“Kamu mungkin salah orang kalau mau bertanya.” Badai tertawa getir. “Dulu aku bukanlah orang yang mengharapkan kehadiran anak. Kamu jelas tahu gimana ceritanya.”
Catra meringis mendengarnya. “Tapi kamu bisa beradaptasi dengan sangat baik untuk menjalani peran ayah untuk Asa.”
“Karena cuma dia yang kupunya.” Badai kembali mengingat hari di mana Asa lahir. Hari di mana akhirnya ia kembali memiliki alasan untuk tetap bertahan hidup dan menjalani hari-harinya.
“Kalau kamu mau jawabanku paling jujur, aku sangat takut ketika tahu aku akan punya anak.” Badai mengedikkan bahunya. “Tapi setelah mencoba menerima, rasa antusias itu mulai muncul dengan ketakutan
“Baik-baik ya kamu di sini.”“Iya.” Arsa memutar kedua bola matanya. “Astaga, kamu cuma pindah enam bulan ke Bali, Mbak.”“Siapa tahu mau menetap kan.”Arsa hanya mendecakkan lidahnya. Walaupun begitu, ia merangkul bahu kakaknya. Arsa memang jarang menunjukkan kedekatannya dengan Padma di kantor. Meskipun begitu, kali ini ia melanggar prinsipnya karena hari ini adalah hari terakhir Padma bekerja di kantor.“Kamu betah kan di sini?” tanya Padma saat mereka sudah berada di lift.Kalau menurut ayah mereka, Arsa yang memang pintar dengan cepat beradaptasi di perusahaan keluarga mereka set
Padma memasuki kamarnya saat dulu masih tinggal bersama orangtuanya dengan langkah ragu. Hari ini ia ke rumah orangtuanya karena ingin mengambil beberapa barang yang akan ia bawa ke Bali.Memang rencana awalnya adalah ia dan Catra akan tinggal sekitar enam bulan, tapi setelah seminggu ini Padma berpikir panjang dan berdiskusi dengan Catra, sepertinya menggenapkan tinggal di sana selama satu tahun bukanlah ide buruk.Bisa diperpanjang lagi kalau seandainya ia hamil dan melahirkan di sana.Mengingat hal itu, Padma tersenyum dan menutup pintu kamarnya dengan pelan. Ia segera beranjak ke lemarinya dan mengecek barang-barangnya.Saat itulah ponsel Padma yang berada di dalam tas berbun
“Kalau nanti udah sampai di sana, kabarin Papa ya. Terus minggu depan Papa sama Mama mau ke sana, kamu nggak usah capek-capek beresin rumah karena Papa nggak mau kamu kecapekan. Oke?”Padma tertawa mendengar celotehan ayahnya yang cukup panjang. Ia mengangguk berkali-kali agar ayahnya yakin kalau ia akan mematuhinya.Begitulah Refaldy Hardjaja, selalu ingin melindunginya dan memanjakannya meskipun kini Padma sudah menjadi istri orang. Naluri seorang ayah yang tak bisa dihapuskan begitu saja meskipun sang anak sudah menikah.“Iya, Papa. Papa tenang aja. Catra tuh terlalu manjain aku.” Padma melepas pelukannya pada sang ayah. “Cuci piring aja sering dilarang sama dia.”
“Beneran Padma yang nitip pesan begitu?”“Ck, beneranlah! Kurasa dia nggak sanggup kalau harus ngomong selamat tinggal sendiri ke kamu.”Percakapan itu sudah terjadi hampir sebulan yang lalu, sedetik setelah Badai menerima pesan dari Arsa yang mengantar kepergian Catra dan Padma ke bandara.Badai sudah lupa rasanya dipanggil ‘B’ oleh Padma. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mendengarnya. Tapi sebulan yang lalu, melalui Arsa, Padma mengucapkan selamat tinggal dengan memanggilnya ‘B’ seperti dulu.“Papa!”
“Selamat ulang tahun, Asa!”“Makasih, Papa. Makasih, Mama.”Catra dan Padma sama-sama melambaikan tangannya dengan ceria pada Asa.Hari ini adalah hari ulang tahun Asa. Namun karena kondisi kesehatan Padma yang menurun sejak dua hari yang lalu, mereka tak bisa pulang ke Jakarta untuk menghadiri acara ulang tahun keponakan mereka tersebut.“Semoga Asa jadi anak yang baik dan semakin pintar ya,” ucap Catra dengan tulus. “Semoga Asa bisa tumbuh jadi anak yang kuat dan terus semangat. Saling menjaga satu sama lain sama Papa Badai ya.”“Amiiin,” jawab Asa dengan serius. Anak itu tak terlih
“Aduh, bumil satu ini glowing banget!”Padma terkekeh mendengar seruan Mili yang siang ini tiba di rumahnya. Minggu ini terdapat dua tanggal merah, lalu Arsa dan Mili memutuskan untuk cuti dan datang ke Bali sekalian liburan.“Thank you. Kamu juga tambah glowing.”“Tetep aja kalah sama kamu.” Mili mengibaskan tangannya di udara. Ia mencium aroma masakan yang menggugah selera dan langsung beranjak ke dapur. “Kamu lagi masak?”“Iya, makan siang di sini aja ya?”“Boleh.”Padma dan Mili meninggalkan ART Padma yang sedang memasak dan Padma menggiring sahabat
Padma keluar dari kamar mandi dan melihat Catra yang tengah memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Ia menggeleng pelan, lalu memeluk suaminya dari belakang.“Sayang, kan aku bilang aku aja yang beresin baju kamu.”“No, no.” Catra menggeleng. “Kamu duduk aja di ranjang. Aku ngidam beresin baju sendiri nih, Yang.”Padma tergelak, begitu pun Catra yang sadar betapa absurdnya hal tersebut. Ia menoleh ke belakang dan mencium bibir Padma sekilas. Aroma mint dari pasta gigi membuat Catra kembali mengulangi ciumannya lagi pada sang istri.“Beneran,” kata Catra lagi. “Dikit lagi selesai kok. Atau….&rdqu
Badai Tanaka: Di mana? Aku udah sampai.“Baba?”“Iya?”“Papa!”Badai tertawa mendengar bagaimana Asa mengulangi panggilan pertamanya untuk Badai dulu. “Asa udah laper belum?”“Beyum.”“Belum,” ulang Badai. Kadang-kadang Asa memang masih suka mengatakan ‘mam’ untuk ‘makan’, ‘beyum’untuk ‘belum’, dan ‘Om Kayu’ untuk ‘Om Kalu’.