Darren turun dari mobil dan membanting kasar pintu mobilnya. Raut wajah penuh dengan kemarahan begitu terlihat jelas. Kini Darren melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung perkantoran milik Russel Group.Di area lobby, banyak karyawan yang menyapa kehadiran Darren, sayangnya Darren tidak merespon satu pun sapaan dari para karyawan Russel Group. Pria itu terus melanjutkan langkahnya, menuju ruang kerja Athes.“Tuan Darren.” Henrik menundukkan kepalanya menyapa Darren yang baru saja keluar dari lift.“Di mana Athes?” Darren bertanya dengan nada dingin dan sorot mata begitu tajam.Henrik terdiam sesaat kala Darren memanggil Athes tanpa sebutan ‘Tuan’. Tidak biasanya Darren berucap tidak formal. Bahkan Henrik bisa melihat jelas kemaran di wajah Darren.“Tuan Athes ada di ruang kerjanya, Tuan,” jawab Henrik dengan sopan seraya menundukkan kepalanya.Tanpa menjawab, Darren langsung melangkah masuk menuju ruang kerja Athes. Iris mata Darren kian menajam, sorotnya tampak menunjukkan kemaraha
Helen menatap nanar benda pipih yang ada di tangannya. Testpack dengan hasil dua garis membuat tubuhnya nyaris ambruk. Raut wajahnya menegang. Terlihat Helen begitu ketakutan. Berkali-kali Helen menggelengkan kepalanya, meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Tapi tidak, dia bahkan sudah lebih dari lima kali memeriksa dan hasilnya tetap sama yaitu positive.Helen menelan salivanya susah payah. Di tengah masalah Miranda, harusnya dia fokus membantu sahabatnya itu. Tapi sekarang? Kenyataan membawa dirinya mengandung anak Darren, kakak dari sahabatnya itu. Helen mengusap wajahnya frustrasi. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.Ceklek!Suara pintu terbuka, membuat Helen langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Seketika Helen langsung menyembunyikan testpack yang ada di tangannya ke dalam saku dress-nya. Tatapan Helen terarah pada Miranda yang masuk ke dalam kamar. Terlihat wajah Miranda yang tampak begitu kacau.“Miranda?” Helen langsung mendekat ke arah Miranda.
Raut wajah Athes berubah kala melihat dokumen yang dilempar oleh Marco di hadapannya itu. Iris mata cokelatnya menggelap. Terlihat kemarahan dan kebencian yang melebur menjadi satu di sana.Henrik, assistant-nya hendak membawa Marco keluar dari ruang kerja Athes kala melihat kemarahan di wajah Athes. Namun Athes langsung menggerakkan kepalanya, meminta Henrik untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Athes. Meski amarah telah membendung menjadi satu, tapi Athes ingin tahu apa yang Marco inginkan hingga berani datang menghampirinya.“Aku tidak memiliki waktu untuk berbicara denganmu. Apa yang kau inginkan?” Athes masih enggan menyentuh dokumen yang dilempar oleh Marco ke hadapannya. Tatapannya kini teralih pada Marco yang masih bergeming dari tempatnya.“Kau buka saja dokumen itu. Kau lihat di dalamnya. Di sana, kau akan bisa melihat kesalahan apa yang telah kau perbuat. Mungkin lebih tepatnya meski kau menyesali, semuanya percuma karena Miranda tidak akan pernah memaafkanmu.” Marco te
“Henrik!” Athes berteriak begitu menggelegar memanggil assistant-nya kala memasuki ruang kerjanya.“Iya, Tuan?” Henrik berlari cepat kala melihat Athes memanggilnya. Raut wajah Henrik tampak ketakutan. Terlebih melihat amarah yang meledak-ledak begitu terlihat jelas di wajah Athes.“Cari keberadaan Miranda sekarang! Aku hanya memberi waktumu tidak lebih dari dua jam mencari keberadaan Miranda!” seru Athes dengan geraman tertahan. Iris mata cokelatnya menggelap, penuh dengan amarah. Rahangnya mengetat. Berkali-kali dia mengumpat dalam hati.“M-Maaf, Tuan. Sebelumnya ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap Henrik tampak begitu gugup dan ketakutan.“Katakan, ada apa?” Athes menatap tajam Henrik yang berdiri di hadapannya.“T-Tuan, tadi saat Anda pergi setelah mengetahui kebenaran yang disampaikan Marco Foster, saya langsung mencari keberadaan Nona Miranda. Namun, yang saya dapatkan tidak ada. Spencer Group telah sepenuhnya diambil alih Nona Miranda. Bahkan hingga detik ini say
