“Helen, tunggu.” Darren menahan tangan Helen, yang hendak menuju parkiran mobil.“Darren? Kenapa kau di sini?” Helen melepaskan tangan Darren yang menyentuh tangannya. Dia melangkah mundur, menjauh dari pria itu. Raut wajah Helen tampak terkejut melihat Darren berada di perusahaannya.“Helen, aku ingin bicara denganmu.” Darren hendak mendekat. Sontak, Helen langsung melangkah mundur, menjauh dari Darren.“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Darren.” Helen menatap dingin Darren, seolah dirinya enggan untuk berbicara pada pria di hadapannya itu.Darren mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya semakin bersalah. Sudah beberapa minggu terakhir ini, dia berusaha menghubungi Helen. Tapi tidak ada satu pun respon dari wanita itu. Mulai dari telepon, pesan, semuanya diabaikan oleh Helen. Darren tentu saja memahami, Helen menghindar darinya karena kecewa atas apa yang dia katakan sebelumnya.“Helen, kita harus bicara. Aku mohon kali ini biarkan aku bicara padamu,” ucap Darren sungguh-sungguh.H
Athes melompat turun dari mobil. Kini Athes berada di kediaman Armstrong. Raut wajahnya tampak begitu dingin, dan iris mata cokelatnya yang memendung amarah seolah akan meledak. Para pelayan dan penjaga yang menyapa Athes, sama sekali tidak dipedulikan olehnya. Athes hanya terus melangkah masuk ke dalam rumah.“Valerie!” teriak Athes memanggil nama Valerie bgitu menggelegar.“Tuan Athes?” Haura terkejut mendengar suara teriakan Athes yang kencang itu.“Di mana Valerie!” seru Athes dengan tatapan begitu tajam pada Haura di hadapannya itu.“Nona Valerie ada di—”“Athes? Kau di sini?” Valerie yang menuruni tangga, dia mengulas senyuman hangat di wajahnya kala melihat Athes datang ke rumahnya. Tepat di saat Valerie sudah datang, Haura langsung pamit undur diri dari hadapan Athes dan Valerie.“Aku tahu kau pasti akan mencariku.” Valerie langsung menghamburkan pelukannya pada Athes. Namun, saat Valerie memeluk Athes dengan cepat Athes mendorong tubuh Valerie, hingga tersungkur di lantai.“A
Miranda duduk di ranjang, dengan pikiran yang menerawang ke depan. Sejak di mana dia tahu dirinya tengah mengandung Miranda bagaikan orang yang tersesat arah.Miranda tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tidak mungkin dia mengatakannya pada Athes. Bukan hanya itu, tapi Miranda juga tidak tahu apa yang harus dikatakan pada keluarganya.Pasalnya, selama ini keluarganya tidak ada yang tahu jika dirinya memiliki hubungan dengan seorang pria.Sekarang Miranda harus dihadapakan dengan kenyataan dirinya mengandung. Apa yang akan keluarganya pikirkan jika sampai tahu dirinya mengandung anak dari Athes Russel?“Miranda, kau belum makan. Makanlah dulu.” Helen masuk ke dalam kamar Miranda seraya membawakan soup untuk sahabatnya itu.Sesaat Helen terdiam kala melihat Miranda yang melamun. Bahkan makanan tadi pagi tidak sedikit pun disentuh oleh Miranda.Termasuk obat dan vitamin yang diberikan oleh dokter, tidak ada yang diminum oleh Miranda. Kini Helen duduk di tepi ranjang. Dia masih diam, da
Miranda duduk di sofa seraya membaca email masuk beberapa hari lalu di iPad-nya. Dia sudah lama tidak mengurus perusahaan. Bahkan dia tidak melihat email masuk.Pikiran yang kacau beberapa hari ini, membuat Miranda tidak bisa memikirkan tentang pekerjaannya. Namun, ada rasa bersalah dalam dirinya karena mengabaikan pekerjaan dan menyerahkan sepenuhnya pada Bella dan juga Daren.“Miranda,” Helen melangkah menghampiri Miranda yang duduk di sofa kamar. Kemudian dia mendekat, dan duduk di samping sahabatnya itu. “Apa kau sudah makan?” tanyanya.“Sudah, aku sudah makan dan juga sudah minum obat. Kau tidak perlu mencemaskanku.” Miranda meletakkan iPad-nya ke atas meja. Kemudian menyandarkan punggungnya ke sofa dan mengambil bantal kecil, lalu memeluknya.Helen mengangguk. “Oh, ya. Aku ingin bilang padamu malam ini aku harus terbang ke Los Angeles. Ada jamuan makan malam dan ayahku masih berada di Dubai. Terpaksa ayahku memintaku untuk ke Los Angeles. Kau tidak apa-apa kan aku tinggal sendir
