Helen membawa Miranda duduk di sofa kamar apartemen Miranda. Malam ini Helen sengaja tidak mengajak Miranda untuk pulang ke mansion. Keadaan Miranda tampak kacau. Makeup yang berantakan, mata yang sembab. Rambut yang sudah tidak lagi tertata.Sepanjang perjalanan Miranda tidak henti menangis. Bahkan Helen tidak tega melihat keadaan Miranda seperti ini. Untuk pertama kalinya, Helen melihat Miranda menangis keras hanya karena seorang pria.Sebelumnya Miranda tidak pernah jatuh cinta. Kini Helen tahu, alasan kenapa Miranda tidak ingin jatuh cinta karena sahabatnya itu hanya menghindari luka yang membuatnya seakan tidak sanggup menjalani kehidupan.“Miranda, minumlah. Tadi aku meminta pelayan membuatkan teh hangat untukmu.” Helen memberikan cangkir yang berisikan teh hangat pada Miranda.Miranda hanya mengambil cangkir teh itu dan meminumnya perlahan. Raut wajahnya begitu muram. Pandangannya lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Miranda berharap ini adalah mimpi. Tapi sayangnya i
Miranda memijat pelan pelipisnya kala merasakan pusing yang luar biasa. Perutnya merasa mual. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, hingga membuat dirinya seperti ini. Mungkin karena tidak makan sejak tadi malam, membuat asam lambungnya naik.Kepala yang begitu memberat, membuat Miranda memilih untuk berdiam diri di kamar dan tidak pergi ke mana pun. Sebelumnya, dia telah meminta Bella untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia memilih untuk tidak bekerja beberapa hari ini, memulihkan keadaannya.Suara ketukan pintu, membuat Miranda mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan langsung menginstruksi untuk masuk.“Selamat pagi, Nona Miranda.” Seorang pelayan mengantarkan teh hangat dan tiramisu cake yang tadi Miranda pesan. Sebenarnya, Miranda tidak ingin sarapan apa pun. Perutnya yang mual, membuatnya tidak ingin makan. Hanya saja jika dia tidak makan, itu sama saja membuat sakitnya semakin parah. Paling tidak, dia memakan meski hanya sedikit.“Pagi, kau letakkan saja sarapanku di at
“Apa gaun ini cantik untukku?” tanya Valerie pada Aria, sang designer khusus yang merancang gaun yang Valerie pakai untuk pertemuan keluarganya dan keluarga Athes. Ya, demi tampil sempurna, Valerie meminta designer ternama merancangkan khusus gaun untuknya. Dia pun ingin membuat Athes mengagumi kecantikannya.“Nona Valerie, Anda memang sangat cantik. Gaun ini sangat cocok dipakai oleh Anda.” Aria berujar memuji penampilan Valerie. “Saya yakin, Tuan Athes pasti akan menyukai penampilan Anda, Nona,” lanjutnya dengan yakin.“Ah, kau benar. Athes pasti akan menyukaiku.” Valerie mematut diri di cermin. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna gold tali spaghetti. Gaun ini memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Dengan polesan makeup bold di wajahnya membuat Valerie semakin percaya diri. Dia memang pantas menjadi pasangan Athes. Itu yang sejak dulu dia tanamkan di pikirannya.“Nona Valerie, mari saya antarkan ke depan. Pasti Tuan Athes sudah menunggu Anda,” ujar Aria seraya mengulurkan tangan
“Huekkk!”Miranda memuntahkan semua makanan yang baru saja dia makan. Kepalanya memberat. Tubuhnya terasa begitu lemah. Bahkan, saat dia merasakan tubuhnya hampir ambruk, dia langsung memegang kuat wastafel. Entah kenapa beberapa hari ini mualnya tak kunjung menghilang. Kini Miranda memutar keran wastafel, membasuh mulutnya dengan air bersih.“Kenapa tidak sembuh juga? Padahal aku sudah menjaga pola makanku,” gumam Miranda seraya menghela napas panjang. Sungguh, dia tidak menyukai keadaan kesehatannya menurun seperti ini.Miranda melangkahkan kakinya keluar dari toilet, menuju ruang makan. Jika dia mual, hanya ada satu yang membuatnya jauh lebih baik yaitu memakan makanan manis.“Nona Miranda.” Sang pelayan menyapa dengan sopan kala Miranda memasuki rang makan.“Tolong siapkan apple juice dan chocolate cake untukku.” Miranda menarik kursi, lalu duduk.Sang pelayan menggangguk. Kemudian dia menyajikan apple juice dan chocolate cake yang dipesan oleh Miranda ke atas meja. Tepat di saat
