“Henrik!” Athes berteriak begitu menggelegar memanggil assistant-nya kala memasuki ruang kerjanya.“Iya, Tuan?” Henrik berlari cepat kala melihat Athes memanggilnya. Raut wajah Henrik tampak ketakutan. Terlebih melihat amarah yang meledak-ledak begitu terlihat jelas di wajah Athes.“Cari keberadaan Miranda sekarang! Aku hanya memberi waktumu tidak lebih dari dua jam mencari keberadaan Miranda!” seru Athes dengan geraman tertahan. Iris mata cokelatnya menggelap, penuh dengan amarah. Rahangnya mengetat. Berkali-kali dia mengumpat dalam hati.“M-Maaf, Tuan. Sebelumnya ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap Henrik tampak begitu gugup dan ketakutan.“Katakan, ada apa?” Athes menatap tajam Henrik yang berdiri di hadapannya.“T-Tuan, tadi saat Anda pergi setelah mengetahui kebenaran yang disampaikan Marco Foster, saya langsung mencari keberadaan Nona Miranda. Namun, yang saya dapatkan tidak ada. Spencer Group telah sepenuhnya diambil alih Nona Miranda. Bahkan hingga detik ini say
Tokyo, Japan. Miranda melangkah menelusuri bibir pantai seraya mengelus perut yang membuncit. Cuaca sore hari di Tokyo sangat sejuk. Terutama sekarang adalah musim gugur. Kini usia kandungan Miranda telah memasuki minggu ke empat puluh. Tanpa terasa sudah hampir delapan bulan Miranda meninggalkan Roma. Kota yang menyimpan sejuta kenangan di sana. Selama ini Miranda menjalani kehidupannya di Tokyo, dia merasakan ketenangan. Karena tidak ada satu pun orang yang tahu dirinya adalah putri dari Keluarga Spencer. Miranda sangat jarang menyebut namanya.Biasanya Miranda hanya memperkenalkan nama panggilannya saja. Tidak banyak orang yang tahu nama keluarga Miranda. Ini semua karena Miranda tidak ingin dikenal banyak orang. Hidupnya terasa tenang dan hangat tanpa ada yang mengganggunya.Namun, meski Miranda telah meninggalkan Roma dalam waktu yang cukup lama, tidak bisa dipungkiri Miranda masih merindukan Athes. Pria yang akan selalu ada di hatinya. Saat Miranda telah tiba di Tokyo, dia sud
Lima tahun kemudian. New York, USA. Seorang pria tampan dan gagah berdiri dengan kokoh menatap dari jendela kepadatan kota New York. Sebuah kota di Amerika yang terkenal sebagai julukan pusat bisnis. Athes Leonard Russel, di usia yang kini telah memasuki empat puluh tahun pria itu mampu membawa Russel Group menjadi perusahaan yang semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Berkat tangan besi dan kehebatannya, Athes bisa dengan mudahnya menaklukan semua pesaing bisnisnya. Tanpa belas kasih, Athes terkenal kejam dalam dunia bisnis. Dia selalu berhasil mengakuisisi perusahaan dari lawan bisnis yang bertindak curang padanya.Dalam lima tahun terakhir, Athes telah meninggalkan kota Roma. Bukan karena sepenuhnya keinginan dirinya. Hanya saja ini semua karena Athes fokus pada pengembangan perusahaannya. Dengan Athes pindah ke New York, pikirannya sedikit lebih tenang meski hatinya tidak akan pernah bisa tenang.Kini Aaron tidak lagi memimpin Russel Group. Sepenuhnya Athes-lah yang memegang
Athes duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sesaat dia menyandarkan kepalanya di kursi, dan memejamkan mata lelah. Banyak pekerjaan yang belakangan ini menyita waktunya.Sejak Miranda pergi, Athes berusaha mengobati luka di hatinya dengan fokus pada pekerjaan. Namun meski demikian Athes tidak pernah menyerah mencari keberadaan Miranda. Dia yakin, semua ini karena begitu banyak orang-orang yang membantu Miranda hingga dia tidak bisa menemukan wanita itu.Hubungan Athes dan Valerie telah berakhir. Salah satu alasan kuat Athes meninggalkan kota Roma karena Athes tidak ingin lagi bertemu dengan Valerie dan mendapatkan banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Hingga detik ini Valerie terus berusaha berbicara dengannya. Namun, tentu saja Athes akan meminta anak buahnya menyeret Valerie keluar dari hadapannya, tiap kali wanita itu datang.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Athes langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk masuk.“Tua