Miranda mematut diri di cermin dengan raut wajah yang malas. Hari ini Miranda terpaksa harus menemui rekan bisnisnya. Padahal dia sedang tidak ingin keluar rumah.Mengingat dirinya hingga detik ini masih sering mual. Seperti tadi saat Miranda baru saja bangun tidur, entah sudah berapa kali dia muntah. Setiap makanan yang masuk, Miranda pun merasakan mual yang luar biasa.Terakhir, Dokter mengatakan kehamilan di trismester pertama memang akan sering merasakan mual, terutama saat di pagi hari. Sungguh, ini benar-benar menyiksa dirinya. Namun, Miranda tidak bisa melakukan apa pun.Sejak di mana dia tahu dirinya tengah mengandung, Miranda mulai mencintai janin yang ada di kandungannya. Bagaimanapun, meski Miranda membenci Athes, janin yang ada di kandungannya juga darah dagingnya sendiri. Tentu lambat laun, Miranda akan mencintainya.Suara dering ponsel terdengar, membuat Miranda yang tengah melamun langsung mengalihkan pandangannya pada ponsel yang berdering itu. Miranda mengambil ponsel
“Tuan Athes,” Henrik menyapa kala Athes baru saja keluar dari ruang meeting.“Ada apa?” Athes menatap dingin Henrik yang berdiri di hadapannya.“Tuan, di ruang kerja Anda ada Tuan Besar Aaron yang menunggu Anda sejak tadi,” ujar Henrik memberi tahu.Athes mengembuskan napas kasar. Raut wajahnya berubah mendengar ayahnya datang. Athes mengumpat dalam hati. Ya, tentu dia tahu tujuan ayahnya ke sini hanya ingin membicarakan tentang Valerie. Tidak ada pilihan lain, mau tidak mau Athes harus menemui ayahnya itu. Bisa saja dia langsung pergi, tapi Athes tahu, ayahnya itu akan membuat keributan.Dengan raut wajah begitu dingin dan sepasang iris mata tajam, Athes melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya.Seketika Athes terdiam kala melihat Aaron duduk di kursi kerjanya. Ayahnya itu tampak begitu arogan. Kini Athes mendekat ke arah Aaron, dan tatapan yang menatap dingin ayahnya itu.“Ada apa kau ke sini, Dad?” tanya Arthes dengan nada dingin dan tidak ramah.“Begini caramu menyambut kedatangan
Athes membanting seluruh pajangan yang ada di ruang kerjanya. Amarah dalam dirinya tidak mampu lagi tertahan. Athes menggeram. Ingatannya terus memikirkan tentang Miranda yang sudah berselingkuh darinya. “Sialan! Berengsek!” Athes mengumpat kasar. Dia mengambil guci yang ada di hadapannya, dan membantingnya hingga terbentur ke dinding.Prang!Pecahan guci tergeletak di lantai. Kini ruang kerja Athes tampak begitu kacau dan berantakan. Athes tidak bisa lagi menutupi amarahnya. Kilat matanya menajam. Meski letupan amarahnya tertuang, Athes masih tidak puas akan itu. Kebencian begitu terlihat jelas di iris mata cokelatnya.“Tuan Athes.” Henrik masuk ke dalam ruang kerja Athes. Seketika tubuhnya membeku menatap pecahan guci yang berserakan di lantai. Ditambah dengan ruang kerja tuannya itu yang tampak begitu kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Athes meninggikan suaranya.“M-Maaf, Tuan. Saya hanya ingin bertanya apa Anda ingin saya menyelidiki orang yang mengirimkan foto Nona Miranda dan M
Pelupuk mata Miranda bergerak. Perlahan Miranda mulai membuka matanya. Dia sedikit memijat pelipisnya kala merasakan sedikit pusing. Miranda merintih ketika perut bagian bawahnya merasa sedikit sakit. Tubuhnya seolah remuk.Hingga saat Miranda menatap sekelilingnya, dia berada di sebuah ruangan putih dengan aroma obat, rumah sakit. Raut wajah Miranda berubah kala menyadari dirinya memang berada di sebuah ruang VVIP rumah sakit.“Kau sudah sadar?” Darren berdiri di ambang pintu, menatap Miranda yang sudah membuka mata. Dengan wajah yang begitu dingin, Darren melangkah mendekat ke arah adiknya itu.“Kak Darren? Kau di sini?” Wajah Miranda berubah menjadi pucat kala melihat Darren berdiri di hadapannya.Darren mengangguk singkat dan menjawab, “Kau tadi pingsan. Aku membawamu ke rumah sakit.”Miranda menelan salivanya susah payah mendengar apa yang dikatakan oleh kakaknya itu. Banyak pertanyaan muncul dalam benaknya terutama tentang kandungannya. Namun, dia tidak berani menanyakan itu pad