“Aku antar sampai lobi aja nggak apa-apa?”“Nggak apa-apa. Kalau kamu nganterin aku sampai di ruanganku, nanti banyak yang iri karena suamiku seganteng kamu.”Catra tertawa dan meraih tangan Padma untuk ia kecup punggung tangannya. Hari ini ia dan Padma memang makan siang bersama di Lotte Avenue sebelum kemudian Catra mengantar istrinya kembali ke kantor. “Nanti makan malam di rumah kan?” tanya Padma saat mobil yang dikendarai Catra memasuki area gedung perkantorannya.“Iya. Hari ini aku yang masak ya.”“Oke.” Padma mengangguk senang. Ia memang bisa memasak, tapi memakan masakan Catra juga jadi salah satu hobinya. “Aku mau garlic bread juga, please.”“Siap. Nanti aku bikinin.”Begitu mobil Catra tiba di lobi kantornya, Padma segera melepas seat belt dan mencium pipi Catra seperti biasanya.“See you, Yang.”Catra tersenyum lebar dan melambaikan tangannya sampai Padma tak terlihat lagi di lobi. Padma sendiri segera berlalu ke ruangannya dengan hati gembira seperti biasanya. Meskipun ia
Badai masuk ke ruang meeting sambil membaca dokumen yang akan dibahas hari ini. Ia mendongak saat duduk di kursinya dan menyapa sebagian peserta yang sudah hadir, termasuk Padma di antaranya.Padma kenapa? pikir Badai saat melihat perempuan itu hanya mengangguk samar dan melengos begitu saja setelahnya.Setelah Badai dan Padma batal menikah, memang ada saat-saat di mana mereka seperti orang asing sungguhan. Yang membedakan adalah mereka merupakan dua orang asing yang sudah saling mengenal.Bukan orang asing yang hanya ditemui sekali karena pernah berpapasan dijalan.Namun seiring berjalannya waktu, hubungan mereka membaik. Memang tidak seperti sepasang sahabat, tapi setidaknya mereka bisa bersikap ramah meski ada jarak.“Sudah hadir semua ya,” ucap Badai setelah kursi terakhir di ruangan itu terisi.Mereka tengah menyiapkan produk baru untuk kategori jamu yang nantinya akan didistribusikan oleh perusahaan Padma sebagai distributor utama. Produk ini juga jadi salah satu proyek terbesar
“Padma, kamu nggak perlu minta maaf.”“Jangan bilang begitu, Dai. Kita semua tahu, semua ini juga ada andil aku di dalamnya.” Padma melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Badai. “Kamu emang harus bertanggung jawab, tapi setelah kita jalani semuanya dan aku berpikir untuk waktu yang cukup lama….“Kamu juga semakin nggak bahagia karena pernikahan ini adalah pernikahan yang aku paksakan ke kamu. Anastasya juga pasti tertekan karena aku paksa dia menikah bukan atas kemauannya.”“Padma,” sergah Badai langsung. “Kamu nggak harus berpikir begitu. Ini semua salahku sejak awal—““Nggak, Badai. Kamu jangan sebuta itu sama aku sampai-sampai kamu mau menganulir kesalahanku.”Tanpa menyisakan kesempatan untuk Badai bicara, Padma segera berlalu dari hadapannya. Bada membiarkan Padma turun sendiri. Ia masih berdiri di tempatnya lama setelah Padma menutup pintu besi yang ia buka dengan susah payah.Kalau ia memaksa untuk turun bersama dengan Padma, maka mereka hanya akan berdiam diri dalam keca
“Dia masih di dalam?”“Masih, Pak.”Badai menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. “Jangan ada yang masuk kalau saya nggak perintahkan, oke?”Kedua satpam itu langsung mengangguk dengan cepat. Mereka sudah kenal Badai sejak kecil karena sudah bekerja di kediaman Tanaka dari lama. Jadi mereka percaya, kalau Badai tidak akan menggunakan kekerasan pada Anastasya di dalam sana.Tapi setelah tahu apa yang dilakukan Anastasya, mereka jadi agak sedikit ragu mengenai hal tersebut. Mereka tahu bagaimana sayangnya Badai pada Asa, sehingga ada kemungkinan kalau Badai akan melawan prinsipnya sendiri kalau ia mau.&ld
“Papa?”“Iya, Asa?”“Mo mam etim.”“Mau makan es krim?” Badai mengulang ucapan Asa dengan jelas. Sebisa mungkin ia memastikan kalau Asa melihat gerak bibirnya supaya anaknya bisa mengikutinya.“Mm-hm.”“Oke.” Badai mengangguk setuju. “Ayo, kita siap-siap.”Asa tersenyum dan Badai segera menggantikan pakaian Asa. Sudah seminggu Badai cuti mendadak dari kantornya dan hanya menemani Asa di rumah sakit.Setelah hari di mana jiwa Badai hampir hilang karena kegilaan Anastasya, akhirnya
“Asa.”“Ya, Pa?”Badai tersenyum mendengar bagaimana kini Asa sudah lancar mengucap ‘Papa’ dan bukan ‘Baba’ lagi seperti dulu. “Ke tempat yang biasa kita beli es krim kan?”Asa mengerjapkan matanya selama beberapa saat untuk mencoba memahami apa yang diucapkan ayahnya.Begitu mobilnya berhenti karena lampu merah, Badai mengambil ponsel dari sakunya dan mencari gambar kedai es krim yang biasa mereka datangi.“Kita ke sini? Mau?”Asa langsung mengangguk sembari tersenyum. Badai pun segera memasukkan kembali ponselnya ke
“Kamu mungkin salah orang kalau mau bertanya.” Badai tertawa getir. “Dulu aku bukanlah orang yang mengharapkan kehadiran anak. Kamu jelas tahu gimana ceritanya.”Catra meringis mendengarnya. “Tapi kamu bisa beradaptasi dengan sangat baik untuk menjalani peran ayah untuk Asa.”“Karena cuma dia yang kupunya.” Badai kembali mengingat hari di mana Asa lahir. Hari di mana akhirnya ia kembali memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup dan menjalani hari-harinya.“Kalau kamu mau jawabanku paling jujur, aku sangat takut ketika tahu aku akan punya anak.” Badai mengedikkan bahunya. “Tapi setelah mencoba menerima, rasa antusias itu mulai muncul dengan ketakutan
“Baik-baik ya kamu di sini.”“Iya.” Arsa memutar kedua bola matanya. “Astaga, kamu cuma pindah enam bulan ke Bali, Mbak.”“Siapa tahu mau menetap kan.”Arsa hanya mendecakkan lidahnya. Walaupun begitu, ia merangkul bahu kakaknya. Arsa memang jarang menunjukkan kedekatannya dengan Padma di kantor. Meskipun begitu, kali ini ia melanggar prinsipnya karena hari ini adalah hari terakhir Padma bekerja di kantor.“Kamu betah kan di sini?” tanya Padma saat mereka sudah berada di lift.Kalau menurut ayah mereka, Arsa yang memang pintar dengan cepat beradaptasi di perusahaan keluarga mereka set