ponselnya, dan menatap ke layar.Seketika kening Miranda berkerut melihat nomor telepon sekolah Audrey muncul di sana. Raut wajah Miranda berubah menjadi cemas. Pasalnya putrinya masih baru saja pulih. Tanpa menunggu Miranda langsung menerima panggilan itu.“Hallo?” jawab Miranda saat panggilannya terhubung.“Nyonya Miranda. Saya Ayumi, guru Audrey. Audrey hari ini tidak masuk. Apa Audrey masih sakit, Nyonya?” ujar Ayumi dari seberang line yang sontak membuat Miranda terkejut. “Apa maksudmu? Tadi pagi aku sudah mengantar Audrey. Bagaimana bisa Audrey tidak datang ke sekolah?” cerca Miranda yang langsung bangkit berdiri dan bergerak gelisah.“Nyonya, hari ini Audrey tidak datang ke sekolah. Apa Nona memberikan ponsel pada Audrey? Mungkin Anda bisa menghubungi Audrey,” jawab Ayumi memberi saran. Tanpa berkata, Mirand
Miranda terus menangis kala bibir Athes tidak henti mencium bibirnya. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Miranda mendorong keras tubuh Athes. Namun sayangnya semakin Miranda menolak semakin Athes memaksa dirinya. Miranda ingin sekali menjauh, kenyataannya bibir Athes telah melumpuhkannya.Miranda pikir degupan jantung yang berpacu kencang tidak lagi ada jika bertemu dengan Athes. Tapi kenyataannya salah. Degupan kencang jantung Miranda masih tetaplah sama. Sama seperti dirinya pertama kali bersentuhan dengan pria itu. Desiran perasaan yang menggebu masih tetap sama.“Akh—” Miranda menggigit bibirnya menahan desahan lolos di bibirnya kala Athes menysup ke dalam bra-nya. Miranda tidak tahu kapan Athes melepas kancing dress atasnya. Miranda mengumpat dalam hati kala tidak bisa menahan desahan di bibirnya.“Aku tahu kau merindukanku. Sama sepertiku, Sayang.” Dengan berani Athes melepas pengait bra Miranda. Hingga terekspos gundukan kembar di dada Miranda yang begitu indah. Ukurannya jauh l
Miranda menatap Audrey yang tertidur pulas di sampingnya. Gadis kecilnya itu terlihat begitu bahagia. Tidak ada lagi kesedihan di mata putri kecilnya. Sungguh, sebagai seorang Ibu tentu Miranda sangat bahagia kala melihat putrinya bahagia. Tidak bisa dipungkiri kehadiran Athes dalam sosok Audrey membuat segalanya berubah.Sejak dulu Audrey tidak pernah sedikit pun berhenti menanyakan tentang ayahnya. Miranda tahu dirinya bersalah karena membohongi putrinya dengan mengatakan Athes sudah tidak ada. Namun, saat itu Miranda tidak bisa melakukan apa pun. Miranda pikir Audrey akan berhenti bertanya tentang ayahnya jika dia mengatakan Athes tidak lagi ada, tapi ternyata Miranda salah. Audrey terus dan terus bertanya tentang ayahnya. Miranda bisa saja memilih untuk menikah lagi dan memberikan sosok ayah untuk Audrey. Namun kenyataannya Miranda tidak bisa membuka hatinya untuk pria mana pun. Kebenciannya pada Athes begitu dalam. Sama seperti dengan cintanya yang dalam. Selama lebih dari lima