“Yang, tadi Asa manggil aku Papa lho.”
“Beneran?” Bukan hanya Padma yang terkejut, tapi Mili pun juga menatap Badai dengan tak percaya, meminta konfirmasi lelaki itu.
“Iya.” Badai mengangguk senang sambil menggerakkan tangan Asa seperti sedang bertepuk tangan. “Aku dipanggil Baba, Asa dipanggil Papa.”
“Gemes banget sih, Asaaa,” puji Mili yang langsung menggandeng tangan Asa dan menggerakkannya ke atas dan ke bawah, hingga anak itu tertawa senang.
Walau suara tawanya pelan, tapi tawanya terdengar renyah dan menular pada orang-orang di sekitarnya. Padma dan Mili memilih untuk duduk di bangku taman yang ada di samping bangk
“Kalau kita nggak keluar lima menit lagi, kayaknya papaku bakal hancurin pintu mobil kamu deh.”“Nggak apa-apa, mobil kan bisa beli baru.”“Sombongnya,” kekeh Padma dengan geli, yang langsung berubah menjadi desahan saat tangan Catra berkelana di balik kemeja kerjanya.Padma jadi lupa kalau ia tadinya ingin mendorong suaminya supaya mereka bisa keluar dari mobil dan masuk ke rumah orangtuanya. Sekarang yang ia lakukan malah menekan kepala Catra yang sudah berhenti di belahan dadanya dan tengah meninggalkan jejak panas di sana.“Yang….”“Hmmm?”
“Anak Papa udah ganteng!”“Baba!”“Iya, ganteng kayak Papa.” Badai tertawa gemas dan mencium pipi gembil Asa.“Baba, mam.”“Kamu kan tadi udah makan.” Badai mengerutkan keningnya.Karena hari ini ia libur dan tak berencana ke Red House atau The Clouds, maka Badai memutuskan untuk meliburkan babysitter yang biasa mengasuh anaknya. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Asa selagi ada waktu.“Baba, mamam!”“Papa makan, maksudnya?” Badai menatap anaknya dan memasti
“Padma?”Padma tersenyum canggung karena setelah sekian lama sering datang ke makam Alkadri Tanaka dan istrinya, baru kali ini ia bertemu dengan Badai.“Hai,” sapa Padma. Kemudian tatapannya terpaku pada sosok Asa yang duduk tenang di pangkuan Badai. “Halo, Asa. Kita ketemu lagi nih.”Badai bergeser untuk memberi ruang pada Padma. Perempuan itu pun duduk di sebelahnya dan mulai berdoa untuk kedua orangtua Badai.Badai memperhatikan bagaimana Padma memejamkan matanya dan berdoa selama beberapa saat. Ia bisa merasakan bagaimana perempuan itu khusyuk berdoa, tak peduli siapa yang ada di sampingnya.Tanpa sadar ia terus memperhatikan Padma hingga Padma membuka matanya dan tatapan mereka bertemu.
“Serius mau biarin Mbak Padma sama Badai?”“Seriuslah.” Catra beranjak dari sofa ruang tengah dan pergi ke dapur untuk mengambil sebotol besar Coca Cola yang tadi dibawakan Arsa. “Mereka cuma mau ke mall kok.”Adik iparnya ini memang tidak modal. Datang hanya membawa Coca Cola berukuran 1.5 liter untuk kemudian memakan hampir semua camilan yang ada di rumah ini.Catra hanya berharap mood Padma nanti saat pulang akan baik-baik saja, supaya istrinya tersebut tak berpikir untuk mengubur adiknya hidup-hidup di samping septic tank rumah mereka.“Nanti CLBK lho mereka.” Arsa kembali berkata dengan serius sekembalinya Catra ke ruang tengah.Catra mengerutkan keningnya men
“Ibu ke mana?”“Pergi dari siang, Pak.”Badai mengernyit tak suka mendengar jawaban Lita, babysitter Asa. Ke mana lagi istrinya sekarang?“Dari jam berapa?” tanyanya lagi.“Jam… sebelas, Pak.”“Kamu bisa istirahat. Biar Asa sama saya.”Setelah Lita pamit, Badai ikut duduk di karpet tebal yang melapisi lantai kamar anaknya. Hari ini ia pulang lebih cepat, pukul setengah tujuh sudah di rumah. Tapi siapa sangka ia malah tak menemukan Anastasya di rumahnya.Namun harus Badai akui, harusnya ia tidak terkejut. Hal ini bukan pertama kalinya dan rasanya Badai sudah bicara dengannya sampai m
“Cantik banget Nyonya Hardjaja.”“Oh my, dadaku mau meledak rasanya, Padma!”Padma tertawa mendengar keluhan Mili. “Karena korset atau karena hari ini nikah?”“Dua-duanya.”Padma membantu merapikan gaun yang dipakai Mili selagi perempuan itu berdiri gugup di samping jendela kamar hotel yang jadi tempatnya dirias sejak pagi. Pagi tadi Mili sudah resmi menyandang status sebagai istri dari Arsa Hardjaja.Selain Mili, Padma juga ikut menangis haru karena akhirnya ia bisa melihat sahabatnya menikah. Batal sudah rencana mereka untuk menjadi perempuan lajang sampai tua.“Bulu mataku berat banget.”
“Kamu baik-baik aja, Sya? Kayaknya wajahmu agak pucat.”Anastasya tersenyum simpul, mencoba menyembunyikan keterkejutannya karena Padma menanyakan kondisinya saat ini. Dari sekian banyak orang di ballroom ini, ia tidak menyangka kalau Padma-lah yang bertanya padanya.“I’m fine,” dusta Anastasya.“Hm… oke. Mungkin kamu harus cari makanan yang agak berat selain dessert.”Anastasya hanya mengangguk. Ia tak berselera makan dan juga ingin menjaga berat badannya supaya tetap terlihat cantik.Setelah hampir satu bulan pisah rumah dengan Badai dan Asa, Anastasya jadi lebih banyak berpikir mengenai perceraiannya dengan Badai.Dan juga pergi ke klub, satu-satunya
“Baba?”“Ya?”“Mam.”Badai tertawa mendengar kata-kata yang diucapkan Asa saat ini. Ia pun mengangguk. “Iya, habis ini kita pulang, terus makan.”“Yay!”Dengan gemas, Badai mencium pipi gembil Asa hingga anak itu tertawa karena kecapannya yang nyaring. Ia memastikan pakaian Asa sudah rapi kembali dan setelahnya, ia pun menurunkan Asa dari ranjang.Usai sesi foto keluarga tadi, Asa tak sengaja menumpahkan minuman yang dipegang Anastasya ke pakaiannya. Orangtua Padma mengizinkannya memakai kamar yang digunakan oleh Arsa untuk bersiap tadi pagi supaya ia bisa menggantikan pakaian Asa.Badai menggantikan pakaian Asa dengan pakaian cadan