“Serius mau biarin Mbak Padma sama Badai?”
“Seriuslah.” Catra beranjak dari sofa ruang tengah dan pergi ke dapur untuk mengambil sebotol besar Coca Cola yang tadi dibawakan Arsa. “Mereka cuma mau ke mall kok.”
Adik iparnya ini memang tidak modal. Datang hanya membawa Coca Cola berukuran 1.5 liter untuk kemudian memakan hampir semua camilan yang ada di rumah ini.
Catra hanya berharap mood Padma nanti saat pulang akan baik-baik saja, supaya istrinya tersebut tak berpikir untuk mengubur adiknya hidup-hidup di samping septic tank rumah mereka.
“Nanti CLBK lho mereka.” Arsa kembali berkata dengan serius sekembalinya Catra ke ruang tengah.
Catra mengerutkan keningnya men
“Ibu ke mana?”“Pergi dari siang, Pak.”Badai mengernyit tak suka mendengar jawaban Lita, babysitter Asa. Ke mana lagi istrinya sekarang?“Dari jam berapa?” tanyanya lagi.“Jam… sebelas, Pak.”“Kamu bisa istirahat. Biar Asa sama saya.”Setelah Lita pamit, Badai ikut duduk di karpet tebal yang melapisi lantai kamar anaknya. Hari ini ia pulang lebih cepat, pukul setengah tujuh sudah di rumah. Tapi siapa sangka ia malah tak menemukan Anastasya di rumahnya.Namun harus Badai akui, harusnya ia tidak terkejut. Hal ini bukan pertama kalinya dan rasanya Badai sudah bicara dengannya sampai m
“Cantik banget Nyonya Hardjaja.”“Oh my, dadaku mau meledak rasanya, Padma!”Padma tertawa mendengar keluhan Mili. “Karena korset atau karena hari ini nikah?”“Dua-duanya.”Padma membantu merapikan gaun yang dipakai Mili selagi perempuan itu berdiri gugup di samping jendela kamar hotel yang jadi tempatnya dirias sejak pagi. Pagi tadi Mili sudah resmi menyandang status sebagai istri dari Arsa Hardjaja.Selain Mili, Padma juga ikut menangis haru karena akhirnya ia bisa melihat sahabatnya menikah. Batal sudah rencana mereka untuk menjadi perempuan lajang sampai tua.“Bulu mataku berat banget.”
“Kamu baik-baik aja, Sya? Kayaknya wajahmu agak pucat.”Anastasya tersenyum simpul, mencoba menyembunyikan keterkejutannya karena Padma menanyakan kondisinya saat ini. Dari sekian banyak orang di ballroom ini, ia tidak menyangka kalau Padma-lah yang bertanya padanya.“I’m fine,” dusta Anastasya.“Hm… oke. Mungkin kamu harus cari makanan yang agak berat selain dessert.”Anastasya hanya mengangguk. Ia tak berselera makan dan juga ingin menjaga berat badannya supaya tetap terlihat cantik.Setelah hampir satu bulan pisah rumah dengan Badai dan Asa, Anastasya jadi lebih banyak berpikir mengenai perceraiannya dengan Badai.Dan juga pergi ke klub, satu-satunya
“Baba?”“Ya?”“Mam.”Badai tertawa mendengar kata-kata yang diucapkan Asa saat ini. Ia pun mengangguk. “Iya, habis ini kita pulang, terus makan.”“Yay!”Dengan gemas, Badai mencium pipi gembil Asa hingga anak itu tertawa karena kecapannya yang nyaring. Ia memastikan pakaian Asa sudah rapi kembali dan setelahnya, ia pun menurunkan Asa dari ranjang.Usai sesi foto keluarga tadi, Asa tak sengaja menumpahkan minuman yang dipegang Anastasya ke pakaiannya. Orangtua Padma mengizinkannya memakai kamar yang digunakan oleh Arsa untuk bersiap tadi pagi supaya ia bisa menggantikan pakaian Asa.Badai menggantikan pakaian Asa dengan pakaian cadan