“Miranda, meski kau mengusirku sekalipun. Aku akan tetap mengganggumu. Kau milikku, Miranda. Hanya milikku!” Athes berucap dengan tegas dan penuh penekanan.“Aku bukan milikmu lagi! Sejak di mana kau membohongiku, aku bukan lagi milikmu!” bentak Miranda keras. Derai air matanya semakin berlinang. Dia kembali memukul dada Athes dengan sisa tenaga yang dia miliki. Jika saja dia bisa, maka dia akan memilih membunuh pria yang ada di hadapannya itu. Miranda telah meneguhkan hatinya. Dia tidak akan pernah mau memaafkan Athes. Bagi Miranda, seseorang yang telah membohonginya akan tetap menjadi seorang pembohong.Sejak di mana dia tahu Athes telah memiliki tunangan, Miranda tidak ingin lagi mengenal Athes. Cinta yang dia rasakan pria itu telah tercampur dengan kebencian yang mendalam. Bahkan rasanya Miranda tidak lagi bisa membedakan perasaan cinta dan bencinya. Semua telah melebur menjadi satu. Tidak ada lagi yang tersisa. Karena luka itu begitu mendalam.Athes menggeram kala mendengar apa
Valerie membanting semua barang yang ada di kamarnya. Kini keadaan kamarnya tampak begitu kacau. Banyak pecahan beling di lantai. Dia tidak lagi memedulikan keadaan kamarnya itu. Valerie menangis, dia berteriak histeris memanggil nama Athes.Beberapa hari ini hidupnya telah tersiksa. Sejak di mana Athes membatalkan perjodohan mereka, Valerie bagaikan mayat hidup. Berkali-kali dia berniat bunuh diri. Tapi Hugo, sang ayah, selalu mencegahnya.“Nona Valerie.” Haura tampak terkejut kala memasuki kamar Valerie yang berantakan. Wajah Haura memucat. Bahkan dia tidak mampu melanjutkan perkataannya. Valerie pun terlihat sangat kacau.“Ada apa kau ke sini!” seru Valerie meninggikan suaranya ketika melihat Haura berdiri di hadapannya.Haura menelan salivanya susah payah. “Maaf, Nona. Tapi ada hal penting yang ingin saya katakan pada Anda,” jawabnya yang gugup.“Apa yang ingin kau katakan?” Valerie menatap dingin assistant-nya itu.“Ini tentang wanita yang menjadi kekasih Tuan Athes, Nona,” ujar
Miranda mengerutkan keningnya kala menatap sosok pria paruh baya yang melangkah mendekat ke arahnya.Tatapan Miranda tampak bingung, pria paruh baya itu mengenal dirinya. Miranda berusaha mengingat pria paruh baya itu, namun nyatanya dia tidak mengingat pria sama sekali paruh baya itu.Bahkan rasanya, dia belum pernah bertemu. Hanya saja wajah pria paruh baya itu masih sangat tampan, dengan tubuh tegap dan gagah mengingat Miranda pada sosok yang begitu dia kenali.“Miranda? Itu siapa?” tanya Helen dengan suara pelan, dan Miranda menjawabnya hanya dengan menggelengkan kepalanya, memberi israyat agar Helen diam.“Miranda Spencer, bisa aku berbicara denganmu?” Pria paruh baya itu berdiri di hadapan Miranda. Iris mata cokelatnya menatap Miranda begitu lekat.“Maaf, kau siapa?” tanya Miranda dengan tatapan bingung. Dia yakin tidak mengenal pria paruh baya yang berdiri di hadapannya itu, namun iris mata cokelat milik pria paruh baya itu serta raut wajahnya tampak tak asing di wajah Miranda.
Miranda melangkah masuk ke dalam sebuah kafe, tempat di mana dia bertemu dengan Marco. Dia sengaja meminta bertemu di salah satu kafe yang letaknya sedikit jauh dengan apartemennya. Dia tidak ingin Marco mengetahui alamat apartemen pribadinya. Karena memang Miranda ingin menjaga privasi hidupnya.Saat Miranda memasuki kafe itu, dia sudah melihat Marco duduk di ujung sebelah kiri, dekat jendela. Miranda pun langsung mendekat ke arah Marco.“Maaf membuatmu menunggu.” Miranda berucap dengan ramah kala berdiri di hadapan Marco.“Miranda? Kau sudah datang?” sapa Marco dengan senyuman hangat di wajahnya. “Duduklah, tidak enak jika aku duduk dan kau masih berdiri.”Miranda langsung menarik kursi, dia duduk tepat di hadapan Marco. “Tadi ada yang harus aku kerjakan. Jadi aku sedikit terlambat. Maafkan aku, Marco.”“Tidak perlu meminta maaf, aku juga baru saja datang,” balas Marco dengan tatapan lekat pada iris mata perak Miranda. “Oh, ya. Aku sudah memesan orange juice untukmu dan salmon steak