“Helen, Kak Darren, aku titip Audrey. Hari ini aku harus meeting dengan direktur Maxton Group,” ujar Miranda seraya melirik arlojinya.Perayaan hari ayah di sekolah Audrey hingga detik ini masih belum juga berakhir. Tidak mungkin Miranda harus menunggu sampai selesai pasalnya dia memiliki janji bertemu dengan direktur perwakilan Maxton Group. Sekarang saja dia sudah datang terlambat.“Pergilah. Nanti kami yang akan menjaga Audrey, Miranda,” ujar Helen.“Miranda.” Darren menepuk pelan bahu sang adik. “Kau tidak perlu mencemaskan Audrey. Kami akan menjaganya dengan baik.”Miranda tersenyum. “Terima kasih banyak. Aku benar-benar berhutang pada kalian.”“Miranda, apa kau ingin aku antar?” tanya Marco menawarkan diri.“Jangan, Marco. Nanti Audrey bertanya kau ke mana. Lebih baik aku sendiri saja. Audrey pasti membutuhkanmu,” kata Miranda dengan yakin.Marco mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Miranda. Dia dan Audrey sangat dekat. Jika Marco pergi pasti Audrey akan sedih. Sudah c
“Arhggggggg!” Athes membanting vas bunga yang ada di hadapannya. Dia menyugar rambutnya kasar. Pikirannya terus mengingat perkataan Miranda yang mengatakan telah menikah dengan Marco. Bahkan mereka sudah memiliki seorang putri. Semua itu wajar. Karena memang mereka berpisah lebih dari lima tahun. Banyak orang berubah dalam lima tahun. Namun Athes tidak bisa menerima semua itu. Miranda hanya miliknya dan akan tetap menjadi miliknya. “Miranda.” Athes bergumam lirih seraya menejamkan matanya. Penyesalan begitu menelusup dalam dirinya. Dia tidak sanggup lagi setiap kali mengingat Miranda telah menikah. Wanita yang dia cintai telah dimiliki seutuhnya oleh pria lain.Namun di saat Athes begitu frustrasi dengan apa yang dikatakan oleh Miranda, sesuatu muncul dalam benak Athes. Dengan cepat Athes menekan tombol interkom, dan meminta Henrik untuk datang menghampirinnya.“Tuan.” Henrik menyapa seraya melangkah masuk ke dalam ruang kerja Athes.“Henrik, aku ingin kau cari tahu nama pena yang di
“Miranda.” Helen memanggil saat Miranda baru saja keluar dari ruang rawat Audrey. Dia langsung memberikan cokelat panas yang tadi dia beli untuk Miranda seraya berkata, “Minumlah. Rasa manis di cokelat panas ini akan membuatmu lebih tenang.”“Terima kasih.” Miranda menerima cokelat panas itu dan meminumnya perlahan. “Di mana Kak Darren dan Marco?” tanyanya pelan.“Darren sudah pulang karena Dakota menangis di rumah. Marco juga ada pekerjaan yang harus diselesaikan olehnya,” jawab Helen.Miranda menganggukkan kepalanya.“Bagaimana dengan Audrey? Apa Audrey sudah tidur?” tanya Helen seraya menatap Miranda. “Ya, Audrey sudah tidur,” balas Miranda.Helen menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. “Miranda, bisa kau ceritakan sedikit bagaimana kau bisa bertemu dengan Athes?”“Maxton Group yang aku ceritakan padamu adalah milik Athes,” jawab Miranda dengan pikiran dan pandangan yang menerawang ke depan.“Miranda,” panggil Helen serius.“Hm?” Miranda mengalihkan pandangannya, menatap le
Suara dering ponsel terdengar membuat Miranda yang tengah menyelesaikan naskahnya langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Kini Miranda mengambil ponselnya, dan menatap ke layar.Seketika kening Miranda berkerut melihat nomor telepon sekolah Audrey muncul di sana. Raut wajah Miranda berubah menjadi cemas. Pasalnya putrinya masih baru saja pulih. Tanpa menunggu Miranda langsung menerima panggilan itu.“Hallo?” jawab Miranda saat panggilannya terhubung.“Nyonya Miranda. Saya Ayumi, guru Audrey. Audrey hari ini tidak masuk. Apa Audrey masih sakit, Nyonya?” ujar Ayumi dari seberang line yang sontak membuat Miranda terkejut. “Apa maksudmu? Tadi pagi aku sudah mengantar Audrey. Bagaimana bisa Audrey tidak datang ke sekolah?” cerca Miranda yang langsung bangkit berdiri dan bergerak gelisah.“Nyonya, hari ini Audrey tidak datang ke sekolah. Apa Nona memberikan ponsel pada Audrey? Mungkin Anda bisa menghubungi Audrey,” jawab Ayumi memberi saran. Tanpa berkata, Mirand