“Apa selama ini kamu pernah berperan sebagai istri?”“Pernah kok.”“Kapan?”“Mama kok jadi menyudutkan aku sih?”“Mama nggak menyudutkan, tapi Mama mau membuka mata kamu, Sya.”Anastasya mengibaskan tangannya di udara dengan kesal. “Terserah Mama deh.”Tanpa memedulikan ibunya, ia meninggalkan ruang makan setelah mengambil tasnya dengan kasar. Ia berencana untuk ke kantor Badai, bicara mengenai perceraian mereka dan kembali membujuk lelaki itu untuk membatalkannya.Anastasya yakin, masih ada harapan untuk mereka asalkan Badai membiarkannya membuktikan hal tersebut. Ia sudah sering mengunjungi Asa sejak mereka pisah rumah.Badai memang tidak menghalanginya bertemu dengan Asa, tapi Anastasya diharuskan melapor pada Badai setiap kali perempuan itu ingin menjenguk anaknya.“Badai, Badai…. Kenapa dari dulu kamu nggak pernah bisa jadi milikku?” gumam Anastasya selagi ia mengemudikan mobilnya. “Kali ini aku yang akan berusaha untuk membuat kamu jatuh cinta padaku.”Perempuan itu menatap waja
Padma menatap suaminya, lalu bergerak mendekat untuk merapikan simpul dasi yang dikenakan Catra.“Ganteng banget suamiku.”“Istriku juga.”“Ganteng?”Catra tertawa. “Cantik. Apa kita nggak usah dateng aja ya? Kita pesta berdua aja di rumah, gimana?”Padma ikut tertawa saat Catra memeluk pinggangnya dan menggerakkan tubuh mereka seperti dua orang yang tengah berdansa. Mereka masih di kamar, Padma baru selesai merias wajahnya dan Catra pun sudah rapi dengan setelan jasnya.“Sayang gaunnya kalau dipakai cuma buat pesta di rumah begini,” canda Padma.“Nggak apa-apa, yang penting dipakai kan.”“Iya sih….” Padma melingkarkan kedua lengannya di leher Catra. “Tapi kan nanti dilepas lagi.”“Pasti.” Catra mengangguk dengan serius dan hal itu membuat Padma geli karenanya. “Nanti aku yang lepas.”“Nggak sabar jadinya.” Perempuan itu mengerling jahil, lalu melepaskan diri dari Catra. “Ayo, Sayang. Nanti dimarahin Papa sama Mama kalau kita telat.”Catra tertawa dan segera menyusul istrinya keluar d
“Sampai detik ini, statusku masih istri Badai.”Alih-alih meluapkan kemarahannya, Anastasya mencoba sebisa mungkin untuk meredam amarahnya.Yang kini duduk di sampingnya adalah Shua Tanaka. Serigala berbulu domba yang bisa menjatuhkan orang lain dan menjadikan orang tersebut alas kakinya, masih dengan senyum cantik di wajahnya.Anastasya dari awal sudah mencoba untuk akrab dengan Shua. Tapi di pertemuan pertama mereka, perempuan itu dengan terang-terangan mengatakan, kalau perempuan seperti Anastasya tidak pantas jadi istri Badai.Bahwa kehadirannya serupa parasit di kehidupan anak tunggal Alkadri Tanaka tersebut dan seharusnya, kalau Anastasya tidak menginginkan pernikahan itu, ia bisa saja pergi di hari pernikahannya.Tapi Anastasya tidak melakukan hal tersebut dan membuat Shua menilainya sebagai perempuan tak tahu malu—bersikap seakan-akan ia adalah korban, menuntut banyak pada Badai, tapi berkontribusi dalam kebahagiaan Badai setitik pun tidak.“Calon mantan istri,” koreksi Shua d
“Babe, kamu di sini.”Badai menoleh dan mendapati Anastasya dengan gaun yang melekat erat dan memiliki potongan yang cukup seksi tersebut, berjalan ke arahnya dengan tenang.Lelaki itu berusaha bersikap senatural mungkin saat Anastasya tiba di sampingnya. “Iya, udah puas ngobrol sama Tante?”“Udah dong. Kami janjian masak bareng minggu depan.”Jawaban Anastasya yang sangat lancar dalam melanjutkan kebohongan yang diucapkan Badai, membuat lelaki itu semakin muak.Namun ia tak menunjukkannya sama sekali dan sepertinya berhasil, karena kolega yang tadinya sedang bicara dengannya, kini memuji keharmonisan Badai dan Anastasya.Badai tersenyum simpul saat menerima pujian tersebut. Mereka masih mengobrol dan sesekali Anastasya masuk ke percakapan tersebut, sampai kemudian MC meminta para tamu yang hadir untuk duduk di kursi yang telah disediakan.“Ngapain kamu di sini?” bisik Badai selagi mereka berjalan menuju kursi yang harusnya ditempati Badai.“Nemenin kamu.”“Aku nggak minta ditemenin.”