Tokyo, Japan. Miranda melangkah menelusuri bibir pantai seraya mengelus perut yang membuncit. Cuaca sore hari di Tokyo sangat sejuk. Terutama sekarang adalah musim gugur. Kini usia kandungan Miranda telah memasuki minggu ke empat puluh. Tanpa terasa sudah hampir delapan bulan Miranda meninggalkan Roma. Kota yang menyimpan sejuta kenangan di sana. Selama ini Miranda menjalani kehidupannya di Tokyo, dia merasakan ketenangan. Karena tidak ada satu pun orang yang tahu dirinya adalah putri dari Keluarga Spencer. Miranda sangat jarang menyebut namanya.Biasanya Miranda hanya memperkenalkan nama panggilannya saja. Tidak banyak orang yang tahu nama keluarga Miranda. Ini semua karena Miranda tidak ingin dikenal banyak orang. Hidupnya terasa tenang dan hangat tanpa ada yang mengganggunya.Namun, meski Miranda telah meninggalkan Roma dalam waktu yang cukup lama, tidak bisa dipungkiri Miranda masih merindukan Athes. Pria yang akan selalu ada di hatinya. Saat Miranda telah tiba di Tokyo, dia sud
Lima tahun kemudian. New York, USA. Seorang pria tampan dan gagah berdiri dengan kokoh menatap dari jendela kepadatan kota New York. Sebuah kota di Amerika yang terkenal sebagai julukan pusat bisnis. Athes Leonard Russel, di usia yang kini telah memasuki empat puluh tahun pria itu mampu membawa Russel Group menjadi perusahaan yang semakin berkembang pesat setiap tahunnya. Berkat tangan besi dan kehebatannya, Athes bisa dengan mudahnya menaklukan semua pesaing bisnisnya. Tanpa belas kasih, Athes terkenal kejam dalam dunia bisnis. Dia selalu berhasil mengakuisisi perusahaan dari lawan bisnis yang bertindak curang padanya.Dalam lima tahun terakhir, Athes telah meninggalkan kota Roma. Bukan karena sepenuhnya keinginan dirinya. Hanya saja ini semua karena Athes fokus pada pengembangan perusahaannya. Dengan Athes pindah ke New York, pikirannya sedikit lebih tenang meski hatinya tidak akan pernah bisa tenang.Kini Aaron tidak lagi memimpin Russel Group. Sepenuhnya Athes-lah yang memegang
Athes duduk di kursi kebesarannya seraya menyesap wine di tangannya. Sesaat dia menyandarkan kepalanya di kursi, dan memejamkan mata lelah. Banyak pekerjaan yang belakangan ini menyita waktunya.Sejak Miranda pergi, Athes berusaha mengobati luka di hatinya dengan fokus pada pekerjaan. Namun meski demikian Athes tidak pernah menyerah mencari keberadaan Miranda. Dia yakin, semua ini karena begitu banyak orang-orang yang membantu Miranda hingga dia tidak bisa menemukan wanita itu.Hubungan Athes dan Valerie telah berakhir. Salah satu alasan kuat Athes meninggalkan kota Roma karena Athes tidak ingin lagi bertemu dengan Valerie dan mendapatkan banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya. Hingga detik ini Valerie terus berusaha berbicara dengannya. Namun, tentu saja Athes akan meminta anak buahnya menyeret Valerie keluar dari hadapannya, tiap kali wanita itu datang.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Athes langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginstruksi untuk masuk.“Tua
“Helen, Kak Darren, aku titip Audrey. Hari ini aku harus meeting dengan direktur Maxton Group,” ujar Miranda seraya melirik arlojinya.Perayaan hari ayah di sekolah Audrey hingga detik ini masih belum juga berakhir. Tidak mungkin Miranda harus menunggu sampai selesai pasalnya dia memiliki janji bertemu dengan direktur perwakilan Maxton Group. Sekarang saja dia sudah datang terlambat.“Pergilah. Nanti kami yang akan menjaga Audrey, Miranda,” ujar Helen.“Miranda.” Darren menepuk pelan bahu sang adik. “Kau tidak perlu mencemaskan Audrey. Kami akan menjaganya dengan baik.”Miranda tersenyum. “Terima kasih banyak. Aku benar-benar berhutang pada kalian.”“Miranda, apa kau ingin aku antar?” tanya Marco menawarkan diri.“Jangan, Marco. Nanti Audrey bertanya kau ke mana. Lebih baik aku sendiri saja. Audrey pasti membutuhkanmu,” kata Miranda dengan yakin.Marco mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Miranda. Dia dan Audrey sangat dekat. Jika Marco pergi pasti Audrey akan sedih. Sudah c