“Iiih, Dek Mei udah pacaran ya?”“Kakak!!!” Dengan buru-buru, Meisie menempelkan ponselnya ke dada. Ia menoleh pada kakaknya dan langsung cemberut. “Kakak ngintip ya?”“Dikit,” jawab Ilana seraya tersenyum jahil. Anak kedua di keluarga Tanaka itu menaik-turunkan alisnya, menggoda Meisie yang kini wajahnya sudah semerah kepiting rebus. “Siapa sih yang chat terus sama kamu sejak kita turun dari pesawat? Kenalin dooong.”“Temen sekelas doang kok.” Meisie memilih memasukkan ponselnya ke dalam tas, sebelum Ilana dengan kejahilannya akan mengambil ponselnya untuk melihat dengan siapa ia bertukar pesan seharian ini.“Cewek?”Meisie kembali merengut. Ia bisa dikatakan jarang berbohong. Jad
“Kamu nggak takut sama aku?”“Nggak.”“Kenapa? Semua orang takut sama aku?”“Ngapain takut? Kamu kan manusia.” Meisie tertawa begitu mendengar pertanyaan Dalvin yang konyol. “Kamu emangnya suka makan orang?”“Nggak.” Dalvin menggeleng dengan tegas. “Tapi semua anak di kelas ini takut denganku.”“Kenapa?”“Kamu nggak tahu?” Dalvin yakin Meisie tahu apa yang semua anak di kelas ini bicarakan mengenai dirinya.Dalvin si anak buangan. Dalvin si anak pembunuh.Juga masih banyak lagi julukan-julukan untuknya yang saking banyaknya, Dalvin tak ingat lagi.
“Inget, kalau disuruh macem-macem yang melanggar norma dan adab, kamu jangan mau, Dek Mei!” Dengan menggebu-gebu, Ilana si biang onar memberi nasehat kepada adiknya, yang hari ini resmi jadi murid SMA.“Jangan mau kalau disuruh sok-sok nembak kakak kelas. Itu sih karena mereka emang pengen dibilang ada yang naksir aja padahal aslinya nggak ada.”Asa melirik Ilana dengan geli. Karena Asa sudah bisa mengemudi dan punya SIM, juga ketika berusia 17 tahun dihadiahi mobil oleh sang ibu, kini hobinya adalah mengantar-jemput kedua adiknya—Ilana dan Meisie.“Katanya, kamu juga pas jadi panitia MOS banyak yang nembak, Dek. Itu beneran atau hoaks?”“Itu beneran. Tapi karena nggak ada yang mendekati kayak Abang atau Papa, kutolak semua deh.”
Malam itu Asa tidak keluar kamar untuk makan malam dan Padma membiarkannya. Ilana dan Meisie bertanya kenapa kakak mereka tidak ikut turun untuk makan malam bersama, mengingat ritual makan bersama adalah kegiatan yang pantang untuk dilewatkan bagi keluarga mereka.“Abang butuh istirahat. Kalau Abang ikut makan di sini, kalian pasti minta Abang suapin kalian deh.”Ilana dan Meisie langsung memberikan cengiran lebarnya. Kedua anak perempuan itu sangat manja pada Asa, hingga kadang-kadang Janar mengatakan pada Asa kalau Asa ditakdirkan untuk dikerjai seumur hidup oleh kedua adiknya.“Terus Abang nggak makan, Ma?” tanya Meisie yang langsung khawatir dengan kondisi kakaknya. “Aku bawain makanan aja buat Abang ya, Ma? Bolehkan kalau kali ini Abang makan di kamar? Masa Abang nggak makan sama sekali….”
"Abang mau jadi jagoan atau gimana?”Angkasa menunduk saat ayahnya bertanya dengan dingin dan tajam seperti itu. Sesekali tangannya bergerak menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya yang robek.“Udah nggak ada nyali untuk kamu jawab pertanyaan Papa, Bang?”“B….” Padma menggeleng pelan saat melihat suaminya yang juga jadi emosi. Perempuan itu melihat ke sekelilingnya dan kembali menggeleng. “Kita bicarakan di rumah. Kamu mau balik ke kantor atau ikut pulang?”“Aku mana bisa kerja setelah ini, Hon.” Badai mendengus pelan, lalu berjalan lebih dulu dibanding istri dan anaknya.Padma menghela napas dan mendekat pada anak sulungnya, ia merapikan kerah kemeja Asa yang berantakan, lalu mengg
Ilana mengetuk pintu kamar orangtuanya dan yang keluar adalah sang ayah, Badai Tanaka.“Kakak kok belum tidur?” tanya Badai sambil mengusap puncak kepala Ilana.Ilana berpikir sebentar, lalu menarik tangan ayahnya hingga ayahnya keluar dari kamar. “Papa udah mau tidur?”“Belum.” Sejujurnya, Badai hampir tertidur karena ia baru sampai sore ini di Jakarta. Padma sendiri sedang di kamar mandi ketika Ilana mengetuk pintu kamar mereka.“Kakak laper,” adu Ilana pada sang ayah. “Bikin mie goreng yuk, Pa.”“Ayo, sini, Papa masakin,” kata Badai sambil tersenyum.Sambil bergandengan tangan, keduanya turun ke lantai satu yang sudah lengang karena semua orang sudah berada di ka
“Eh, eh, liat. Ada si anak tiri.”Ilana langsung merengut begitu mendengar bisik-bisik (yang tidak terlalu pelan sehingga Ilana bisa dengan jelas mendengarnya) tersebut.Dua meja dari meja yang ia. tempati dengan Asa dan Meisie, ada si tukang bully yang beberapa hari lalu menangis karena tak bisa bangkit dari kursinya.“Untung keluarganya kaya, jadi nggak dijadiin pembantu kayak di film-film,” sahut salah satu teman si tukang bully yang bertubuh sangat kurus, berbanding terbalik dengan si tukang bully yang gempal dan besar.Seperti Hulk, menurut Ilana.Ilana menghela napas dan berusaha tak mengabaikan ocehan laki-laki tukang gosip itu. Ia tak boleh membuat keributan lagi kalau tak mau diceramahi ibunya selama 25 jam.
“Abang, ini gimana sih cara pasangnya? Aku nggak bisa terus dari tadi.”Asa melihat bagaimana Ilana dengan dasinya yang belum tersimpul dengan benar dan wajahnya yang sudah merengut. “Sini, Abang pasangin.”“Nah, gitu dong, Bang, dari tadi.”Asa berdecak dan menjitak kening adiknya dengan pelan. “Makanya kalau Abang ajarin tuh dipraktekin dong.”“Kan ada Abang.”“Masa sampai SMA dasinya mau dipakein Abang terus?”“Biarin, wleee.”Asa tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana Ilana menjulurkan lidah ke arahnya. Dengan cepat ia memasang dasi berwarna biru dongker tersebut hingga rapi di kerah kemeja putih adik
“Papa!”“Iya, Kakak?”“Kakak mau punya pacar juga!”Badai yang baru saja menelan jus wortel buatan Padma langsung tersedak mendengar ucapan Ilana, anak keduanya.Ilana tentu saja terkejut melihat reaksi ayahnya yang di luar dugaan. Maka ia langsung pindah ke samping sang ayah dan mengusap punggung tegap Badai dengan tangan mungilnya.“Kok Kakak ngomong gitu?” Badai bertanya setelah bisa bicara dengan benar dan efek dari tersedaknya hilang. “Kakak kan masih kecil, kok udah tahu soal pacar-pacaran?”“Kemarin Bang Janar bilang, Bang Asa udah punya pacar di sekolah,” cerita Ilana yang sudah masuk kelas 2 SD tersebut dengan polosnya. “Pas aku tanya pacar itu apa, katanya Bang Janar tanyain Papa aja.”Astaga, Shua, anakmu! gerutu Badai sambil menggeleng pelan. Namun, detik berikutnya ia sadar dengan apa yang diucapkan Ilana sebelumnya.“Apa? Abang udah punya pacar?”“Katanya Bang Janar.” Ilana mengangguk sambil merengut.“Haduh….” Badai hanya bisa mengusap keningnya. Bagaimana bisa anak kec